Bagian I

37 2 0
                                    

Tiburon, 1694

Tahun ini adalah ulang tahunku yang ke-9, di kampung halamanku yang indah. Ayah ku adalah seorang petani, sedangkan Ibuku sudah meninggal saat umurku baru 3 tahun. Sejak saat itu aku dan Ayahku tinggal di sebuah rumah kecil di Tiburon. Lingkungan di sekitarku memiliki ciri khas yang unik. Rumah - rumahnya yang kecil dan sederhana, bau menyengat dari toko daging di sebelah rumahku, banyaknya anak - anak jalanan yang meminta - minta, sampai pemabuk yang suka berjalan - jalan di depan rumahku

Bicara tentang Ayahku, dia adalah orang Turki Usmani yang pindah ke Dresden karena masalah perekonomian. Tentu saja dengan mengetahui kampung halamannya, dapat dengan mudah mengenali mukanya yang unik. Rambut hitam kecoklatan, janggut dan alis yang cukup tebal menjadi ciri khasnya.

Lain dengan ibuku, dia sangat cantik dan putih khas orang Inggris ~Menurut ayahku~ Meskipun aku tidak ingat muka ibuku, Ayahku selalu mengatakan kalau aku mirip ibuku.

Tepat di hari ulang tahunku yang ke-9, Ayah membeli sebuah kapal kecil dengan uang tabungannya sebagai petani. Mungkin jika dipikir-pikir itu agak aneh. Seorang petani menabung untuk membeli kapal? Itu karena Ayahku sering menjual hasil panennya melalui laut. Lantaran sebelumnya ia tidak memiliki kapal, ia selalu menyewa kapal orang untuk mengirimkan hasil panennya, yang membuatnya cemberut dan curhat kepadaku setiap ia datang ke rumah karena biaya sewa kapalnya yang tidak masuk akal. 200 Reales untuk satu kali pengiriman, sedangkan keuntungan yang kami dapatkan hanya 300 Reales, dan Ayahku tidak senang dengan itu

Dengan adanya kapal itu, pengiriman barang ayahku semakin mudah dan murah meriah. Dengan dibantu paman James yang juga seorang petani. Pada saat itulah aku belajar hidup mandiri di rumah, aku makan makanan buatan ku sendiri yang rasanya pas - pas an. Setidaknya hanya beberapa hari. Ayah pulang dengan membawa senyum lebar sambil memeluk ku. Tanpa biaya sewa sama sekali, kami bisa membeli tanah untuk memperluas lahan bertani kami.

1701

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku di ajak ke luar kota untuk menjual hasil panen, tapi kali ini pengirimannya dilakukan oleh pembeli itu, jadi kami tidak membawa kapal kami pada saat pengiriman. Ayah memberitahuku besok akan ada pengiriman besar.

Saat kubangun keesokan harinya, Ayah dengan baju rapih serba biru putih mengangkut hasil panen ke pedati. Yah, meskipun Ayahku memakai baju seperti seorang saudagar kaya, aku lebih memilih memakai pakaian khasku, yaitu rompi dari kulit dan topi tricorne kesayanganku...

Kami sampai di dermaga tempat kapal itu berlabuh. Tiang-tiang kapal menjulang tinggi, para kru bergelantungan di menara pengawas, dan meriam kapal yang berjejer di sepanjang lambung kapal. Para kru mengangkut hasil panen ke deck bawah, baunya sangat menyengat sehingga langkahku tertahan saat ingin memasuki ruangan itu. Pengawas pelabuhan menyuruh kapal itu untuk tetap berlabuh sampai surat jalan diterima oleh pengawas pelabuhan.

"Berhenti! Kalian harus menunjukan surat jalan kalian jika ingin pergi" peringatan si pengawas pelabuhan.

"Ayolah..., berilah kami izin sekali ini saja" kapten meminta keringanan

Tapi si pengawas tetap tidak mau memberikan izin. Dan saat itu kulihat kapten mengeluarkan sebuah kantung kecil dari sakunya ~Yang kukira adalah koin perak~ dan memberikannya kepada si pengawas, si pengawas pun mengangguk dan memberikan izin untuk belayar.

"Terima kasih, mate" sang kapten pergi meninggalkan si pengawas.

Kapal pun menurunkan layarnya, aku tersentak dan hampir jatuh ketika kapal meninggalkan dermaga. Kapten membiarkan aku dan ayahku untuk tidur di kabinnya. Tak lama semenjak kapal meninggalkan dermaga, aku mual dan muntah ke laut. Dan ketika berjalan pun aku seperti bayi yang baru belajar berjalan, jalan kesana jatuh, kesini jatuh, ketika turun ke deck bawah pun terasa sempoyongan.

The Pirate JourneyWhere stories live. Discover now