lebih dekat

570 24 0
                                    

Hehehe, maaf kan aku yang mengganti nama pemeran perempuan dari Saly menjadi Alin. Nanti aku revisi lagi dari awal 😂

Bintang kehidupan dari kalian membuat aku semangat untuk menulis.

Komen dari kalian membuat aku bisa tau apa yang kalian rasakan sesudah membaca ceritaku ini.

🖤

---

Angin malam berhembus kencang, Aku menoleh melihat Ara dan Riska yang masih saja berdebat walau hal kecil, misalnya Riska yang bersendawa di komentari jorok oleh Ara, Ara yang minta dibukakan air mineral pada Dinar di sebut manja oleh Riska, atau keduanya yang berebut kentang rebus yang tinggal setengah potong. Untungnya ada Rangga dan Dinar yang selalu memisahkan mereka.

Aku tersenyum, senyum yang selalu aku kembangkan untuk menutupi rasa kecewaku, kalau kalian fikir selama ini aku baik-baik saja, nyatanya aku tidak baik-baik saja. Penghianatan itu begitu menamparku, membuatku sulit mengekspresikan apakah aku harus menangis atau tertawa, menertawakan diriku sendiri yang begitu bodoh ditipu oleh mereka.

"Mau?" Aku menoleh ke sumber suara, Dewa duduk di sampingku, membuat diriku sedikit gugup. Ia menyodorkan pisang rebus kepadaku, aku heran darimana triple D itu mendapatkan umbi umbian seperti ini.

"Sharing?" Godaku pada Dewa membuat ia terkekeh, tapi tak ayal juga iya membelah kentang itu menjadi dua, aku menerimanya, kentang hangat yang kini ada di tanganku.

Kami makan bersebelahan dalam diam, cukup lama, sampai ia menyodorkan air mineral yang tinggal setengah sesaat setelah menyangkut habis.

"Sharing?" Cengirnya, aku menerimanya sambil tersenyum, abaikan kehigenisan hidupmu saat kalian berada di hutan seperti ini.

"Gue gak tau jadinya kalau sampai itu anak ilang disini." Aku faham yang ia maksud adalah Ara.

"Gue bisa di gantung papa dan di kubur hidup hidup sama bang Ito."

Aku terkekeh, sekejam itu kah?

"Anak perempuan satu-satunya?" Tanyaku sambil menatap kepada Dewa.

"Princess  di rumah, dia gak keluar seharian aja karena datang bulan satu rumah panik!" Dewa terkekeh, bisa melihat pancaran cinta untuk Ara dimatanya, ah! Seandainya aku punya kakak!

"Emm elo.." belum sempat Dewa menyelesaikan ucapannya jeritan Ara membuat kami segera berlari.

"Ya Allah kak Sofi!!!!" Jerit Ara sambil membekap mulut, saat aku kesana aku sudah melihat Sofi dalam dekapan Darma, Darma memeluk erat pundak Sofi.

Aku melihat Dinar memeluk kepala Sofi, Rangga segera mengambil air hangat yang masih tersedia, Ara dan Riska sudah menangis ketakutan sambil memeluk Sofi dari samping. Sementara aku hanya memandang Sofi yang menggigil dengan wajah yang semakin pucat dan nafas yang pendek-pendek.

"Terus bernafas Sofi!" Ujar Darma yang terus memeluk Sofi.

"Ayo Sofi bernafas! Rasakan sekitar kamu hangat!" Dinar memberikan sugesti positif pada gadis itu.

"Minum Sof, minum!" Dewa menghampiri sambil memberikan sedikit demi sedikit air hangat ke mulut Sofi.

Aku menekan dadaku, pandanganku terasa kabur, aku merasa Dejavu, aku pernah mengalami hal seperti ini.

Dulu, dulu sekali saat aku berusia sepuluh tahun, aku baru saja pulang sekolah dan dikagetkan dengan kondisi mama yang kurang lebih seperti Sofi, menggigil dengan wajah pucat, aku yang saat itu bersama mbok Yah, panik bukan main.

Mbok Yah berlari menuju rumah tetangga, sedangkan aku terus mengguncang tubuh mama, hingga entah dimenit kesekian aku melihat mama tumbang, ia tertidur dan tidak pernah bangun lagi.

---


Hari semakin larut, atau mungkin sudah hampir subuh? Tapi aku masih duduk didepan api unggun, menatap api yang berkobar tinggi, denyutan nyeri itu masih terasa dihatiku, sahabat macam apa aku? Yang hanya diam saja melihat sahabatnya nyaris meregang nyawa? Bahkan mengeluarkan airmata saja pun tidak!


Mataku memanas tapi aku tidak bisa menangis, entah mengapa, hanya sesak di paru-paru saja yang aku rasakan juga denyutan nyeri disekitar hatiku.


"Belum tidur?" Aku terdiam, aku tau Dewa yang saat ini duduk didekatku, ia menyampaikan jaket kepundakku. Membuat aku menoleh padanya, "dingin."

Lagi, aku hanya diam, kembali menatap kobaran api memberikan kehangatan.

"Terkadang, sebagai manusia kita itu perlu berbagi, perlu bicara."


Lagi aku diam, tak mengerti kearah mana ucapannya. Dewa mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, sebuah sapu tangan model lama.

"Jadul banget ya?" Wow! Dewa seperti tau apa yang aku pikirkan, "ini dari almarhumah Nenek, gue pernah berada dititik terendah, gue pernah ngerasain sedih banget tapi gak bisa ngungkapinnya, gue bersikap biasa aja, tapi apa Lo tahu kalau mata itu jendela dunia?"

"Alin..." Aku mendengar ia menyebutkan namaku, hatiku bergetar, entah mengapa seperti ada aliran magnet yang sedikit melegakan paru paru ku.


"Menangislah, bila memang itu dirasa perlu, seberat apapun masalahnya pasti Lo bisa lewatin itu tanpa menangis, ah bukan... Gue tahu Lo bisa lewatin Masalah Lo itu, tapi setidaknya dengan menangis Lo bisa sedikit merasa lega, Lo bakal bisa berfikir jernih."


Aku menatap dewa, kami saling menatap, mengapa dewa tahu aku sedang mengalami masalah?

"Dari dulu gue gak punya siapapun untuk menjadi sandaran gue, setiap gue nangis yang gue dapatin hanya kesunyian setelahnya."

Aku bingung ingin mengucapkan apalagi, intinya aku yang sebatang kara ini tidak memiliki sandaran untuk menangis.

Ia mengambil tanganku dan memberikan sapu tangan itu, "mulai sekarang  dia yang bakalan jadi sandaran buat Lo, dia tidak bisa Lo ajak ngobrol tapi setidaknya dia bisa menghapus tangisan Lo."

Aku terharu sangat, Dewa begitu peduli padaku, tapi itu dari neneknya kan? "Sebagai ucapan terima kasih gue karena Lo udah jaga Ara."


Aku mengambil sapu tangan itu, sepertinya aku akan membutuhkannha kelak. "Wa.."

"Hmmm.."

"Boleh gue pinjam punggung Lo?"


Dewa mengangguk, ia segera berbalik dan mundur sampai membentur padaku dan dengan tidak tahu malunya aku menyandarkan kepalaku pada Dewa, air mataku mulai berjatuhan awalnya sedikit lalu lama-lama semakin deras, spontan aku melingkarkan tanganku di lehernya yang ia balas dengan menggenggamnya, memberikan usapan lembut pada tanganku, seakan berkata bahwa semua akan baik-baik saja.

Padahal ia sendiri tidak tahu apa yang terjadi padaku, dewa terima kasih, kemarin-kemarin aku selalu bersandar pada Ardi disaat aku sedih tapi setelah ia berkhianat aku tidak tahu, pada siapa aku harus menangis.

---




Tersesat Di HutanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang