I could not live in solitude and loneliness, where only hear the echo of my own mind, disconnected from all over the world, and immersed in obsessions and memories.
–Was-was.com————————————–
Masih pagi hari dan cuaca masih gelap di sertai gerimis, tapi Jiyeon bahkan harus mengucapkan selamat tinggal pada kebiasaannya yang bangun siang hari di saat jam kuliah kosong. Tidurnya terbangun ketika Sehun menciumi garis rahangnya dengan sensual, ini kebiasan aneh Sehun yang lain. Jiyeon bahkan tidak percaya jika suara menjijikan yang ia dengar adalah suaranya sendiri.
Gadis itu hanya bisa pasrah di saat Sehun membuka selimut dan beralih untuk menindihnya, menciumi wajah Jiyeon sampai puas lalu beralih ke tulang selangkanya. Tak ada yang dapat menggambarkan bagaimana perasaan Jiyeon saat ini. Yang jelas setiap sentuhan yang Sehun berikan terasa nikmat dan Jiyeon berat mengakui bahwa ia mulai menyukainya. Sehun gila, dan Jiyeon mulai tertular gila.
Jiyeon hanya mengenakan tanktop putih dan celana katun panjang, sementara Sehun mengenakan t-shirt putih tipis dan boxer hitam. Cuaca di luar sangat menguntungkan bagi Sehun karena hormon remaja sialan Jiyeon kembali muncul.
"Jadi, Jiyeon, apa kau masih berpikir untuk tidak meniduri pria tampan seperti Sehun? Jika aku jadi kau, aku tidak akan bisa tahan."
Berkali-kali Jiyeon berusaha menghapus ingatan tentang perkataan Sulli. Disaat Sehun mulai menciumi bibirnya, Jiyeon justru menghitung domba dalam hati. Ini tidak benar dan jelas-jelas salah. Mungkin jika akal sehat Jiyeon normal, ia sudah dengan senang hati menendang Sehun menjauh. Tapi kali ini akal nya benar-benar tumpul. Harus melakukan apapun Jiyeon tak tahu.
Pasrah di bawah tindihan Sehun adalah satu-satunya yang dapat ia lakukan. Melingkarkan kedua tangannya di leher Sehun adalah langkah selanjutnya, dan membalas ciuman Sehun menandakan ia sudah hilang akal. Bukan satu atau dua kali Jiyeon membalas, sudah terhitung sejak satu minggu mereka tinggal bersama. Hampir setiap hari Sehun menciumnya dan sebanyak itu juga Jiyeon membalasnya.
Setelah puas berciuman lama sampai bibir Jiyeon sedikit membengkak, Sehun beralih menghisap ujung telinga Jiyeon sambil memberi gigitan kecil. Kakinya ia biarkan menumpu di atas kasur dengan kaki kanan dan kirinya yang lebar, membiarkan kedua kaki Jiyeon berada di tengah-tengahnya. Tidak menempel, karena topangan kaki Sehun cukup kuat untuk memberi jarak antara tubuhnya dan tubuh Jiyeon. Setelah puas dengan telinga, Sehun kembali bermain di tulang selangka Jiyeon, menjilat dan menggigitnya. Jiyeon menjambak rambut Sehun, menariknya keatas dan mencium bibir Sehun dengan malas.
"Tepat jam tujuh," kata Sehun pelan. Napasnya dan Jiyeon sama-sama berat setelah terlibat ciuman panjang, dahi mereka saling menempel dan jarak antara bibirnya dan Jiyeon hanya berjarak satu jari.
Jiyeon menatap jengkel Sehun. "Kau mengganggu tidur ku lagi."
"Ini hari minggu, Jiyeon. Aku harap kau tidak lupa." Sehun mencoba memberikan tatapan berarti membiarkan Jiyeon menebak-nebak apa yang di maksud.
"Jika kau bodoh, ini memang hari minggu. Tak ada yang bilang ini hari jumat."
Sehun diam sesaat. "Rumahku?"
"Oh ya Tuhan!" Jiyeon menjerit kecil, matanya melotot ngeri, ekspresi gadis itu membuat Sehun tersenyum pelan dan menyentil jidatnya, ia lalu mendorong Sehun dan berdiri, mulai bercermin. Ia menyisir rambut panjangnya dengan jari sambil sesekali melirik Sehun yang terbaring santai di kasur. Pria itu melipat kedua tangannya di bawah kepala, diatas bantal. Menikmati setiap gerak yang gadisnya ciptakan.
Sekali lagi Jiyeon melirik Sehun. "Kenapa aku bisa lupa jika hari ini kita akan kerumah mu," keluhnya.
"Karena kau bodoh," jawab Sehun enteng. Jawabannya lantas membuat Jiyeon kembali ke kasur , duduk di tempat kosong samping Sehun, mereka saling mengamati satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSION✓
FanfictionMemiliki Park Jiyeon adalah sebuah obsesi. OBSESSION - HUNJI vers. [Cerita lama dengan tokoh berbeda]