part 1

10 1 0
                                    

Nama ku Kejora, mantan siswi kelas 12 di salah satu SMA Negeri favorit di Jakarta, yang sebentar lagi akan resmi menjadi  mahasiswa kedokteran di salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Bandung.

Besok merupakan acara perpisahan sekolah ku, yang berarti harus berpisah dengan sahabat, teman-teman, guru, penjaga kantin, musuh, bahkan orang yang sempat kau suka, dan aku tidak suka kenyataan itu. Karena perpisahan identik dengan kehilangan.

Tetapi, lusa merupakan hari kepindahan ku ke Bandung. Memulai hidup baru di sana, bukan lagi sebagai siswa melainkan mahasiswa. Aku harus siap meninggalkan kota ini untuk sementara waktu ,dan juga meninggalkan semua cerita yang lama demi menghidupkan cerita yang baru. Oleh karena itu, hari ini aku harus merapihkan barang ku dan memilah mana yang bisa aku bawa ke sana dan mana yang harus aku tinggal. Dengan berat hati, harus ku tinggalkan kenangan ini.

Saat sedang merapihkan pakaian, aku melihat kotak merah bertuliskan 'memori', tersimpan rapi di belakang tumpukan pakaian lama. Aku pun membuka kotak itu dan di dalamnya berisikan album foto, ada saat aku merayakan ulang tahun ku yang ke 17, penanda dari usia remaja ke dewasa. Lalu foto ku dan sahabat ku berlibur ke Bali, saat itu kami masih duduk di bangku kelas 11. Ada juga foto-foto ku bersama teman kelas setelah pelaksanaan UN, memakai seragam putih abu abu penuh dengan coretan tanda tangan yang menandakan 'kami sudah lulus', dan di penuhi dengan senyum kebahagiaan karena berhasil melewati 3 tahun yang penuh arti dan tidak terlupakan.

Di dalamnya terdapat juga sebuah buku bertuliskan 't e r c a t a t' , buku kecil berwarna coklat yang kertasnya sudah mulai menguning seiring berjalannya waktu. Itu buku harian ku. Di buku itu ku ceritakan seluruh tentangnya, yang ku yakini teman terdekat ku saja belum tentu mengetahuinya. Saksi bisu tentang bagaimana aku mengenal dia.

****

12 Agustus 2014
pertama kali.

            Hari itu matahari sedang libur dari tugasnya untuk menghangatkan pagi, di gantikan dengan dinginnya mendung sang awan yang sejak semalam tidak berhenti menangis. Di dinginnya hari Selasa pagi ini, ada yang menarik perhatian ku. Ketika aku sedang berjalan di lorong sekolah dengan teman ku, ada satu pintu terbuka, dan terdengar suara merdu seorang laki laki sedang memetik gitar putihnya. Aku menghentikan langkahku tepat di depan pintu itu lalu menoleh ke arahnya yang sedang duduk di depan kelas dan tanpa terduga ia juga menoleh ke arah ku sambil tersenyum, aku terdiam, terpesona olehnya, aku memutuskan untuk membuang muka dan langsung berjalan cepat sambil mengendalikan detak jantungku yang berdegub kencang. Bodoh. Hanya itu yang ada di pikiran ku saat ini, aku sangat bodoh kenapa aku hanya diam saja? kenapa aku tidak membalas senyumnya? Ohh bodoh kamu kejora.

Namanya Angkasa. Sengaja tak ku sebutkan lengkapnya, agar tak seorang pun tahu. Agar tak seorang pun jatuh hati padanya. Agar tak seorang pun, memperhatikannya.
           Cukup aku.

Pada hari ini, tanggal 12 Agustus 2014. Ku deklarasikan pada buku harian ku, bahwa dengan resmi aku mencintai Angkasa pada kesan pertama. Aku tidak jatuh cinta padanya, karena sesuatu yang jatuh akan hancur. Sehingga, aku tidak mau menghancurkan perasaan ini, dan aku memilih untuk mencitainya dalam diam.

****

Angkasa, nama itu terus berlarian di benakku, satu nama yang mampu memutar balikan duniaku. Dia orang yang dulu atau mungkin sampai saat ini masih menetap di hatiku.

Tinggi, berkulit sawo matang, manis, pandai bermusik dan pandai mencuri hatiku. Sosok itu selalu menjadi pusat perhatianku. Aku suka senyumnya, aku suka caranya memperlakukan wanita, aku suka suara merdunya, aku suka segala tentangnya.

Jika kalian bertanya apa ia tau perasaanku? Dengan lantang aku jawab 'tidak'. Karena aku pemeran sandiwara terbaik di pertujukan klise ini.

Aku terlalu menikmati memainkan peranku ini, seperti kopi hitam pertama pagi ini. Pahit dan panas. Bagaimanapun rasanya, aku tetap menikmatinya tanpa bicara sepatah kata pun tentang kekurangannya. Hingga aku lupa, jika kerlip kejora di angkasa bisa berlalu begitu saja tanpa pernah tau apa artinya.

****

"Eh kira-kira siapa ya, yang cocok jadi pilot di trailer pensi kita?" Kataku saat rapat pentas seni sekolah, kebetulan aku adalah salah satu pengurus harian acara itu.

"Gimana kalo Angkasa aja? Kayaknya dia cocok deh postur badannya kan bagus, tinggi lagi. Kata anak kelasnya sih dia tuh mau jadi pilot siapa tau aja mau, gimana?" Aku tersedak mendengar ucapan Adhara barusan, dan semua penghuni ruangan itu melihat ke arahku

"Kamu gapapa, Ra?" Tanya Adhara khawatir.

"Gapapa kok, ini keselek air putih heheh. Oh iya gimana tuh saran Adhara? Aku sih setuju aja, kayaknya juga emang cocok."Kataku mengalihkan topik pembicaraan.

"Aku setuju." "Iya, aku juga setuju." Ucap yang lain saling bersahutan.

"Yaudah, karena semuanya udah pada setuju berarti pasti ya orangnya Angkasa. Kejora kamu nanti setelah selesai rapat tolong ke kelasnya Angkasa ya, tanya ke dia mau ga jadi pilot di trailer pensi kita, tapi ga boleh gamau sih harus mau jadi kamu paksa dia ya, Ra?" Perintah Radith sang ketua umum acara ini.

Bagaimana ini, untuk pertama kalinya selama 2 tahun menyukainya, aku harus berbicara dengan dia. "Loh.. kok aku sih, Dith? Kenapa bukan Adhara aja, kan dia yang memberi ide." Kata ku sedikit gugup.

"Abis ini Adhara sama aku mau menyelesaikan proposal sponsor. Udah ya kamu jangan banyak protes. Rapat hari ini cukup sampai disini dulu, terima kasih atas waktunya semua." Ucap Radith mengakhiri rapat, yang berarti aku harus menghampiri Angkasa sekarang.

Dengan keberanian seadanya, aku berjalan perlahan ke arah kelas Angkasa. 12 MIA 2 begitu tulisan yang tertera di atas pintu ini. Mataku berkeliling mengintip dari luar, dimana dia? Mungkin sedang sholat dhuha karna saat ini bertepatan dengan waktu istirahat.

'syukur deh ga ada orangnya, jadi aku tidak perlu berolahraga jantung saat ini.' Ucapku dalam hati sambil berbalik badan meninggalkan kelas ini, namun sepertinya aku menabrak sesuatu atau lebih tepatnya seseorang.

"Aduhh."

"Hei, Ra. Lagi ngapain?" Itu dia, Angkasa, dan dia tau namaku.

"Eh inii..nyarii...." Ucapku terbata bata.

"Nyari siapa hayoo. Keira ya? Bentar ya aku bangunin dulu biasanya sekarang ..... "

"Bukan Keira! Aku mencarimu." Aku langsung memotong ucapannya.

"Aku? Ada apa?" Oh Tuhan, aku tidak kuat melihat matanya. Aku suka bagaimana caranya melihat ke lawan bicaranya, tepat di manik mata. Mata yang sangat indah, namun begitu tajam. Mata yang mampu membuatku jatuh hati karenanya.

"Kamu mau ga jadi pilot di trailer pensi kita?" Ucapku to the point.

"Aku? Kenapa aku? Kenapa tidak Aldi atau Ardi saja?" katanya.

"Memangnya Aldi dengan Ardi itu beda orang yah?" Tanyaku dengan polosnya.

"Ya beda lah, Kejoraaaaa. Sudah berapa lama sih kamu sekolah disini?" Katanya sambil tertawa, menertawakan kebodohanku.

Untuk kesekian kali, aku jatuh pada pesonanya. Tuhan, izinkan aku dapat melihat tawa itu setiap saat dan izinkan aku bisa menjadi alasannya untuk tersenyum,

****

lanjut cerita di halaman berikutnya yaa sebenernya ini one shoot story atau cerita pendek tapi aku bikin jadi beberapa halaman.

jangan lupa vote dan comment yaa makasihhh

dann maaf jika ada kesamaan nama, cerita, latar belakang atau ada kata2 yg mirip sama buku/cerita yang kalian pernah baca karna aku juga terinspirasi dari beberapa buku.

kejora di angkasa (one shoot story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang