Terima Kasih, Langit

15 3 0
                                    

Langit memberikan ruangnya untuk bintang.

Bintang menjadi penerang dikala langit gelap.

Langit selalu mejadi tempat bagi bintang.

Bintang selalu bersinar terang baik saat langit ceria maupun bersedih.

Langit teramat mencintai bintang, begitu juga bintang yang teramat mencintai langit.

***

“Langiiiit, main yuuuk.” Teriak Bintang dengan suara cemprengnya.

Langit keluar rumah dengan baju bergambar kartun minions favoritnya.

“Ayuk, aku izin bunda dulu ya.” Jawab Langit yang dijawab anggukan oleh Bintang.

Sama halnya dengan Langit, Bintang juga menggunakan baju bergambar Princess Cinderela yang merupakan pakaian favoritnya.

Langit keluar rumah dengan wajah ceria, ia sudah diberi izin oleh bunda untuk bermain bersama Bintang.

Langit dan Bintang berjalan beriringan sambil bergandengan tangan menuju taman perumahan tempat mereka biasa bermain.

Adhitya Langit dan Bintang Laksita,

dapat bersatu dengan segala perbedaan yang ada.

Bintang yang cerewet, Langit yang egois.

Sore itu ketika Langit dan Bintang tengah bermain petak umpet, hujan datang dengan derasnya. Bergegaslah mereka pulang kerumah. Sama seperti ketika berangkat, mereka berjalan beriringan dan bergandengan tangan diselingi nyanyian lagu hujan. Mereka berpisah di depan rumah Bintang.

Rumah mereka berhadapan, Bintang di samping kanan jalan dari pintu masuk perumahan, sedangkan rumah Langit di samping kiri.

Bintang yang baru saja sampai sudah disambut oleh bunda Yuna yang membawa handuk untuk mengeringkan badannya yang terkena air hujan. Begitu juga dengan Langit yang langsung disambut bunda Airin.

***

“Bunda, tadi Bintang menang main petak umpet sama Langit. Bintang bisa nemuin Langit cepet, hebat kan Bintang.” Cerita Bintang pada bunda Yuna.

“Iya Bintang hebat, emang tadi Langit sembunyi dimana kok Bintang cepet nemuinnya?” Tanya bunda Yuna menanggapi cerita putrinya.

“Tadi Langit ngelamun di bawah perosotan, jadi Bintang gampang nemuinnya.”

“Ooh, emang Langit ngelamunin apa?”

“Nggak tau. Tadi bintang tanya cuma dijawab, aku nggak ngelamun kok, Bintang padahal tadi Bintang lihat sendiri Langit ngelamun.” Jawab Bintang dengan nada sedikit sebal, mungkin karena tadi Langit tidak mau menceritakan yang terjadi pada Bintang.

“Ya mungkin Langit nggak mau Bintang jadi kepikiran sama Langit, nanti bunda tanyain ke tante Airin deh.”

“Bener ya bunda, nanti jangan lupa bilang ke Bintang ya.”

“Iya sayang.”

“Oh iya bun, Bintang langsung tidur ya nggak belajar dulu, besok kan libur. Boleh ya bunda?”

“Iya boleh kok. Tapi besok jangan lupa belajar ya, kan lusa masuk sekolah.”

“Siap bunda.”

Bunda Yuna merasa ada yang tidak beres dengan putra sahabatnya itu, bergegas ia menelepon bunda Airin, sahabatnya.

“Ai, Langit kenapa? Kok tadi Bintang bilang dia ngelamun.”

“Langit lagi mikirin penyakitnya terus, aku jadi kasihan sama dia.”sambung Bunda Airin di sebrang sana.

“Memang Langit sakit apa?” bunda Yuna mulai khawatir.

“Leukemia. Aku nggak mau kehilangan Langit, Yun. Hiks.” Jawab bunda Airin di seberang sana yang diselingi tangisan.

Memikirkan seberapa besar ia akan kehiangan putra semata wayangnya.

“Astagfirullah. Kita berdo’a saja untuk kesembuhan Langit. Mungkin aku nggak bakal bilang ke Bintang soal ini.”

“Iya, mereka masih terlalu kecil.”

Percakapan kedua ibu itu berhenti sampai disitu. Bintang masih belum mengetahui penyakit apa yang menimpa Langit, yang masih menjadi beban pikiran Langit. Sampai sekarang.

Bintang bukan lagi sosok anak kecil yang mudah merajuk kala Langit tidak mau menuruti keinginannya. Ia sudah menjadi gadis remaja berumur 19 tahun.

Begitu juga Langit, ia tumbuh dengan sempurna. Sangat sempurna sampai tidak terlihat bahwa ia berada di ambang kematian.

Bintang maupun Langit sudah merasakan cinta.

Bintang yang telah memulai kisah cintanya sejak menjadi mahasiswa baru di salah satu universitas negeri. Ia telah memadu kasih dengan kakak tingkatnya yang kala itu menjadi panitia MOS.

Langit, ia menyukai sahabatnya sendiri, Bintang.

Apakah Bintang tahu? Tentu saja tidak.

Baginya, melihat orang yang ia cintai bahagia meskipun tidak dengannya, itu sudah cukup.

Begitulah prinsip seorang Adhitya Langit.

Terlintas dipikirannya akan penyakit yang dideritanya. Penyakit yang hampir membuat dirinya putus asa. Merasa tidak ada gunanya untuk berjuang.

Tetapi Bintang, selalu menyemangatinya meskipun gadis itu tidak mengetahui apa yang menjadi penyebabnya. Itu lebih baik daripada Bintang mengetahui penyakitnya.

Ia merasa hidupnya tidak akan lama lagi. Ia siapkan semuanya. Yang akan ia ungkapkan pada orang-orang terbaik di hidupnya. Yang selalu siap disaat ia butuh, yang selalu mendukung disaat ia jatuh, dan yang masih menganggapnya sahabat.

Hari Jum’at 14 Maret 2017 pukul 16.00 WIB, seorang Adhitya Langit menghembuskan nafas terakhirnya dalam dekapan sang bunda tercinta. Menyisakan isak tangis para kerabat dekat. Terlihat Bintang yang masih setia menggenggam surat terakhir dari sahabatnya.

Air mata sebening Kristal meluncur deras dari kedua mata indahnya. Membasahi pipi yang dulu sering Langit cubit karena gemas.

Ia baru tau akan suatu kebenaran. Bahwa Langit mengidap Leukimia sejak kecil dan juga perasaan cinta yang muncul di hati Langit padanya. Yang tidak ia ketahui sedikitpun sebelumnya. Ia baru mengetahui sekarang, dimana sahabatnya telah tenang di alam sana. Menyisakan beribu kenangan.

Betapa egois sosok Langit yang menyimpan dua kebenaran berharga itu darinya.

Betapa terlambat ia menyadari akan satu hal, bahwa ia juga mencintai Langit lebih dari seorang sahabat.

Mojokerto 090319

Terima kasih, LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang