༉ུ epilog
God only makes happy endings. If it's not happy, than it's not the end.
- Unknown
✧✧✧
han jisung yang kala itu baru menginjak usia 6 tahun tengah menangis pilu dalam pelukan bibinya. bibir kecilnya bergetar hebat sehingga giginya saling bergemelatuk, wajahnya pucat pasi, dan matanya memerah.
luka-luka tangan serta tubuhnya membuat sang bibi meringis—ikut merasakan.
luka bekas goresan benda tajam membentang panjang pada punggung mungilnya, dan noda bercak darah mengotori kaus putihnya. lebam terpampang jelas disana-sini, utamanya pada bagian muka.
"ssssh, udah sayang, kamu kan jisung. kamu kuat. gak boleh nangis dong... okay?"
suaranya tercekat.
"h-hiks, s-sakit bi, hiks-- sakit! m-mendingan icung m-mati aja!"
"HAN JISUNG!"
jisung tersentak. ia perlahan bergerak mundur, menjauhi bibinya. ia dengan cepat menyambar kaus birunya, lalu mundur semakin jauh.
'ma-maafin icung, b-bibi.'
ia mencicit, lalu berlari.
↬ ° ༉ུ sᴄᴀʀs
'ke-kemana, hiks-- ke--kemana lagi-'
si manis putus asa. keadaan otaknya saat ini kacau, sehingga membatasi kelebihan berfikir jernihnya. penglihatannya pun buram, tertutupi oleh air mata. dinginnya kota seoul juga tidak kunjung mendukung, apalagi dengan pakaiannya yang hanya kaus tipis dan celana pendek.
jisung melihat sekeliliingnya, akhirnya memutuskan untuk berteduh di halte saat hujan mulai mengguyur.
sudah 2 jam lebih ia berkelana tidak jelas—dan tak mendapat hasil. tangisannya pun tak kunjung reda, dan luka di kakinya tak pula membaik. bekas pukulan keras kaki meja (yang membuat kakinya berdarah dan memar) itu tidak pula membuat situasinya lebih baik.
ia menghela nafas bergetar, lalu kembali melihat sekelilingnya. namun matanya membulat lebar kala menemukan seorang anak laki-laki dihadapannya, yang tengah menatapnya bingung. jisung segera menunduk.
'k-kenapa k-k-kamu ngeliatin i-icung? i-icung s-s-salah lagi y-ya?'
jisung mencicit kecil, yang mana membuat si anak laki-laki panik.
"e-eh, enggak, enggak kok! ma-maafin aku, a-aku gak maksud--"
sang anak terdiam, membuat jisung tambah merasa tak enak.
mungkin halte ini hak milik dia kali ya?
icung salah ya neduh?
icung salah apalagi?
icung ngga punya hak neduh?
apa lebih baik icung mati--
"e-eh?!"
jisung kembali terbungkam saat merasakan sebuah jaket biru—jeans—hangat melingkupi dirinya.
senyum manis terpatri pada wajah sang anak laki-laki,
"kamu kedinginan. iya kan?"
sang anak laki-laki lalu berlutut, kembali membuat jisung terkejut.
"mungkin ini gak bisa ngobatin luka kamu. ini aja terlalu kecil. tapi seenggaknya ngurangin darahnya."
sebuah plaster bergambar kucing sudah tertempel di mata kaki kanan miliknya, yang mana membuat mata si manis kembali berembun.
"a-aku--"
"mINHO! AYO PULANG NAK!"
"e-EH, IYA MAH!"
sang lelaki menatap jisung sedih. ia lalu dengan cepat menyambar kantungnya, guna mengeluarkan plaster bergambar kucing yang sama.
"ambil ini. jaketnya juga."
sang lelaki kembali tersenyum manis.
"aku janji—kita akan ketemu lagi. dan kalau suda, aku akan ngelindungin kamu. oh iya, simpen jaketnya. hehe. dadah-!"
↬ ° ༉ུ sᴄᴀʀs
"mau main bareng,?"
mata jisung membulat, nafasnya tercekat. ia mengangkat wajahnya, dan dirinya disapa oleh senyum cerah si lelaki yang sangat familiar untuknya.
dan percayalah, setidaknya saat itu, minho tidak berbohong tentang janjinya.
actual end.
↬ ° ༉ུ sᴄᴀʀs
what tf is this (': anyways, see you. :D
╱ ₂₀₁₉ , lvrains