Part 1

25 2 0
                                    

Hi! teman-teman, kali ini saya membuat cerpen untuk orang-orang yang merindukan sosok ayah. saya ingin agar teman-teman bisa tahu betapa besar pengorbanan dan perjuangan seorang ayah. Selamat Membaca.....

*

Pagi itu waktu terasa berlalu begitu cepat hingga aku tak bisa berpacu dengannya. Langkah kaki kupercepat menembus pagi yang mulai menua dan akan menyisakan rentetan hal buruk bagiku. Tak lama diriku mulai mendekati gerbang kokoh yang terlihat begitu sepi membuat jantungku mulai berdegup kencang, aku berharap kali ini tidak terlambat lagi. Kupelankan langkahku sambil meperhatiakan situasi saat itu. Nampaknya tak ada guru piket yang sedang menjaga dan ini menjadi sebuah peluang bagiku, dengan santainya aku berjalan menuju kelasku.
"Adinda!" teriak seseorang yang sontak membuatku mematung. Sepertinya itu suara Ibu Eka yang menjadi petugas piket saat itu.
"Eh ibu Eka, pagi Buk," ucapku sambil menghampiri dan mencium tangannya.
"Kamu terlambat lagi yah, Din?" tanya bu Eka.
"Nggak kok, Buk. Saya tadi habis dari toilet depan...,"ujarku mencoba meyakinkan.
"Dari toilet kok bawa tas sama bekal, Din? Kamu terlambat yah?"
"Ee...., iya Buk," jawabku sambil tertunduk, "tapi Buk, saya janji nanti saya nggak akan terlambat lagi, ini yang terakhir kali. Jadi, saya mohon ya Buk, jangan hukum saya," sambungku sambil memohon.
"Kemarin-kemarin juga kamu ngomong kayak gitu, Din. Tapi kenyataannya kamu terlambat terus, jadi harus terima hukumannya, kamu sudah tahu kan apa hukumannya?"
"iya, Buk," ucapku dengan nada yang kesal. Akupun mengambil sebuah ember dan mengisinya air lalu menyirami satu-persatu bunga yang ada didepan ruang dewan guru, sungguh hukuman yang begitu menyiksa bagiku.

Setelah selesai menyirami semua tanaman, akupun langsung melapor kepada Ibu Eka untuk memastikan bahwa aku telah menyelesaikan hukuman darinya. Akupun langsung menuju keruang kelasku, terlihat Rini sahabatku berlari-lari kecil menuju kearahku.
"Kamu kenapa lari-lari Rin? Kayak dikejar sama anjing galak aja," tanyaku keheranan. Ia tidak menjawab hanya melontarkan senyuman kearahku.
"Kamu kok senyum-senyum nggak jalas, Rin? Ada yang salah yah dari penampilanku?"
"Nggak kok, Cuman mau memastikan aja, kalau kamu jadi traktir kita hari ini," ujarnya dengan nada tidak yakin.
"Oh, tentu dong," tukasku sambil mengeluarkan enam lembar uang seratus ribu dari dompetku. Hari ini setelah pulang sekolah aku berencana mengajak teman-temanku ke mall untuk menonton di bioskop, karena hari ini bertepatan dengan hari ulang tahunku. Untung saja ayahku bisa meminjamkan uang untukku, aku nggak tahu dia dapat uang dari mana, mungkin dia meminjam uang dari Buk Siska si renternir itu.

Sepulang sekolah aku Bersama tiga orang teman-temanku langsung menuju salah satu mall yang terbesar dan terkenal dikotaku. Pertama kami menonton film yang kami sukai lalu dilanjutkan dengan makan Bersama dan menjelajahi setiap toko yang ada di mall tersebut. Setelah puas menjelajahi setiap sudut mall tersebut akhirnya kami memutuskan untuk kembali kerumah masing-masing.

Saat itu waktu menunjukkan pukul 22:53, dan mungkin ayahku sudah tidur. Akupun membuka pintu rumah dengan perlahan agar tidak membangunkannya dan bertanya-tanya darimana saja aku seharian ini, apa yang aku lakukan seharian ini dan aku benci diinterogasi seperti itu ditambah lagi ayahku yang bisu kadang membuatku tak mengerti apa yang sedang ia bicarakan, dan semua itu akan menjadi rentetan mimpi buruk bagiku jika terjadi. Benar saja dugaanku, ayahku sudah tertidur lelap diruang tamu dengan sebuah kertas karton besar disampingnya, aku tidak tahu apa yang sedang ia lakukan dengan karton tersebut. Akupun langsung menuju kekamarku untuk istirahat.

Tak lama ada yang mengetok pintu kamarku, sepertinya ayahku terbangun dari tidurnya. Akupun langsung membukakan pintu kamarku. Pria paruh baya itu berdiri dengan memegang selembar karton putih yang bergambar kue ulang tahun dan bertuliskan "Selamat Ulang Tahun Adinda yang ke-18." Dia pun berkata dengan bahasanya yang tak jelas membuatku begitu pusing karena aku sudah begitu Lelah seharian bermain dengan teman-temanku ditambah harus meladeni ayahku yang bisu ini.
"Ayah ngomong apa sih? Sudahlah aku mau istirahat. Capek, seharian ini aku keluar sama teman-temanku," keluhku sambil menutup pintu kamarku, tapi tak lama ayah mengetuk pintu kembali membuatku begitu kesal dan marah. Akupun langsung membuka pintu dan mengambil kertas karton yang ia pegang.
"Aku tuh nggak butuh kertas jelek kayak gini!!" ujarku sambil merobek-robek dan menginjak-injak kertas karton tersebut, " Aku tuh mau kue ulang tahun yang asli yang gede kayak di toko kue seberang jalan itu! Aku mau hadiah yang banyak! Ayah bisa nggak?!  Nggak bisa kan, yaudah jangan banyak tingkah pake ngerayain ulang tahun aku segala. Tau nggak, kalau aku bisa disuruh pilih, aku nggak akan milih hidup Bersama ayah yang bisu dan miskin kayak kamu!" bentakku sambil membantingkan pintu kamarku.

Ayahku hanya menangis sambil memungut potongan-potongan yang berserakan dilantai, hatinya begitu teriris dan terluka mendengar perkataan anaknya mengenai dirinya. Sementara itu setelah puas mebentak ayahku, akupun langsung mengganti pakaianku, badanku begitu Lelah dan letih rasanya aku ingin istirahat. Tapi tiba-tiba, kedua sisi pinggangku terasa begitu sakit dan nyeri, hal ini sering terjadi padaku, kadang aku kencing berdarah atau kadang-kadang beberapa anggota tubuhku membengkak. Aku dan ayahku pernah sekali memeriksakannya kepada dokter, tapi penyakit apa itu aku tidak tau dengan pasti sebab dokter hanya membicarakannya dengan ayahku.

*

Andai Ayahku Bisa BicaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang