Take My Hand

1K 135 18
                                    

"Sadarlah Naruto!" Karin mulai panik, terlebih Naruto terus saja mendekat. 

Naruto terkekeh. "Apa maksudmu Nee-san? aku sangat sadar. lihatlah!"

Hinata terus mengigil, ia menangis sesunggukan. Tubuhnya terasa lemas dan pikirannya campur aduk.

Bagaimana si gila ini terus saja meracau?! AKU HARUS PERGI DARI SINI SEGERA!!

Tenanglah... Tenanglah Hinata... Kau harus tenang... Pikirkan jalan keluarnya... Kau sudah pernah selamat darinya, jadi ayo lakukan lagi...

Hinata menutup matanya erat, lalu setelah merasa sedikit lebih baik, gadis itu menatap Naruto yang wajahnya terdistorsi, wajah itu tersenyum dengan menakutkan. Jantung Hinata terasa terus berdebar melonjak dari tempatnya.

Menyadari Hinata yang menatapnya, Naruto terus menarik garis senyum di wajahnya.

Karin juga mulai kehilangan rasionalitasnya. Haruskah adiknya diisolasi dan menemui psikiater lagi? Tidak dapat dibayangkan akan seperti apa reputasi adiknya juga dirinya sendiri!! Lupakan!! Pergi dari sini dan segera merawat Naruto adalah prioritas sekarang.

Mata Karin tetap waspada menanggapi tiap gerakan kecil adiknya. Hingga akhirnya dengan keputusan bulat, Karin memasang ancang-ancang dan berlari memeluk Naruto hingga mereka terjatuh ke lantai dan berguling.

"APA YANG KAU LAKUKAN NEE-SAN?!" Naruto memberontak, bergeliat tapi kekuatan Karin masih lebih unggul. Setidaknya untuk saat ini.

"LARI!!!" Karin berteriak, melihat Hinata masih bingung dan tak mau bergerak. "APA YANG KAU TUNGGU?!!! LARIIII!!!"

Hinata segera mengangguk dan memaksa tubuhnya yang lelah dan lemas untuk segera pergi. Air mata meleleh tanpa henti.

Kakinya yang telanjang dengan baju yang tak senonoh menjadi tontonan di tempat ramai. Tubuh Hinata sangat lelah, otaknya tak lagi mau bekerjasama. Hanya sebentar, dan ia tumbang kehilangan kesadaran. Beberapa orang mengerumuninya, dan tak lama ambulans yang dipanggil tiba.

Hinata bangun dengan keadaan linglung, seorang polisi wanita tengah menungguinya. Wanita dengan name tag Yuki itu membawa buku catatan dan tangan lainnya memainkan pulpen, mungkin dia hendak menanyai tapi ragu.

"Sudah bangun? Bisakah kita bicara?"

Hinata dengan pasrah mengangguk, di wajahnya yang bingung, ia lebih memikirkan apakah semuanya harus dikatakan?

"Bisakah saya menghubungi seseorang?"

.
.
.

Sasuke berlarian di koridor dengan wajah pucat dan tegang. Ia langsung membuka pintu kamar rawat Hinata dan terengah-engah. Keringat sudah membasahi wajah dan pakaian Sasuke.

Mata Sasuke teralihkan pada Hinata yang masih diwawancarai oleh polisi dan mata mereka bertemu.

Sasuke mendekat dan polisi juga menyingkir. Tangan Sasuke erat memeluk tubuh Hinata yang lemah.

"Kau... bagaimana kabarmu?"

Hinata mengangguk pelan. "Aku sudah baik-baik saja." Kelopak mata Hinata menurun, ia memeluk balik Sasuke dan menyerap kenyamanan dari pria itu.

Entah sejak kapan hal ini dimulai. Pria ini yang selalu membuat Hinata mengomel, kini menjadi sumber kenyamanan...

Polisi yang melihat ini merasa tidak nyaman, seolah dirinya menjadi orang ketiga. Jadi polisi itu berdeham, membuat Sasuke dan Hinata segera melepaskan pelukan mereka. Wajah keduanya memerah dan menunduk malu.

"Maaf." Sasuke menjawab dingin.

Polisi : "..."

Mengabaikan sikap Sasuke, polisi hanya memandang Hinata lagi. "Kurasa hari ini cukup, mari kita lanjutkan nanti. Kami juga sudah mengerahkan pasukan untuk mencari dan menangkap Naruto, tapi dia melarikan diri. Hanya ada kakak perempuannya yang pingsan. Si kakak sudah kami bawa ke rumah sakit. Hanya saja mulai berjaga-jaga, kami khawatir Naruto akan kembali ke sini. Ada dua polisi berjaga di luar kamar, jadi tidak perlu terlalu cemas."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A New HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang