Apa yang kamu ingat dari perpisahan? Kenangan baik, atau bahkan kenangan buruk?
"Aku gak bisa lanjut lagi sama kamu, Wil."
Suara renyah yang meluncur bebas dari sebuah bibir mungil, suara tersebut berhasil membekukan Willi yang duduk di sofa. Ia menunggu jeda yang agak lama—membiarkan perempuan yang duduk di sampingnya menyelesaikan ucapannya. Namun, ia melirik dan mendapati perempuan tersebut sedang memilin ujung kaosnya.
Ia menghela napas panjang. Apa yang lebih sulit dari sebuah perpisahan? Ya, mengucapkan selamat tinggal. Itu yang paling sulit.
Willi menggeser tubuhnya, "Kamu mau kita pisah?"
Perempuan itu mengangguk lemah—tanpa berani menatap mata Willi. Tidak habis akal, dipegangnya pundak perempuan itu. "Kamu tuh ngangguk buat apa?"
Ia menoleh, mata bulat yang selalu Willi suka—dan rindukan. "Buat pertanyaan kamu."
Ditariknya napas panjang, "ya kalau kamu ngomong sama aku, ya mata aku ditatap, dong. Aku kan jadi bingung kamu lagi ngomong sama siapa."
Mata bulat itu mulai berkaca-kaca, lalu sebuah tangisan—sebut saja perpisahan, terdengar. Refleks Willi memeluk tubuh perempuannya, aroma jeruk langsung terasa—yang pasti akan sangat dia rindukan. Tuhan, tolong, sekali saja. Jaga semua waktu ini untuk sebuah nama yang bernama kenangan.
"Maafin aku, Willi... maaf ka—" suara tersebut tersengal-sengal—beradu dengan napas dan tangisnya.
Pelukan itu semakin erat. Tangisnya pun semakin terasa menyayat hati siapa pun yang mendengarnya. Setelah tangisnya mulai mereda, perempuan tersebut menggenggam tangannya. Erat.
"Apapun yang terjadi, tetap angkat kepalamu tinggi-tinggi ya, Wil." Suara itu semakin pelan, namun genggaman yang dirasakannya semakin kuat. "Jangan dengarkan orang lain untuk sebuah pendapat yang merugikanmu. Jika passion mu di musik, lakukan. Jangan pernah takut gagal walau kamu harus tersesat terlebih dahulu. Aku ingin melihatmu terbang tinggi dengan karya yang luar biasa."
***
Lagu Sofa yang dinyanyikan oleh Crush mengalun pelan dari sebuah dvd player. Willi masih meringkuk di balik selimut, sedangkan ia sudah mendapati suara-suara orang beres-beres di dalam kamar. Ya, siapa lagi kalau bukan Satria. Anak satu itu memang menjadikan rajin sebagai nama tengahnya.
"Wil, lo gak bosen apa itu lagu sofa didengerin mulu?" tanya Satria sambil bersenandung mengikuti lirik lagu, kini dirinya sedang sibuk membuka gordeng dengan sinar matahari yang langsung masuk tanpa permisi.
Itu adalah kegiatan rutin setiap pagi. Mohon dicatat, setiap pagi. Wili tidak heran, setiap kali pertanyaan itu terlontar, ia semakin meringkuk di bawah selimut—itu karena silaunya matahari! Pertanyaan Satria itu selalu template, ya dia jawab dengan template pula.
"Gak. Gue mau tidur lagi. Sepuluh menit ajaaaa, Bang. Jangan diganggu," gumamnya dari balik selimut.
Begitulah rutinitas yang dilakukan Willi dan Satria di pagi hari kalau mereka lagi gak ada jadwal manggung. Selalu seperti itu, dan akan selalu seperti itu. Willi dan Satria memang sekamar di dorm, jadi, kebiasaan seperti ini memang selalu ada. Untuk masalah lagu Sofa, Satria memang awalnya sangat benci—karena mengganggu waktu tidurnya, tapi ternyata, tidur sambil ditemani sebuah lagu yang terus berputar, tidaklah buruk.
Sofa ini punya tempat tersendiri di hati dan pikiran Willi—tempat di mana ia merawat semua kenangannya. Karena, di lagu ini lah ia mencoba merelakan dan mengikhlaskan tanpa adanya perlawanan. Sambil berharap, bahwa apa pun yang terjadi, ia akan berhenti untuk menangis.

YOU ARE READING
SOUNDTRACK
FantasíaCerita tentang band bernama Enam Hari. Just enjoy the story :)) Nama cast-nya gue buat agak ke lokal-an yaaa! Jae as Jaenudin Sungjin as Satria Young K as Brian Wonpil as Willi Dowoon as Dewo