05. SELAMAT TINGGAL, JEAN

313 47 6
                                    

Sejak pagi, Devlin sudah berada di lokasi rumah duka yang sejatinya akan digunakan untuk proses kremasi jenazah Mike. Berdiri dalam jarak pandang yang masih menampakkan jelas situasi di dalam rumah duka berdinding kaca itu, dia memutuskan tidak akan masuk ke dalam, meskipun demi memberikan penghormatan terakhir pada Mike, sahabatnya.

Pikirannya kacau sejak Mike meninggal, ditambah lagi rasa bersalahnya terhadap Jean. Rekan-rekan tim sudah sering menghibur dengan mengatakan bahwa itu bukanlah salahnya. Sebagai pemimpin tim, Mike sudah menyalahi prosedur dengan menyelonong pergi tanpa sepengetahuan rekannya. Masalahnya, Devlin tahu Mike pergi dan dia membiarkannya.

Setiap malam ingatannya berulang hingga merasuk ke dalam mimpi. Devlin berharap, jika saja waktu itu dia memutuskan segera menyusul Mike. Atau berharap, Mike memerintahnya untuk pergi menolong wanita itu. Tentunya, tidak masalah jika Devlin yang menjadi korban. Tidak ada yang akan menangisinya. Tidak juga Jean.

Jadi, dia hanya berdiri di kejauhan menatap ruangan bening di depannya. Menatap Jean dalam pakaian serba hitam dan wajah yang lebih pias dari awan yang menggantung di udara siang ini. Melihat kondisi Jean saat ini, sungguh, Devlin berharap dia bisa menggantikan posisi Mike dalam peti.

Tidak ada upacara mewah atau bersifat militer, seperti halnya jika seorang anggota kepolisian yang meninggal, hanya ada kesederhanaan layaknya masyarakat sipil. Ketika semua pelayat tampak menunduk membacakan doa, Devlin ikut menundukkan kepalanya.

Satu jam kemudian, setelah pembacaan doa, peti dimasukkan dalam ruang pembakaran. Para pelayat sekali lagi mengerubungi Jean dan orang tua Mike untuk menghibur. Devlin merasa frustrasi karena tidak bisa mendampingin Jean, sementara rekan-rekan satu tim-berikut istri dan anak-anak mereka-berada di sana.

Dia merasa seperti pengecut.

Dua jam kemudian, petugas kremasi datang menghampiri pihak keluarga. Lelaki berseragam biru itu menyerahkan sebentuk guci dari tanah liat kepada Jean. Devlin menunggu layaknya para pelayat yang berada di dalam rumah duka, ketika kapal yang membawa Jean dan orang tua Mike berlayar untuk melarung abu sahabatnya ke tengah laut, membebaskan jiwa Mike dari dunia fana.

Sebentar kemudian, kapal yang membawa mereka pergi tadi, kembali ke dermaga. Devlin memperhatikan orang tua Mike yang menyalami dan memeluk Jean dengan rasa peduli. Jean menanggapi mereka dengan dingin.

Alih-alih mengikuti jejak orang tua Mike yang kembali ke rumah duka, wanita itu bergeming di tempat. Arah pandangnya mengikuti sosok orang tua Mike yang menghilang dalam aula utama yang terletak seratus meter dari dermaga tepi laut. Setelah itu, tubuhnya berputar kembali menghadap laut dan mematung di sana.

Denting peralatan makan dari aula utama mulai terdengar sayup dari jauh. Jean masih berdiri kaku, menatap kosong debur ombak di hadapannya. Angin sepoi-sepoi membelai lembut pakaian berkabungnya, menampilkan siluet rapuh sosok yang baru saja kehilangan.

Setengah jam berlalu, tapi Jean itu tidak juga beranjak dari tempatnya. Devlin bertanya-tanya, mengapa wanita itu masih di sana? Apa yang ada dalam pikirannya? Apakah Jean menunggu ucapan belasungkawa darinya yang tidak pernah sampai?

Apapun yang dipikirkan Jean, semoga wanita itu tidak berpikir untuk mengakhiri hidupnya agar bisa menyusul Mike.

Ditatapnya ujung sepatu kets dan menimbang, apakah dia seharusnya menemui Jean saat ini? Kalimat duka untuk Mike yang sudah disusun dan ditorehkannya di atas kertas, teronggok di tempat sampah. Dia bisa saja menelepon Jean dan membacakannya, tapi itu terdengar tidak sopan. Sedangkan untuk menemui Jean, dia merasa keberaniannya menguap begitu saja hanya dengan membayangkan wajah sedihnya.

Devlin tidak bisa terus menghindar, apalagi setelah semua upacara penghormatan selesai, dan Mike akhirnya benar-benar pergi dari dunia, secara fisik. Tidak ada jalan lain, dia membulatkan tekad untuk menemui wanita itu. Jemarinya mengepal. Kemudian, satu tarikan napas panjang mendahului langkahnya ke arah dermaga.

BULLETS OF LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang