Dugaan dan Kenangan

5 0 0
                                    

Izzi

Tatkala petir menyambar, mentari pertanda mengalah. Tampak ketidakberdayaan memesona saat mentari tenggelam dan langit meredup menjadi kelam..

Sudahlah, biarkan mereka mereka-reka. Biarkan mereka menduga-duga. Mereka tak pernah mengerti arti sebuah perfeksionalitas.Terlihat sepele, namun bagiku seperti halnya -karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

Aku mencoba menutupi kekesalanku hari ini. Sayangnya percuma... semua orang pintar, Zi. Kamu yang biasanya ceria dan -menyapa hampir semua orang yang lewat- kini terlihat murung dan menekuk muka sepanjang jalan. Ini bukan soal kemarin, saat Esha mencoba menodong Rama di kantin dengan pertanyaan-pertanyaan aneh itu. Ini tentang sebuah perfeksionalitas. Aku terkadang bertanya-tanya, mengapa golongan darah A, begitu menuntut perfeksionalitas? Entahlah, yang jelas, segumpal daging yang mahalembut, bernama -hati- ini masih terasa pegal.

Karena seseorang....

Masih terasa ditumpuk-tumpuk sesuatu semacam kerikil yang menyelinap di rongga-rongga dan enggan untuk bisa keluar.

***

Nisa

Bagiku, kenangan itu hanya untuk ditengok ke belakang...

Move on berarti kembali menata hati untuk sejuta impian lain yang sempat terlupakan.

Berarti bergerak bersama secercah harapan tanpa bayang-bayang masa lalu.

Berarti menyadari bahwa hidup sesungguhnya adalah potongan-potongan dari satu perpindahan ke perpindahan lainnya.

Tugasku sekarang hanyalah membungkus kardus-kardus berisi kenangan itu lalu menguburnya ditempat bernama museum. Cukup. Sudah tidak perlu dipegang apalagi dibongkar . Biarkan kardus-kardus itu tertutup rapat. Tidak pernah ada yang menyangka, Rama itu bagian dari masa laluku, bahkan jauh sebelum aku mengenal Esha. Dan biarkan tak akan pernah ada yang mengetahuinya...

Setelah 7 tahun terpisah, kini Tuhan mempertemukan kita lagi, di tempat yang sama. Ada semacam -ketidakbiasaan- dari diri ini. Seperti ada kekuatan lain yang hadir dan memaksa kita untuk bungkam.

Saat di kantin kemarin, aku tahu kau bukan sosok yang pendiam. Bahkan ketika kita masih SD dulu, kamu tak henti-hentinya menjahiliku dan membuatku menangis hingga ibuku beberapa kali menjewer telingamu. Tapi, mengapa kamu kali ini terlihat lebih banyak diam saat bertemu denganku? Dan aku, mengapa aku mendadak gagu? Bahkan untuk sekedar menyapa...

Hingga akhirnya... Esha mulai melontarkan pertanyaan itu kemarin. "Rama, deket sama Izzi ya? Kalian cocok.."

Seperti dihantam guruh dari kejauhan dan memaksaku untuk spontanitas tersedak sangat keras. Aku ingat saat itu aku langsung mencari celah kebohongan dari mata Rama. Padahal aku sendiri mengetahui itu hanya sebuah ledekan kecemburuan yang kenyataannya Esha memang menyukai Izzi. Lalu Rama? Ah entahlah. Semua orang sepertinya menyukai Izzi. Aku kesal! Lebih tepatnya, aku iri...

Dan aku, harus memulai kepingan baru bersama pria pilihan bunda. Adit. Seseorang yang belum pernah aku kenal dan sebenarnya -akupun tak ingin mengenalnya-

***

Rama

Tampaknya aku mulai biasa dengan suasana ini. Sedang kamu masih saja canggung...

Aku mulai terbiasa. Menyembunyikan kegugupan dan mencoba untuk lebih cair. Jangan sampai aku terlihat canggung. Bukan Izzi, tapi Nisa... Seolah dengan kesepakatan tak terkatakan, kami mencoba menjadi seseorang yang 'baru'. Baru kenal saat ini...

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 26, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Esha & IzziWhere stories live. Discover now