Dua Cangkir

50 5 12
                                    

"Pagi Roy! Arga! Yafi!" sapa Alysha ceria.

"Pagi kak!" seru Arga dan Yafi kompak.

"Pagi Al, ini yang nyuruh kesini gak disapa?" balas Roy meletakkan kopi Alysha di meja.

"Selamat pagi gentong kosong nyaring bunyinya" sapanya padaku

"Alysha masih aja manggil Gema gentong, padahal Gema udah kurusan lho" bela Roy yang ku ikuti tatapan setuju.

"Sekali gentong, tetep gentong selama-lamanya" balas Alysha penuh semangat.

"Terserah" tukasku menyuruhnya duduk, diikuti tawa Roy yang kemudian lanjut bekerja.

Alysha bertingkah seperti anak kecil, padahal umurnya hanya selisih 1 tahun lebih muda denganku. Benar benar bocah.

"Jadi sampai mana?" tanya Alysha sambil menyangga kepalanya dengan kedua tangannya.

"Sampai bait pertama, baris kedua" jawabku diikuti wajah menyebalkan Alysha.

"Memang puisi ini benar benar sesuai, lihat, bahkan masih stuck di bait pertama" omel Alysha.

"Hei, bukan salahku kalau bahasamu terlalu sulit" omelku balik.

"Sekarang aku tanya, berapa kali kamu mengecek KBBI untuk mengartikan puisiku?" tanya Alysha sama seperti sebelumnya

Tentu saja berkali kali. Namun aku memilih bungkam daripada membuatnya congkak.

"Ya memang anak lulusan bahasa tidak akan paham dengan anak lulusan sastra, padahal kita belajar di satu tempat" omelnya

"Jadi fungsimu sebagai editor apa kalau tetap tidak bisa mengartikan puisiku?" omelnya lagi

Aku menatapnya sebal, yayayaa, terserah.

"Jadi aku mengartikan mulai awal atau mulai dari kamu yang kesulitan?"

"Dari awal saja, sekalian"

"Okee" Alysha mengambil kertas puisinya dan membacanya ulang sebentar lalu mengembalikannya padaku.

"Dua Air Hitam yang Masam, dua ya dua, air hitam berarti kopi, masam berarti tidak sedap atau merengut, tidak suka dengan keadaan, marah" jelas Alysha cepat.

"Kenapa marah?" tanyaku

"Baca selanjutnya dulu ish..."

Aku pun diam dan mengangguk angguk.

"Mentari tak lagi berpihak, Bersinar di langit yang tercakar..." Alysha mengucap itu sambil melihat ke arah jendela.

Aku mengikuti arah yang dia lihat. Matahari sudah mulai tinggi, tapi masih tertutup oleh gedung gedung tinggi, apalagi kafe ini terletak di bawah. Oh, tercakar itu pencakar.

"Perlu aku jelaskan atau kamu sudah menemukan jawabannya?" tanya Alysha masih melihat ke arah jendela

"Sudah. Matahari bersinar di antara gedung gedung pencakar langit, iya kan?"

"Iyaa, baris pertama?" jawabnya melihat ke arahku.

"Hmm, kamu tidak suka pagi ini kan? Matahari bersinar terlalu awal mungkin?" tanyaku

"Kurang lebih benar, lanjut. Berteduh di uap biji yang terseduh..."

"Berlindung dari sesuatu ditemani kopi yang baru saja diseduh" potongku

"Hampir tepat, bukan berlindung dari sesuatu tapi mencari kenyamanan ditemani kopi yang baru saja diseduh" jawab Alysha lalu mengambil kopinya.

"AH PANAS! Ya ampun panas!" keluh Alysha mengipas kipaskan tangannya ke mulutnya.

dua cangkir kopi untuk berdua [2/2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang