23. Liontin

311 34 1
                                    

"Hel, gue mau ngomong sama lo."

"Iya ngomong aja, kenapa harus izin dulu?" Rahel terkekeh saat mendengar perkataan Rehan mau berbicara dengannya, bukannya selama ini mereka sedang berbicara?

"Tapi lo jangan tersinggung ya, jangan marah juga."

"Kenapa?"

"Janji dulu," Rehan memamerkan jari kelingkingnya pada Rahel, isyarat perjanjian. Sebelum Rehan berbicara, Rehan menarik napasnya dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan-lahan. "Ra...hel, g...gue suka sama lo."

Seketika Rahel yang sedang meminum air mineral, tersedak batuk hebat yang mendadak. Rahel berdehem, memulihkan pita suara yang terasa sesak.

"lo nggak apa-apa?" Rehan mencoba bersikap tenang, dirinya tidak ingin menambah beban Rahel setelah apa yang baru saja diucapnya tadi.

"Nggak apa-apa, gue baik-baik saja."

"Ja...di bagaimana tentang perasaan gue?"

"Maaf Rei, gue nggak bisa. Semoga lo bisa mendapatkan cewek yang terbaik daripada gue."

Rahel berlari meninggalkan Rehan, Rahel tidak ingin berlama-lama berada disekitar Rehan. Rahel takut rehan membencinya setelah ini.

"Tapi.... Tunggu!"

Rehan berlari mengejar Rahel yang baru beberapa detik tadi berlari. Rehan mengininkan jawaban pasti kenapa Rahel menolaknya.

"Brakk...."

Rahel tersungkur dibadan kekar seseorang yang menabraknya. Rahel mendongakan kepalanya keatas, ingin melihat seseorang yang ditabraknya.

"Aduh...." Ngeluh Rahel saat hampir melihat sosok dihadapannya.

"lo nggak apa-apa?"

Rasa sakit Rahel seakan hilang saat mendengar suara baritone. Rahel kembali mendongakan kepalanya. Terlihat jelas wajah Fafa yang tengah tertunduk cemas memegang pundaknya.

"Rahel, gue butuh penjelasan!" jelas Rehan saat berhadapan dengan Rahel.

"Apa maksud lo?" tanya heran Fafa.

"Lo diam aja, gue cuman ingin Rahel yang bicara."

"Sejak kapan... sejak kapan perasaan lo itu muncul?"

"Gue nggak yakin perasaan itu muncul sejak kapan, perasaan itu datang secara tiba-tiba, dalam waktu yang cukup lama."

"Rei, gue minta maaf baru menyadari perasaan lo yang sudah lama menyukai gue. Gue juga minta maaf, karena gue nggak bisa menerima perasaan lo itu."

"Kenapa? Apa gara-gara gue sering membuat onar disekolah? Atau wajah gue yang mirip teman kecil lo?"

"Karena gue sudah menyukai orang lain. Dan untuk lo, ada seseorang yang sedang menunggu kepastian dari lo. Dia, orang yang sangat mengkhawatirkan keadaan lo," Rahel tertunduk lesu, ingin rasanaya ia keluar dari situasi seperti ini.

"Rahel, lo sama sekali tidak menyukai gue kan? Tapi gue akan menunggu lo, sampai lo menerima semua ini."

"Jangan menunggu gue, lupakan saja perihal lo pernah menyukai gue. Disana ada seseorang yang baik, sedang menunggu lo."

'Tapi Rahel gue takut. Gue takut tidak bisa melupakan lo, dan terus membiarkan lo ada di dalam hati ini," batin Rehan dalam hatinya.

"FAFA, awas lo ya!"

💕💕💕

Pagi yang cerah, udara yang segar, kicauan burung yang merdu adalah poin-poin kesempurnaan sebuah danau yang tersingsal di tengah-tengah kota. Disana tidak ada deru knalpot yang bising, tidak ada asap dan debu yang bertebrangan saat angin berhembus. Disini damai, tenang, dan nyaman.

Rahel menatap Fafa gelisah, begitupun sebaliknya. Rahel duduk diantara bebatuan yang berada tak jauh dari danau. Menikmati deris air yang bergejolak.

"Masih ingat tempat ini?" tanya Fafa berjalan kearah Rahel yang tengah melamun.

"Hmm.... Tempat yang lo sarankan saat tugas Bahasa Indonesia."

"Bukan itu."

"Lalu?"

"Tempat pertama kali gue merasakan kehadiran lo."

Rahel hanya diam tak merespon perkataan Fafa. Entah kenapa hati Rahel sekarang ini tidak tenang.

"Raf?" Fafa yang dipanggil mengalihkan pandangannya dan menatap Rahel. "bagaimana jika lo dan Rehan musuhan? Gue takut. Gue nggak mau itu terjadi," Fafa sedikit tertawa, menjitakkan dahi Rahel Pelan.

"Tenang. Sudah lama gue jadi pawangnya Rehan, khususnya saat dia marah."

"Tapi ini masalahnya berbeda. Lihatkan tadi wajah Rehan merah, nggak kayak biasanya."

"Mungkin dia baper sama lo, makannya jangan suka baperin anak orang."

"RAFAEL...." Rahel memukul keras lengan Fafa membuat Fafa mengaduh kesakitan.

"Nggak usah khawatirin anak mami itu. Gue udah punya solusi untuk menenagkannya. Senyum dong."

Rahel masih cemberut, tak tersenyum sama sekali.

"Aaa..." Fafa menarik bibir Rahel. Membentukkan sepulas senyuman. "Gitu dong! Lo sadar nggak, kalau lo cemberut itu wajah lo berubah jadi tarzan minta kawin."

Rahel kembali memukul lengan Fafa keras, membuat Fafa mengampun-ampun.

"Stop.... Gue punya hadiah buat lo."

"Double tape?"

"Enggak lah. Kali ini harganya lebih mahal."

"Solasi?"

Fafa menarik tangan Rahel menjauh dari bebatuan danau.

"Berdiri disini jangan kabur!" perintah Fafa kepada Rahel. Sementara itu Fafa sibuk mepergoh saku celananya untuk mencari benda yang akan diberikannya kepada Rahel. Setelah mencari beberapa detik, Fafa memberikan benda yang dicarinya tadi kepada Rahel.

"Kalung? Tumben sedikit modal," Rahel menertawai cara Fafa memberikan kalung itu kepadanya. Menurut Rahel, cara Fafa memberikan kalung itu sama sekali tidak romantis. Bagaimana mau dikata romantis, jika Fafa hanya menyodorkan kalung itu padanya tanpa ada embel-embel apapun.

"Kenapa nggak suka? Yaudah gue balikin lagi ke tokonya. Lumayan duit gue mbalik."

"Eh... enggak bukan itu. Lucu aja cara lo nyodorin kalung itu ke gue, nggak ada romantisnya sama sekali," kekeh Rahel.

"Kalung ini sudah romantis, nggak perlu ditambah-tambah lagi gombalan. Lihat liontin bintang ini. Lo ingat nggak tentang bintang rindu?"

"Bintang Rindu?" Rahel sempat berpikir tentang Bintang Rindu yang pernah terdegar di gendang telingannya. "Oh. Bintang yang lo beri nama, saat lo mengungkapkan perasaan ke gue malam itu?"

"Bukan gue, tapi lo yang mengungkapkan perasaannya ke gue," jawab Fafa tak mau kalah, dan mendapatkan cubitan dari Rahel.

"Jadi jika lo kangen sama gue, lo bisa terus mantengin liontin ini. Anggap saja saat lo melihat liontin ini, bintang rindu malam itu sedang bersama kita. Dan lo bisa terus mengingat gue."

"Emang manjur ya?" bukannya mendapat jawaban dari Fafa, melainkan jitakan keras di dahi Rahel.

Ketua Kelas [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang