“Hei, sialan!” bentak lelaki paruh baya berpakaian formal ala kantoran pada seorang pemuda yang tadinya tak sengaja menumpahkan kopi pada kemeja putih yang dikenakannya. Pemuda itu tengah berusaha membersihkan noda kopi itu sembari mengucapkan permohonan maaf.
“Maaf katamu? Kau ini punya mata tidak?!” lelaki paruh baya itu kelihatannya tak peduli terhadap permohonan maaf dari pemuda berseragam pelayan itu. Wajahnya sungguh terlihat marah.
“Oh, maaf. Ada apa ini, tuan?” datang seorang wanita berpakaian elegan dengan gaya modis. Dilihat dari wajah dan perawakannya ia tampak berusia sekitar 30an tahun. “saya pemilik cafe ini,” tambahnya untuk menjelaskan siapa dirinya.
Lelaki paruh baya itu hanya membuang muka dengan suara decakan keluar dari bibirnya. Ia kemudian memandang kembali ke arah wanita itu dengan tatapan yang terlihat merendahkan.
“Jika kau ingin bisnismu lancar maka disiplinkan dulu pegawaimu,” ucap lelaki itu dengan nada yang terdengar menjengkelkan. “lain kali selektiflah dalam memilih pegawai.” Setelah mengucapkan kalimat itu, ia pun pergi dengan wajah serta cara berjalan yang terlihat angkuh.
Wanita pemilik cafe itu menghela napas. “Apa orang itu sedang ada masalah dengan istrinya? Kemarahannya terlihat sampai ke ubun-ubun,” gumam wanita itu yang tengah menatap kepergian lelaki paruh baya tadi.
“Maaf. Aku yang tidak berhati-hati.” Sesal pemuda itu.
“Aku tahu kau yang salah. Tapi tetap saja bapak-bapak itu bikin kesal.”
“Ah, benar juga sih.” Pemuda itu tertawa hambar sembari menggaruk belakang kepalanya.
“Kau juga kenapa jam segini masih kerja?” Ia menuding pemuda itu sambil memukul pelan lengannya.
“Eh?” pemuda itu refleks melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya. “bukankah ini masih jam 8?”
“Kau yakin tidak mau pulang lebih awal?” tanya wanita itu dengan tatapan penuh arti. Beberapa detik kemudian pemuda itu tampak seperti tersadar akan sesuatu. Segera ia melepas topi pegawai yang sejak tadi melekat di kepalanya dan berlari cepat menuju loker penyimpanan barang khusus pegawai.
“Terimakasih banyak, bos! Kau memang yang terbaik!” seru pemuda itu begitu akan keluar dari cafe. Hal itu sukses membuat keduanya mendapat tatapan penuh perhatian dari pengunjung cafe.
“Ish, anak itu! Dimana letak sopan santunnya?” gerutu wanita itu, namun sesaat kemudian bibirnya tampak tersenyum. “aku akan sering-sering menyuruhnya pulang lebih awal jika itu bisa membuatnya bahagia.”
--0000--
Ini adalah kisah tentang seorang pemuda berusia 21 tahun. Pemuda itu bernama Ipan. Ia sudah merasakan kerasnya hidup ketika belum genap berusia 17 tahun yang mana ia memiliki seorang adik perempuan berusia 12 tahun. Kala itu kesulitan berat menimpa keluarganya. Kedua orang tuanya memutuskan untuk bercerai dengan alasan yang tidak diketahui baik olehnya maupun adiknya. Setelah perceraian itu, ia dan adiknya pun harus berpisah. Ia tinggal bersama ayahnya sedangkan adiknya tinggal bersama ibunya. Beberapa bulan setelah itu, Ipan mendapat kabar dari teman ayahnya bahwa ibu dan adiknya mengalami kecelakaan. Ibunya tewas ditempat, sedangkan adiknya terluka parah dan mengalami patah tulang pada kedua kakinya. Peristiwa itu menimbulkan luka hati yang dalam bagi Ipan, bahkan ayahnya. Peristiwa itu membuat ayahnya menjadi stress berat dan berujung pada rumah sakit jiwa.
Ayahnya meninggalkan banyak harta yang pada akhirnya diperebutkan oleh saudara-saudari ayahnya. Mereka tak begitu peduli pada Ipan dan adiknya, yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana cara menguasai perusahaan ayahnya. Entah bagaimana caranya, perusahaan ayahnya jatuh ke tangan saudaranya yang paling tua, Beni namanya. Saat itu Ipan tak begitu mengerti akan banyak hal dan yang paling ia pikirkan hanyalah adiknya.
Sejak saat itu Ipan sangat membenci keluarga dari ayahnya yang tak sedikit pun peduli pada ia dan adiknya. Satu-satunya yang peduli pada mereka hanyalah, seorang wanita tak dikenal yang dulu menemuinya ketika ia sedang putus asa di depan rumah sakit tempat adiknya dirawat. Wanita itu bernama Viona Callista, wanita cantik dan baik hati yang tanpa pikir panjang mengajak Ipan untuk bekerja di cafe-nya. Wanita itu juga yang membantu biaya pengobatan serta terapi yang dijalani adiknya hingga saat ini.
--0000--
Setelah memarkirkan motor dan mengunci pagar, Ipan bergegas masuk ke dalam rumah. Rumah peninggalan ibunya. Rumah itu bertingkat dua dan terdapat banyak pohon di sekelilingnya. Segera ia berjalan menuju salah satu kamar di lantai bawah, kamar tempat adiknya. Perlahan ia memutar daun pintu dan bergerak dengan sangat hati-hati untuk membukanya.
“Hiks..”
Suara isak tangis membuatnya terperanjat. Segera ia masuk ke kamar itu dan menghampiri ranjang tempat adiknya berbaring.
“Bell, Bella apa yang terjadi?”
“Kak, Ipan?” gadis manis yang duduk bersandar diranjang itu tampak terkejut begitu menyadari kehadirannya.
“Kenapa kau menangis, hm?” ditatapnya lekat-lekat wajah sang adik yang kini mulai menangis sesenggukan. Ia arahkan tangannya untuk mengusap air mata yang menggenang di kedua pipinya. “kau takut?” tanyanya kemudian dengan tatapan lembut.
Adiknya yang bernama Bella ini hanya mengangguk namun tak berani menatap mata kakaknya.
“Kau tidak perlu takut lagi, karena kakakmu ini sudah disini,” ucapnya sambil mengusap lembut puncak kepala sang adik.
“T-tidak seharusnya.. kakak melihatku seperti ini..” ucap Bella dengan bahu yang bergetar dan air mata yang kembali menetes. “..aku tidak mau menyusahkanmu.. karena kau sudah bekerja keras.”
Ipan terdiam sejenak. Namun detik berikutnya ditariknya tubuh sang adik ke dalam dekapannya. “Sesuatu seperti perasaan takut tidak seharusnya kau sembunyikan. Mulai sekarang kau harus menceritakannya.”
“Aku tak ingin membuatmu cemas.”
Ipan melepaskan pelukannya dan ia menatap lekat-lekat ke arah mata sang adik. “Aku jauh lebih cemas jika kau menyembunyikannya.”
“Tadi mati lampu dan ponselku kehabisan daya. Gelap. Aku tak bisa melihat apa pun.”
“Kau takut gelap?”
Bella menggeleng.
“Dalam keadaan gelap aku berpikir bahwa orang jahat bisa saja datang. Aku takut apabila orang jahat itu menemukanku lalu aku tidak bisa melarikan diri.. karena aku tidak bisa berjalan.”
“Kau akan segera bisa..berjalan,” tanggap Ipan walau ia sendiri tidak tahu apakah perkataannya itu bisa dipertanggungjawabkan atau hanya sekedar memberi harapan palsu untuk Bella. Ia sudah mendengar dari dokter yang menangani Bella, bahwa tidak mudah bagi Bella untuk dapat kembali pulih seperti semula. Itu pun harus melewati proses yang panjang serta terapi yang rutin.
“Kakak yakin?”
“Tentu saja .” Lagi-lagi ia merasa bersalah akan jawaban yang diberikannya. Namun jawabannya itu berhasil membuat sebuah senyum terkembang di bibir sang adik.
“Baiklah, aku pun harus semangat. Aku tidak sabar ingin berjalan lagi karena aku ingin berjalan di samping kakak,” ucap Bella dengan mata yang berbinar-binar.
“Itu baru adikku.” Ipan mengacak gemas puncak kepalanya yang lagi-lagi berhasil menuai senyum gembira di bibir sang adik. “sekarang tidurlah. Kau harus mendapatkan istirahat yang cukup.”
“Apa besok kakak ada kuliah pagi?”
Ipan diam sejenak berusaha untuk mengingat-ingat. “Tidak ada. Kenapa?”
“Hm, tidak kok. Hanya bertanya.” Bella segera mengalihkan pandangannya. Hal itu membuat Ipan tersenyum tipis.
“Ada sesuatu yang kau inginkan? Kau mau jalan-jalan?”
“Eh, bagaimana kakak_”
“Karena aku kakakmu. Segera tidur dan jangan sampai kesiangan besok.”
“Siyaappp kakakku!”
‘Apapun akan ku lakukan jika itu bisa membuatmu tersenyum.’
KAMU SEDANG MEMBACA
Love For My Sister
عشوائيPeristiwa menyedihkan terjadi setelah orang tua mereka bercerai. Ipan dan Bella, dua bersaudara ini harus hidup terpisah, tak lagi dalam rumah yang sama, tak lagi bersama orang tua yang lengkap. Namun, peristiwa menyedihkan lainnya pun terjadi. Ipan...