BAB 4.

3.6K 34 3
                                    

"Aku tahu jika baik pria dan wanita Asia menganggap keperawanan adalah hal yang penting. Terserah apa alasan itu. Tapi kau tahu perasaan yang sangat kecewa, saat sesuatu yang begitu wanita anggap berharga, hilang hanya karena sebuah kebodohan. Maaf jika aku kasar."

"Tidak mengapa, lanjutkan saja." Kataku.

"Aku menikah bersama seorang laki-laki. Saat itu aku menerima lamaran itu, karena aku tahu dia pria jujur dan kharismatik. Ibunya juga wanita yang manis dan lembut. Pernikahan ku digelar setelah aku wisuda. Jadi itu adalah pernikahan paling besar di kompleks tempat ku tinggal. Keluarga mantan suami ku adalah politikus yang cukup populer. Begitu juga Ronald, pria rendah hati dan sangat tampan. Tapi kau harus tahu."

Dia berhenti sebentar menarik nafas. Aku benar-benar tak sabar untuk kelanjutannya. Tapi dia mulai menggeleng. Sepertinya tidak siap untuk bicara lebih jauh, aku mengerti.

"Maaf---aku, aku benar-benar cengeng..."

Aku menyentuh tangannya, "Tak apa-apa, aku tak keberatan menunggu mu sampai selesai menangis. Menangislah."

Dan dia tertunduk, pundaknya bergetar. Hati ku tersentuh, ikut tersayat. Dia pasti teringat akan sesuatu, masa lalunya. Dia mengusap pipinya, melihatku sambil tersenyum. Aku tidak jadi ingin menangis saat dia tersenyum, tapi mata ku tetap berkaca-kaca.

"Aku kehilangan keperawanan ku karena dildo." Ucapnya pelan, tapi suara itu sangat menyuarakan kekecewaan dan traumatis. Tatapannya nanar ke cangkir kopi di depan ku.

Di satu sisi aku tertegun. Aku ingin langsung bertanya lagi, karena penasaran ku memuncak. Apa yang terjadi pada wanita itu, bagaimana masa lalu nya, dia terlihat sangat rapuh. Benar-benar remuk.

"Itu... memalukan. Itu menyakitkan." Lanjutnya, dan aku mengangguk.

"Wanita selalu menunggu sentuhan prianya dimalam pertama, itu momen mendebarkan dan paling sulit wanita lupa. Mungkin akan terus dia ingat. Tapi aku-"

Dia mulai berhenti lagi, menahan diri untuk tidak menangis.

"Aku tak melewati malam pertama yang polos dan menggebu-gebu."

"Apa...yang terjadi?" Tanya ku hati-hati.

"Tak ada." Dia menggeleng.

Aku berpikir, mungkin dia akan melewatkan cerita tentang ini. Tak masalah. Kami sama-sama menyesap kopi lalu dia mulai bicara lebih dulu.

"Ronald tidak menujukkan sisi ketidaknormalannya pada siapa pun. Bahkan mungkin Ibu nya. Ronald tak bisa terangsang."

Aku mengernyit.

"Dia laki-laki manis, jujur, dan jenius. Dia tampan dan membuat ku lapar. Jadi ku pikir aku tidak keberatan untuk menikah dengannya meski aku tak mencintainya. Aku percaya, jika aku akan jatuh cinta dengan cepat padanya. Jadi setelah pernikahan itu, dan hari-hari sampai setahun---"

Dia mulai menerawang.

"-kami tak pernah berhubungan badan."

Aku terdiam. Aku benar-benar syok.

"Aku dan Ronald." Ucapnya mantap tapi tersenyum kecut. "Dia meminta ku menusuk telunjukku pada malam hari karena setelah sebulan kami menikah Ibu mertua ku mengira aku mandul dan aku tak perawan. Tapi kenyataannya adalah, Ronald tak pernah menunjukkan sisi kepriaannya pada ku. Aku terguncang. Ku pikir jika dia tak mau menyentuh ku, karena dia belum mencintai ku. Tapi seminggu setelah aku menunggu untuk dia sentuh, aku mulai cemas pada keberhasilan hubungan kami. Ronald memang menyentuhku, memberiku ciuman panas, tapi setelah itu aku mendapati diri ku kecewa setengah mati. Setelah aku terangsang hebat, dia meninggalkan ku. Aku menangis putus asa setiap diperlakukan seperti itu. Aku merasa rendah diri dan tak percaya diri, aku pikir dia tak mau lebih jauh, seperti menelanjangi ku. Aku ingin tahu apa yang terjadi padanya. Aku mulai bersikap lebih liar dan agresif. Aku membiarkan diri ku telanjang keluar dari toilet sehabis mandi, ingin agar dia mau menyerang ku. Tapi dia berbalik badan, enggan untuk menyentuh ku. Aku menagis lagi. Aku tak sanggup. Sebulan setelah penusukan jari tangan itu, Ibu mertua ku berubah sikap. Dia menyayangi ku. Dia mengatakan jika dia suka karena aku menjadi menantunya. Aku kebingungan. Aku mengutarakan perihal perubahan sikapnya pada Ronald, dan dia ikut senang. Tapi lalu aku mulai tak sabar lagi, momen ranjang yang ku nanti-nanti tak pernah terlaksana. Jadi aku secara terang-terangan meminta seks pada Ronald. Dia terhenyak. Aku ketakutan, malu pada tindakan ku. Dan aku hampir salah sangka. Ronald mulai mencumbu ku. Hanya sebuah ciuman seperti gerakan amatir, tapi itu membuat ku terangsang hebat untuk bersetubuh dengan Ronald. Ronald mendesah frustasi saat aku mulai membuka kancing bajunya. Aku bertanya ada apa, apa yang mengganggu dan mengapa dia menolak. Ronald menggeleng dan keluar. Aku mengerang putus asa hampir gila. Jadi aku mulai merangsang diri ku sendiri. Tapi aku tak kunjung orgasme. Aku mulai benci pada penantian ku yang lama. Jadi aku mulai berpikir untuk melakukan monopoli terhadap Ronald. Aku menuntut untuk bulan madu, karena dia tak pernah membicarakan tentang itu pada ku secara khusus. Dia mulai bereaksi kooperatif, jadi ku pikir itu kesempatan bagus untuk kami berdua. Dalam benak ku adalah, bagaimana aku bisa memiliki pengalaman itu, atau mulai merencakan untuk memiliki anak. Ibu ku menginginkan cucu. Tapi masalahnya adalah, bahkan setelah kami berlibur berdua, Ronald dan aku bahkan bersikap biasa. Kami memang menginap dan tidur seranjang berdua, tapi kami tidak melakukan apa-apa. Hari kedua aku mulai frustasi. Jadi aku membawa satu kaset film biru, aku mengajaknya. Aku tahu saat itu juga kecurigaan ku muncul. Aku tidak mendapati Ronald bergairah atau terangsang, jadi aku mulai tertegun. Sesuatu pasti terjadi pada Ronald. Aku menangis sendirian dalam kamar mandi, karena ku tahu Ronald hanya bersikap biasa pada sebuah adegan intim yang kami tonton bersama. Itu menyakitkan hati ku. Selanjutnya adalah aku mengatakan bahwa sepertinya aku tidak bertahan lagi. Ronald menangis saat aku menuntut perceraian darinya. Bulan madu yang ku rencanakan, benar-benar gagal. Hari kedua adalah, kami terbangun bersama. Aku berinisiatif untuk mencoba melupakan tentang perceraian itu. Aku ingin melakukan pendekatan lain. Aku menyentuh penisnya, tapi Ronald marah besar. Dia benar-benar marah. Jadi aku tertegun, aku terkesima. Apa yang salah ku lakukan padanya? Aku berkata bahwa aku istrinya, aku pantas menyentuhnya. Tapi Ronald akhirnya berlutut. Aku bingung pada sikapnya, jadi aku meminta penjelasannya. Saat itu aku bagai disambar petir. Ronald mengakui sesuatu."

Aku melihatnya dengan tatapan tidak sabar pada kelanjutannya. "Apa?"

"Ronald impoten."

Aku mendesah, lalu mengerti.

"Ronald tak bisa ereksi, dia tak bisa terangsang---ya tuhan, apa yang ku bicarakan!?"

Dia mulai menangis lagi, setengah histeris pada pengakuannya. Aku mengusap lengannya, lalu menariknya dalam pelukan.

"Aku melakukan berbagai cara. Kau tahu---aku mencoba untuk menghibur diri ku sendiri dari kenyataan itu, berharap seseuatu bekerja untuk Ronald. Aku segera meminta kembali dari bulan madu itu, aku ingin menyendiri, menenangkan diri ku sendiri. Aku tak siap pada kenyataan semacam itu. Bagaimana harus aku mengatakan jika Ronald mungkin tak bisa memberiku seorang anak. Berbulan-bulan penantian ku terjawab. Aku mencoba mengerti dan menerima situasi itu. Tapi saat itu aku sudah jatuh cinta padanya, jadi aku benar-benar sangat kecewa meski keadaan tidak seperti yang ku harapkan. Ronald sangat terguncang pada pengakuannya pada ku. Dia mulai bersikap jujur pada ku, mengatakan semua mengapa sampai hal itu bisa terjadi padanya. Ronald bukan seperti laki-laki lainnya. Dia bilang dia sangat rendah diri, dia tak berguna, dan dia tak ingin menyakiti ku sejak awal. Tapi dia melihat cara ku bahwa aku tak melakukan penolakan sejak awal. Jadi dia berpikir akan berusaha jujur pada ku. Aku tak mengerti pada sikap-sikap penolakannya, aku terlalu berpikir bahwa dialah yang tak pernah menginginkan ku. Tapi kenyataan itu membuatnya sangat terluka sebagai laki-laki. Dia terlalu malu mengakui itu pada ku. Selanjutnya adalah, setelah aku mulai terbiasa pada situasi kami yang baru sejak kejujuran Ronald, aku kembali dihadapkan pada tuntutan kedua orang kami. Ronald telah melakukan pembelaan pada ku dihadapan semua orang. Karena dia tak ingin jujur bahwa dialah yang tak bisa untuk itu. Kami berdua mencoba cara baru, dengan maksud mungkin bisa menyembuhkannya. Aku memasak pada menu yang membantu membangkitkan keperkasaannya. Tapi itu juga gagal. Dan aku semakin putus asa, karena Ronald menolak untuk melakukan operasi. Aku kehilangan akal, aku menginginkan seks, tapi bersama Ronald. Padahal dia impoten. Jadi aku mencoba bunuh diri. Ronald menemukan ku pingsan di sore hari karena aku menelan obat tidur beberapa butir bersamaan. Dan Ronald tak menyalahkan ku, dia sama frustasinya. Dia juga menginginkan ku, tapi dia tahu dia tak bisa memberiku kepuasan. Aku menyerah."

Kami berpandang-pandangan. Aku kehilangan kata-kata. Itu, pengalaman paling sedih bagi sepasang pengantin, terlebih untuk seorang wanita.

Nanti dilanjutin lagi ya, masih ngetik buat yang kelanjutan P.I.V. ... 

SIX OF BORGIAWhere stories live. Discover now