[ 2011, saat aku harus melepas Na Jaemin sebagai kakak yang bersikap dewasa ]
Jaemin sangat cengeng waktu kecil.
Bukan hanya tentang hal yang berhubungan dengan hidupnya, tapi juga dengan diriku. Dia selalu menangis saat aku disengat lebah, jatuh dari sepeda, atau terluka seperti anak kecil lainnya. Pokoknya tiap aku luka, dia akan menangis sambil terus meratap 'Jaeyoon jangan mati'. Biasanya kalau sudah begitu akan kupeluk lalu setelah itu kubilang padanya kalau aku tidak akan mati.
Tangisannya berhenti, ingus Jaemin belepotan di pundakku.Berbanding terbalik dengan Jaemin yang cengeng, aku jarang sekali menangis.
Mungkin karena banyak faktor. Pertama, aku telanjur terbiasa jadi figur kakak yang kuat untuk Jaemin. Kedua, memang tidak ada yang perlu ditangisi. Jadi untuk apa aku menangis? Kalau sedih biasanya aku menyendiri dan menghibur diri.
Sebagai kakak aku tidak boleh cengeng seperti adik kembarku Na Jaemin. Iya kan?
Aku masih mendiamkannya sejak masalah trainee beberapa hari yang lalu. Belum pernah kami tidak akur sampai berhari-hari begini. Tidak enak sebenarnya menjauhi kembaranku sendiri, tapi aku belum bisa menghadapinya. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah dan malam sebelum tidur Jaemin mengetuk pintu kamarku, memohon supaya aku membuka pintu. Tapi kuabaikan. Berhari-hari aku makan di kamar dan hanya keluar saat tidak ada orang di rumah.
Tapi hari ini aku sudah membuat keputusan, aku tidak boleh egois. Jaemin sudah besar dan kami tidak akan jadi anak-anak selamanya. Cepat atau lambat toh dia akan semakin jauh dariku ㅡwalau aku yakin jiwa kami akan selamanya dekat. Dia tampak sangat senang saat direkrut sebagai trainee, harusnya aku tidak merusak impian dan kebahagiaannya.
Aku sudah bicara pada kedua orang tua kami, dan mereka senang aku mau mengerti. Mereka meyakinkan aku kalau apa pun jalan yang dipilih Jaemin, dia tidak akan berubah. Kami tetap keluarga yang saling melengkapi, selamanya.
Kebahagiaan Jaemin adalah kebahagiaanku juga.
Siang ini aku sudah selesai sekolah ㅡdi rumah tentunya. Sementara itu Jaemin belum pulang, ibu sedang menjemputnya. Waktunya mengirim pesan, mengundangnya ke tempat persembunyian kami di rumah ini.
'di mana? kalau udah sampai langsung ke goa'
Ya, kami menyebut tempat ini goa. Padahal sebenarnya ini tenda sih.
Dulu goa ini tidak serapi ini, hanya dibuat dari tenda anak kecil yang sudah usang lalu kumodifikasi sekeren mungkin. Tadinya untuk hadiah ulang tahun Jaemin, tapi kan ulang tahun kami sama ㅡanak kecil memang bodoh. Saat itu usiaku baru tujuh tahun, awal aku dan Jaemin dipisahkan setiap harinya. Ya, karena aku homeschooling sedangkan dia sekolah biasa.Awal-awal Jaemin sekolah benar-benar penuh drama. Sudah kubilang kan dia cengeng? Bayangkan saja, tiap pagi selama hampir sebulan dia selalu menangis sebelum berangkat sekolah. Jaemin ingin aku sekolah juga dengannya, dia tidak mau sendirian. Aku selalu memarahinya, bilang kalau anak cowok tidak boleh cengeng.
Helaan nafas keluar dari mulutku. Dengan gelisah aku menunggu Jaemin, mengetuk-ngetukkan kaki di lantai semen rooftop rumah kami. Akhir musim panas yang indah, langitnya bersih dan biru. Pasti akan sangat canggung nanti kalau Jaemin datang. Pokoknya apa pun yang terjadi, aku harus tampak tegar.
"Jaeyoon," panggil seseorang di belakangku. "Hyung."
Aku menoleh. Kembaranku berdiri canggung di pinggir goa kami. Masih memakai seragam sekolah, dia membawa dua cone es krim ㅡcokelat dan vanilla.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wish You Were Here
FanfictionSaudara kembarku, Na Jaemin, bukan hiatus karena cedera. Dia hilang. Semua tahu Jaemin pernah hiatus. Tapi apa kalian juga tahu alasan sebenarnya dia hiatus? Adik kembarku diculik, dan aku akan melakukan apa pun demi menemukannya. Karena walaupun de...