Wish You Were Gay

10.3K 515 109
                                    

Kau mengulurkan tangan dan kugenggam erat.

mungkin kau tak sadar ada hal lain yang ikut

tergenggam saat itu.

.
.
.

Gibran mencengkeram tali ranselnya dan memindai ujung lorong kampus yang gelap, sambil berusaha menyeimbangkan langkah saat debaran jantungnya kian meningkat. Di sana, dia yakin, ada suara lelaki minta tolong lalu hilang ditelan kegelapan. Gambaran penganiayaan dalam otaknya cukup mengerikan membuat matanya terpicing. Berbekal nyali nekat, Gibran berlari memacu langkah mendekati sebuah ruangan diujung lorong.

Sialan memang, lampu dop disana menambah nilai mistis berkelip-kelip hendak dijemput ajal. Rambut Gibran sudah basah oleh keringat, berkilau samar menyerupai titik-titik. Dia mengalihkan perhatian kearah gudang dekat pojokan kantin saat mendengar suara rusuh menghantam benda.

Suasana kampus sudah sepi, tentu saja ini sudah hampir dini hari. Hanya beberapa lampu ruangan dan lorong yang menyala. Salahkan dirinya yang terlampau asyik sendiri didalam perpustakaan menggarap tugas mengandalkan wifi gratis hingga lupa waktu. Tahu-tahu saat melangkahkan kaki hendak pulang menuju kontrakan, dia mendengar suara orang minta tolong dan disinilah dia sekarang. Berdiri sendirian didepan gudang yang terkunci rapat.

Samar dapat ia dengar suara beberapa orang didalam sana. Gugup, Gibran menelan ludah. Lelaki bertubuh tinggi itu gamang, ia memutuskan berlari menuju pos satpam. Mengajak Pak Saleh (yang kebetulan malam itu berjaga) untuk memeriksa keadaan.

"Beneran kamu dengar ada suara orang minta tolong?"

Gibran mengangguk, mereka berjalan cepat berbekal sentolop dan pentungan ditangan Pak Saleh. Sampai ditempat tadi, Gibran kembali mendengar suara samar. Ada tawa dan suara aneh. Pak Saleh menyuruh Gibran membawakan sentolopnya. Pria paruh baya itu menggebrak pintu. Membuat aktifitas didalam berhenti.

"Siapa didalam? Buka pintunya!" Pak Saleh menggebrak lagi, lalu terdengar suara minta tolong yang lemah. Tak sabaran, Gibran menendang pintu itu hingga engselnya copot. Pak Saleh menatapnya kagum, namun langsung digantikan rasa kejut kala melihat apa yang ada didalam ruangan redup.

"Bajingan!"

Merangsek maju, Gibran menarik kemeja salah satu dari empat orang didalam ruangan, pukulan dari tangannya tak bisa terelakan. Dia merasa darah dalam tubuhnya mendidih karena marah. Yang ditatapannya hanya ada kegelapan, kedua kepalan tangannya diacungkan tinggi, memukul-mukul liar. Satu orang lagi terjengkang ditabrak tubuh temannya, nyali tiga orang itu menciut kala melihat mata Gibran tampak berkilat penuh ancaman.

Tergesa Pak Saleh menghubungi pihak kepolisian. Ia mementung salah satu diantara mereka yang hendak lari terbirit. Tahu-tahu tiga orang terkapar tak sadarkan diri. Gibran tampak seperti makhluk asing dimatanya. Meski dikenal sebagai mahasiswa cukup pintar dan ramah, satpam itu cukup terkejut melihat kebringasan Gibran memukuli tiga orang dengan tangan kosong.

"Kamu bantu dia ya, bapak jaga mereka, sebentar lagi polisi tiba." Kata Pak Saleh.

Gibran mengangguk. Nafasnya terengah kasar. Ia berjongkok didepan lelaki yang hampir telanjang, meringis melihat celana jeans yang melorot semata kaki serta kemeja putih yang compang-camping. Meringkuk menjauh adalah seorang lelaki bertubuh lebih mungil darinya. Dari pendar cahaya yang redup, Gibran dapat melihat wajah lelaki itu. Wajahnya agak feminim, kulitnya pucat, dan ada sedikit luka lebam pada sudut bibir. Mungkin salah satu dari tiga orang tadi memukulnya.

"It's okay, kamu aman sekarang." Gibran membantu lelaki itu menaikan celananya meski diawal ada penolakan.

Melepaskan jaket yang dikenakan, Gibran memberikannya pada lelaki itu. Namun tak ada niatan untuk mengenakan, akhirnya Gibran menutupi tubuh bagian atas yang terkoyak lalu mengangkat tubuh (yang ternyata) ringan itu dalam gendongannya. Gibran menatap tepat dimata. Tampak rona merah berpendar meronai pipi.

Just Freaks Like You And MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang