Kerinduan seorang anak kecil ingin bertemu Rasulullah Saw

1.1K 31 0
                                    

Dikutip dari kitab Karomatul Aulia j.2

°°°

Peluh bercucuran di dahi kecil kedua anak yang sedang berkerja. Mereka adalah adik beradik. Mereka sedang bekerja menimba air ditengah terik matahari yang panas menyengat, semenjak ayahnya meninggal seminggu yang lalu, mereka rela membanting tulang bekerja pada seorang Yahudi yang kaya raya tapi kikir dan kejam, demi membantu ibunya.

Mereka terlahir ditengah-tengah kondisi keluarga yang miskin. Keduanya berwajah tampan dengan rambutnya yang ikal. Sang adik kondisi tubuhnya lebih lemah dan sakit-sakitan. Wajahnya cengkung tampak memerah oleh panasnya udara padang pasir dibawah panas terik.

Ubaid sang kakak berhenti menimba
dan berkata pada adiknya, ”Zaid,
beristirahatlah sejenak, biar aku yang
melakukan sendiri.” Zaid tersenyum di antara wajahnya yang lelah. Dia menggelengkan kepala. ” Tidak. nanti Tuan kita marah seperti kemarin.”
Ubaid berusaha memujuk adiknya,
”Tuan kita sedang pergi pasar. Lagipun kamu kan sudah berkerja keras dari pagi tadi. Beristirahatlah, pekerjaan ini sebentar lagi selesai.”

Akhirnya Zaid mau beristirahat. Dia
berteduh dibawah sebatang pohon
kurma. Tubuhnya memang selalu
sakit-sakit sejak ia lahir. Untung Ubaid
adalah kakak yang baik dan sayang
kepadanya. Angin berhembus pelan dan Zaid yang kelelahan itu pun tertidur tanpa terasa.

Tiba-tiba datanglah seorang lelaki
gemuk menaiki kuda yang kuat.
Namanya Raban, dia seorang Yahudi
yang kaya raya. Dialah tuan kepada
Ubaid dan Zaid. Sifatnya kikir dan
jahat, begitu melihat Zaid sedang tertidur, ia langsung naik angin. Dibentaknya di telinga Zaid kuat-kuat.

” Jadi selama ni kerja kau hanya bermalas-malasan dan tidur saja seharian, hari ini kamu tidak akan dapat upah !” Zaid kesakitan kerana dipukuli. Oleh kerana tidak sanggup melihat adiknya diperlakukan sebegitu, Ubaid segera berlari mendekati Zaid. ”Jangan sakiti adikkuTuan Raban yang baik,” katanya menghiba ”Dia pemalas, dan memang sepatutnya aku pukul, kalau begini terus boleh gulung tikar aku dibuatnya !” herdik si Raban.

”Kalau Tuan mau memukul, pukullah
saya sebagai gantinya.” jawab Ubaid.
Tiba-tiba melayanglah tamparan keras
di pipi Ubaid. Kemudian Raban mengeluarkan uang dan melemparkan ke tanah. ”Nah kau pemalas !” Mereka memungut uang tersebut dan bergegas pulang. Zaid terisak-isak. Ia sangat menyesal karena sampai tertidur. Ia kasihan melihat Ubaid dipukuli juga, tapi ia lebih menyesal lagi, karena uang yang dibawanya pulang untuk ibunya sangat sedikit. Ah.. andai Ayah belum meninggal, kehidupan kami tidak akan sesulit ini. Namun mereka masih merasa
bangga, kerana mereka mempunyai
ibu yang sangat bijaksana.

Betapapun sedih hatinya melihat nasib anak-anaknya, ia selalu tersenyum dan
selalu membuat mereka bahagia, dan
tidak bosan-bosannya senantiasa
mengingatkan mereka bahwa
sesungguhnya Allah selalu bersama
orang-orang yang sabar.

Setiap malam tiba mereka merasakan
suatu kesepian yang panjang, mereka
merasa malam-malam berikutnya
pastilah akan berlalu seperti ini terus.
Namun ternyata Allah tidak berlama-
lama membiarkan mereka dalam
kesedihan. Kerana pada suatu malam
datanglah tamu yang ternyata Paman
Atib, adik kandung ibu mereka.

Paman Atib itu seorang pemuda yangg gagah dan terpelajar. Dia singgah untuk
menjenguk kakak dan anak-anak
saudaranya. Kedatangan pamannya membawa kebahgiaan tersendiri, persis seperti cahaya bulan yang masuk dari celah-celah jendela ke rumah mereka.
Selama beberapa hari mereka tidak
perlu bekerja terlalu berat, karena
Paman Atib bekerja membantu untuk
memenuhi keperluan mereka hari-
hari.

KISAH-KISAH NABI MUHAMMAD SAWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang