🎵EXO CBX - Lazy🎵
Weekend is paradise ....
Sekurang-kurangnya, itulah pemikiran seorang Halminna. Tentu saja, itu juga jadi pemikiran banyak orang di luar sana. Artinya, Minna itu normal. Menganggap weekend sebagai salah satu dari sekian banyak kebebasan itu ialah sebuah stereotype normal.
Sekali lagi, normal.
N-o-r-m-a-l.
Baiklah, normal. Sama halnya dengan aktivitas-aktivitas kemalasan yang biasa dilakukan di akhir pekan. Itu juga normal.
Kalau begitu, Halminna adalah contoh dari sekian banyak orang normal yang hidup di jagad ini. Selamat, Minna!
Cukhae!
🍄🍄🍄
Sambil sesekali menyuapkan snack makaroni ke dalam mulutnya, mata Minna tak kenal lelah untuk tetap fokus pada layar pintar di genggamannya. Jemarinya silih berganti menekan tuts piano di ponsel. Maka mengalunlah sedari tadi musik Canon yang kian lembut seiring permainan jemari Minna.
Asal tahu saja, Minna telah 'main piano' sejak sebelum subuh. Ia hanya break untuk sembahyang Subuh, dan setelahnya ia sambung main lagi hingga kini, tepat pukul 7.30.
Dia hanya break lima menit! Lima menit untuk Subuh! Imagine!
Ketika pintu kamar dibuka ringan, Minna tak bisa menengok untuk melihat siapa yang datang mengganggu kebebasan ... ralat, kemalasannya itu.
"Halminna, jangan mainin Piano Tiles melulu. Itu di depan ada temen," kata Bunda. Dia memandang anaknya dengan tatapan maklum yang sudah biasa. Tak lagi memandangnya takjub seperti dulu-dulu saat awal kali tahu bahwa putrinya, Halminna, keranjingan main Piano Tiles.
"Bentar, Bun. Kagok."
Halma menggeleng malas. Ia memilih pergi sejenak untuk kembali ke ruang tamu, menghampiri teman-teman kampus Minna yang tiba-tiba berkunjung ke rumah mereka sepagi ini.
"Minna-nya lagi mainin Piano Tiles," ucap Bunda melapor. "Dewi hapal, 'kan?"
Dewi mengangkat satu jempolnya. "Hapal banget, Bunda. Dia 'kan kalau udah main Piano Tiles mana bisa diganggu gugat."
Bunda Halma tersenyum riang. "Tunggu sebentar, ya. Tunggu sampai Minna kalah main dulu."
Dalam hati, Dewi menyayangkan kemalasan Minna. Ia tahu, kawannya itu pasti sudah memainkan Piano Tiles semenjak subuh. Padahal kalau Minna bisa diajak kompromi sedikit saja, gadis itu pasti sudah bisa bertemu dengan lelaki yang ditaksirnya saat ini.
Sekarang juga. Di rumahnya sendiri.
Dewi sedikit melirik ke arah lelaki yang disukai Minna. Lelaki itu sedang tersenyum menanggapi Bunda Halma. Dewi menghela napas dengan kelelahan yang dibuat-buat. "Ya mending kalau kalah, Bun. Jari-jarinya 'kan super begitu kalo urusan Piano Tiles."
Bunda terkekeh. "Tapi kalo urusan nyuci baju, jari-jarinya lembek."
Kali ini, Dewi mengangkat dua jempol. "Nah, itu." Dewi tertawa diikuti tiga temannya yang lain.
Sementara Bunda dan para tamu mengobrol ringan di sofa depan, Minna sungguh masih anteng dengan game kesayangan sekaligus satu-satunya di ponselnya itu. Kini, alunan cepat The Fountain telah menggantikan alunan Canon yang melodius.
"Ya ampun, ini Carl Bohm jarinya gak pegel apa mainin musik ginian? Gak nyantai amat, hadeuh."
Minna mengeluh tapi kemudian tertawa di sela kesibukannya 'mengolahragakan' jari-jarinya di atas layar. Ia terus-terusan menggerutu soal Carl Bohm yang kenapa bisa selihai itu memainkan The Fountain, juga bagaimana Johann Strauss mengatur tempo musik Tritsch Tratsch Polka. Ia jadi membayangkan bagaimana kalau seandainya ia juga bisa selihai itu bermain piano di kehidupan nyata. Yang pasti bukan hanya lihai di Piano Tiles. Tapi piano asli!
KAMU SEDANG MEMBACA
Composition of Life (On Going)
Teen Fiction(Blurb) Masa Muda seorang Halminna itu haruslah bahagia, santai, dan berbobot. Begitu harap Minna. Bahagia dalam artian selalu punya perasaan girang minimal senyum secerah surya untuk menjalani hari-hari. Santai? Di samping sibuk ngampus, jangan lup...