Bella duduk di kursi rodanya menghadap cermin besar yang menampilkan seluruh badannya yang sedang duduk di kursi roda. Ipan sengaja membelikan cermin itu untuknya supaya Bella tidak kesulitan apabila sedang ingin melihat seluruh badannya. Misalnya saat setelah berpakaian. Saat ini Bella sedang menyisir rambutnya. Rambutnya lurus alami dengan panjang sepunggung disertai poni yang menutupi dahinya. Ia benar-benar terlihat manis.
Meskipun laki-laki, Ipan selalu dapat mengerti kebutuhan Bella. Ia selalu berusaha untuk mengajak Bella keluar rumah dan membelikan berbagai hal yang adiknya itu butuhkan walaupun Bella tampaknya masih enggan untuk benar-benar mengatakan apa yang ia inginkan. Bella tak ingin merepotkan Ipan lebih banyak lagi. Karena baginya sudah cukup mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari Ipan. Itu sudah membuatnya bahagia.
“Bell, kau sudah siap?” Terdengar suara Ipan memanggilnya dari luar pintu. Bella saat itu sedang memasang jepit rambut pada rambutnya namun dengan cepat ia melepasnya kembali.
“Hm, iya sebentar!” Bella merapikan kembali rambutnya setelah meletakkan jepit rambut itu ke atas meja. “kakak boleh masuk sekarang!”
Ipan kini telah masuk dan menemukan Bella masih tengah duduk menghadap cermin. Bella hanya menoleh sebentar ketika ia datang. Setelah itu ia kembali fokus pada bayangannya yang terpantul di cermin.
“Cantik sekali adikku ini,” puji Ipan yang telah berdiri dibelakang Bella.
“Terimakasih,” tanggap Bella dengan senyuman yang terlihat ragu.
“Eeh, kau tak ingin memakai jepit rambut itu?”
Bella hanya diam dan sedikit menunduk. Ipan mengambil jepit rambut itu lalu memakaikannya di rambut Bella.
“Lihat,” katanya supaya Bella melihat kembali pada cermin. “kau terlihat 100 kali lebih cantik.” Perkataannya berhasil membuat Bella sedikit lebih gembira. Ia kini tertawa sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan.
“Kakak benar-benar handal dalam memuji hehehe... Sebaiknya kita berangkat sekarang sebelum matahari bersinar terik.”
“Baiklah nona muda, kita akan segera berangkat!”
--0000—
Ipan mendorong kursi roda Bella untuk membawanya menikmati pagi yang indah di kota itu. Jam menunjukkan pukul 06.05, belum banyak kendaraan yang lewat namun cukup banyak pejalan kaki. Beberapa diantaranya anak sekolahan dan sebagian adalah orang-orang yang sedang lari pagi. Bella melihat sebentar ke kumpulan remaja perempuan berseragam SMP. Mereka terlihat amat gembira, berjalan dan mengobrol bersama teman-temannya. Sejenak ia teringat pada masa-masa dimana ia masih SMP. Ia satu-satunya anak di sekolahnya yang memakai kursi roda. Banyak pengalaman pahit yang ia alami saat itu. Perkataan mengejek dari beberapa siswa hampir setiap hari menyapa alat pendengarannya. Itu jelas membuatnya sedih namun ia bersyukur masih ada teman-teman yang baik kepadanya.
Saat ini Bella seharusnya duduk di bangku kelas 1 SMA, namun beberapa bulan yang lalu ia mengatakan pada Ipan bahwa ia ingin istirahat dan tak mau lagi berangkat sekolah. Ia kala itu mengatakannya dengan wajah yang tampak seperti ingin menangis. Ipan berkali-kali mencoba menanyakan alasannya karena ia curiga Bella dibully di sekolahnya, namun Bella menolak mengatakan apa pun. Ia selalu menangis setiap kali Ipan bertanya tentang hal itu. Oleh karena itu, Ipan tak lagi mau menanyakannya.
“Bell? Hei!”
“Eh?” Bella tersadar ketika Ipan menepuk bahunya. “melamun?”
“Hm, kenapa, kak?”
“Mau sarapan bubur?” tawar Ipan sembari menunjuk warung terdekat yang menjual bubur ayam. Bella memandang ke arah yang ditunjuk Ipan, warung kecil tak jauh dari tempat mereka berada. Kecil namun banyak pengunjungnya.
“Boleh.”
“Baiklah, kita kesitu.”
“Tapi makan di rumah saja.”
“Ok.”
Bella membawa kursi rodanya untuk berada di bawah pohon yang tumbuh disamping warung itu sementara Ipan sedang memesan bubur. Ia mengedarkan pandangannya untuk melihat semua hal yang terpampang di depan matanya. Ia melihat orang berjalan, berlari, kemudian ada orang yang lewat naik sepeda. Ia melihat semua itu dalam diam dengan wajah yang datar. Detik berikutnya ia menghela napas.
“Suatu saat nanti aku pun akan bisa berjalan,” ucapnya berusaha memberi semangat pada dirinya. “aku hanya harus lebih sabar dan semangat menjalani terapi.”
“Hei, lihat, lihat! Itu bukannya si Bella?” dari seberang jalan tampak tiga orang remaja berpakaian SMA. Mereka sedang memandang ke arah Bella. Tentu saja Bella menyadari keberadaan mereka karena posisi mereka persis di depannya. Bella tampak sedikit terkejut begitu melihat keberadaan mereka. Ya, itu adalah beberapa teman sekelasnya ketika masih di SMA. Mereka kini menyebrang jalan, berjalan menghampiri Bella.
“Hallo, nona yang lebih cantik dari Cinderella!” sapa salah seorang dari ketiga gadis remaja itu dengan nada mengejek. Ia gadis dengan rambut bergelombang yang berdiri diantara dua orang temannya. Gadis itu namanya Sisil dan kedua temannya bernama Via dan Jeny.
“Apa kabar, Bell?” sapa Via.
“Bodoh, malah tanya apa kabar? Tidak lihat dia masih duduk di kursi roda, uppss maaf,” tanggap Jeny dengan sengaja untuk menyakiti perasaan Bella.
“Aku baik-baik saja. Terimakasih sudah bertanya tentang kabarku,” jawab Bella yang mencoba untuk tak terpengaruh akan perkataan gadis-gadis itu.
“Benarkah baik-baik saja? Tapi kok masih belum bisa berjalan?” Sisil tak menyerah untuk menyakiti perasaan Bella. Bella hanya tersenyum dan itu sungguh membuat Sisil kesal.
“Apakah Cinderella tidak mau pergi sekolah?”
Deg.
Bella merasa dadanya tiba-tiba sesak. Entah kenapa rasanya sakit sekali ketika Sisil bertanya tentang hal itu padanya.
“Kau tidak bisa bicara?” Suara Sisil terdengar meninggi membuat Bella sedikit terkejut.
“Apa yang kalian lakukan?!”
Ketiga gadis itu serempak menoleh begitu mendengar ada suara membentak mereka. Bella hanya menunduk. Ia tahu itu Ipan. Ipan tentu akan menghentikan mereka.
“Pergilah! Melihat wajah kalian membuatku muak.”
Tanpa berkata apa pun, ketiga gadis itu pergi. Mereka sedikit takut melihat wajah marah Ipan.
“Mereka mengganggumu?” tanya Ipan yang kini berjalan mendekati Bella.
Bella tak menjawab. Namun ia malah berkata lain. “Kurasa kakak tidak perlu segalak itu pada mereka.”
“Kenapa tidak? Biar ku tebak, mereka bukan yang membuatmu memutuskan untuk berhenti sekolah?”
“Aku tidak mengatakan berhenti!” katanya dengan suara yang meninggi, ia menatap kedua mata Ipan. Namun ia alihkan lagi. “aku bilang hanya istirahat..”
“Lalu alasannya?” Ipan balas menatap matanya dengan nada yang terdengar menginterupsi. Bella tak mengeluarkan sepatah kata pun, namun matanya terlihat berkaca-kaca. Itu membuat Ipan kembali tersadar.
“Maaf, Bella. Kakak tidak ber maksud_”
“Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak membahas hal itu lagi?” Bahu Bella tampak bergetar. Wajahnya terlihat seperti benar-benar ingin menangis namun ia masih berusaha untuk menahan air matanya.
“Bella kumohon jangan_”
“Kita pulang sekarang!” Ia memotong perkataan Ipan yang terdengar bernar-benar menyesal. “ku mohon,” pintanya yang membuat Ipan mau tak mau mendorong kembali kursi rodanya menuju arah jalan pulang.
.
Bella duduk diam di ruang makan sementara Ipan menuangkan bubur yang tadi ia beli ke dalam mangkuk kaca. Ia tak berkata sepatah kata pun. Jelas saja itu membuat Ipan semakin merasa bersalah.
“Ini buburnya, Bell.” Ia tak lagi mencoba untuk meminta maaf karena khawatir itu justru akan membuat Bella menangis. Sungguh ia benar-benar tak ingin melihat Bella menangis. Bella lagi-lagi diam dan bersikukuh untuk melihat ke arah lain. Tampaknya ia masih marah atas perkataan Ipan tadi.
Ipan mendekatkan mangkuk itu ke Bella. “makanlah selagi hangat,” katanya sebelum beranjak meninggalkan Bella. Bella sama sekali tak bergeming ataupun sekedar melirik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love For My Sister
SonstigesPeristiwa menyedihkan terjadi setelah orang tua mereka bercerai. Ipan dan Bella, dua bersaudara ini harus hidup terpisah, tak lagi dalam rumah yang sama, tak lagi bersama orang tua yang lengkap. Namun, peristiwa menyedihkan lainnya pun terjadi. Ipan...