11. PEMERIKSAAN FISIK

209 35 0
                                    

Nomor 337? Gila! Mengapa pemeriksaan fisik harus begitu menyiksa?

Devlin Roland melirik kartu antreannya dan mendengkus keras. Setiap tahun, kepolisian meminta aparatnya dari kesatuan mana pun untuk melakukan cek fisik. Kebetulan karena tahun ini RSU Srikana Medika mau mensponsori kegiatan itu, maka di sinilah dia sekarang, di tengah-tengah kerumunan anggota kepolisian provinsi dan kabupaten yang berjubel menunggu antrean.

Dengan sinis, dia mengartikan, di balik sponsorship yang diadakan, mungkin mendapatkan darah gratis dan bersih dari hasil donor darah aparat adalah tujuan utama rumah sakit ini.

"Devlin!" panggil seseorang dari belakang, membuatnya menoleh dan mencari sumber suara.

Di antara kerumunan, dia melihatnya. Seorang wanita dalam jas dokter melambai dan dengan cepat menghampirinya. Tubuh ramping dan tinggi itu tidak menemukan kesulitan untuk menembus otot-otot kekar aparat yang menjulang.

"Hai, Dev, mau cek fisik dan donor darah, ya? Kupikir kau membencinya."

Seringainya terkembang otomatis, saat menatap sosok wanita berkaca mata yang periang. Wanita itu adalah dokter yang biasa menangani pemeriksaan fisik anggotanya di rumah sakit lain. Pada bagian jas dokter muda itu tersemat pin nama bertuliskan namanya, dr. Cassandra Gunawan.

"Memangnya, kau praktek juga di sini, Cas?" Alis Devlin berkerut dengan tanda tanya. Meskipun cukup sering bertemu, tidak pernah ada pemberitahuan dari Cassandra jika dia juga bekerja di sini.

"Baru mulai bulan ini. Ngomong-ngomong, dapat nomor berapa?" Devlin baru akan membuka mulut ketika Cassandra dengan cepat menarik nomor antrean dari tangannya dan tertawa keras. "Sekarang pukul sepuluh pagi dan pemeriksaan baru sampai nomor 125. Kurasa kau akan dapat giliran sekitar uhm ... setelah makan siang?"

Devlin melirik ke arah panel elektronik yang menampilkan nomor urut panggilan tepat saat angka di dalamnya berubah menjadi 128. Dia mengerang, jemarinya dengan cepat memijat kening yang tiba-tiba merasa pening. Kemudian, sebuah ide yang muncul di otak, membuat matanya berbinar.

"Hmm ... Cas, bisa kau membantu aku bypass antrean ini?" Senyum miring Devlin yang terkenal maut terkembang untuk merayu Cassandra. "Kalau berhasil, anggap aku berhutang padamu. Apapun yang kau inginkan, apapun—akan kupenuhi."

Tidak ada ruginya untuk mencoba, bukan?

Bola mata hitam itu berkilat dan rona merah dengan cepat merambat di kedua pipi Cassandra, begitu dia menyelesaikan kata-katanya. Devlin sangat yakin dokter cantik ini sudah lama menaruh hati padanya. Namun, dia tidak mungkin menjadikan Cassandra kekasih, mengingat hubungan profesional dan karirnya akan terancam, kecuali jika dia benar-benar ingin menikahinya.

Sedikit rasa penasaran terkadang membuat Devlin bertanya-tanya, mengapa sampai sekarang wanita itu masih menjomlo? Padahal, boleh dibilang, tidak ada yang tercela dari seorang Cassandra. Rambut hitam dan panjang, selaras dengan warna kulit sawo matang; ditambah postur tubuh yang tinggi dan langsing, membuat wanita itu lebih tampak seperti model catwalk ketimbang seorang dokter.

Sudah banyak rekan kerja dan anggota tim yang mengolok-olok hubungannya dengan Cassandra lebih dari sebatas rekan kerja. Mereka juga mendorong Devlin untuk memberanikan diri menyatakan cinta, tapi itu tidak mempengaruhinya sedikit pun. Saat ini, dia hanya menikmati hubungan kerja yang harmonis dengan Cassandra. Selebihnya, biarlah waktu yang menjawab.

"Andai aku bisa, pasti akan kulakukan, Dev. Tapi, di sini semuanya sudah by system. Ditambah lagi aku dokter baru, jadi tidak ada yang bisa kulakukan." Bola mata indah itu memandangnya memelas, membuat Devlin merasa bersalah karena memanfaatkan Cassandra untuk tujuannya.

BULLETS OF LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang