Mula

36 4 2
                                    

Tubuhku terasa basah. Perlahan-lahan aku mencoba untuk membuka mata. Sangat sulit. Sayup-sayup aku mendengar suara air yang mengalir. Mungkin sebuah sungai. Aku sedang berada di dekat sungai. Terbaring tak berdaya.

Aku memandangi sekitarku dengan penglihatan yang agak kabur. Sinar rembulan cukup terang sehingga mampu menerangi sekitarnya. Sekilas aku teringat kejadian yang baru saja aku alami. Aku memandang ke arah lain dan ternyata ada seeorang yang sedang berdiri di samping tempatku terbaring. Aku berusaha mengenali wajahnya. Meskipun agak kabur, aku masih bisa melihatnya. Raut wajahnya yang datar dan sorot mata teduh.

Aku berpikir sejenak. Aku bertanya-tanya di dalam hati. Apa aku masih selamat? Bagaimana mungkin?

"Kamu siapa? Apa kamu yang menolongku?" Aku mencoba untuk duduk dengan tangan yang menopang tubuhku.

"Hal baik selalu datang terlambat. Tetaplah hidup." Ucap lelaki yang masih berdiri tidak jauh di sampingku itu dan tiba-tiba dia pergi, oh tidak, dia-----menghilang.

Tentu saja aku kaget dengan kejadian barusan. Bagaimana mungkin, tidak ada angin, tidak ada hujan-----ini lebih buruk dari kematian, batinku.

Mirey tidak mau berlama-lama berada di sana, segera ia merogoh saku celananya dan mengecek apakah ponselnya masih ada. Dia beruntung. Ponselnya tidak hanyut dan dapat menyala, segera Mirey mencari salah satu kontak yang bisa membantunya saat ini yaitu Dante, manajernya.

Tak butuh waktu lama, Dante datang dan keluar dari mobil berwarna putih itu. Tidak, dia bukan Dante, itu pak Sarif--supirnya.

Dasar manajer sok sibuk!

Mirey keluar dari mobil setelah berganti baju. Baju sederhana yang di berikan pak Sarif menjadi terlihat modis saat Mirey yang memakainya. Sebuah gaun bermotif selutut dengan ikat pinggang kecil berwarna magenta.

Mirey memutuskan untuk menenangkan diri saat ini dan memerintahkan pak Sarif untuk membelikannya tempat tinggal baru. Sementara Mirey ingin mencari kafe di dekat sini.


Tut tut tut tut...Cklek

Jari-jemari lentik Mirey mulai menari-nari menyusun angka yang membuat pintu apartemennya terbuka. Ia pun masuk dan pintunya tertutup secara otomatis. Mirey berjalan mendekati dapur dan berdiri di depan wastafel.

Ketika telepon apartemennya berdering, Mirey sedang mencuci tangannya. Dia menatap ke arah meja telepon. Mirey masih belum terbiasa mendengar dering telepon itu, nyaring dan mengganggu. Kemudian, Ia mematikan keran dan mengelap tangannya yang basah pada lap di pinggir wastafel dan mendekati pesawat telepon. Mirey mengangkat gagang telepon di dering ketiga.

Hanya sedikit orang yang mengetahui nomor telepon apartemennya. Lebih sedikit yang tahu nomor telepon apartemennya dan meneleponnya. Apalagi ini adalah apartemen yang baru Ia singgahi hari ini.

"Halo."

"Kau, kau...!" suara sarkas itu tidak mengejutkan mirey sama sekali. "Apakah kau harus pergi dari rumah seperti itu?"

"Mama sendiri bilang aku tidak boleh menghubungimu!"

"Hei! Itu---sejak kapan kau mau mendengarkanku?"

"Aku selalu mendengarkan Mama sejak dulu, bahkan sejak Mama meminta uang untuk membuka toko pakaian impor atau membuang-buang uang dengan berinvestasi di toko roti?"

"Jangan mengungkitnya lagi! Kau...lihatlah ke cermin wajah dan tubuhmu. Siapa yang memberimu uang untuk kecantikan itu? Katakan saja jika kau tidak memiliki ibu sepertiku apakah kau pikir kau akan secantik itu? Kau menghasilkan uang dari majalah dan iklan. Itu mungkin karena kau cantik seperti aku, bukan karena kau seorang model yang hebat, kau harus tau itu!"

Mulut Mirey terbuka lemah, sungguh tidak menyangka Mamanya akan berkata seperti itu. Apa benar dia orang tuaku?

"Aku mirip dengan ayah...," Sahut Mirey lemah.

"Ya tuhan, lihatlah kau ini! Apa maksudmu kau seperti ayahmu? Dia tidak tampan sama sekali!"

"Ah benar. Mama menikah dengannya karena uangnya, bukan karena wajahnya. Dan saat ayah bangkrut, Mama mencampakkannya."

"Hei! Apa yang kau tahu?"

"Aku seperti ayah, jadi aku benar benar membencimu jangan bicara tentang ayah dengan mulut itu!"

"Aku sudah tidak punya uang lagi. Kirimkan aku 10 juta. Akan lebih baik jika penghasilanmu langsung masuk ke rekeningku, bukan?!"

Mirey tidak memastikan pembicaraan itu telah usai. Ia menutup pembicaraan secara sepihak, lalu meletakkan kembali telepon itu ke tempat semula.

Mirey berjalan tersaruk menuju kamarnya, kemudian merebahkan dirinya di atas tempat tidur dengan satu tangan memijat pangkal hidungnya. Selain rasa pening, kepala yang ditumbuhi rambut berwarna hitam kecoklatan itu juga dipenuhi oleh kilas balik kejadian di malam ia hampir mati.

Flashback onn

Suara bising kendaraan sibuk berlalu-lalang di sore hari ini. Dari kejauhan di sini, dari sudut yang lain, kupandangi banyak wajah di sore ini, di sore hari menjelang senja. Ternyata banyak hal yang terkadang bisa di nikmati di kesendirian. Banyak hal yang bisa di nikmati bahkan dari kejauhan.

Warna langit yang biru pun mulai memudar, semburat senja telah menampakkan dirinya. kupu-kupu kuning bermotif indah itu meliuk-liuk mengikuti irama sungai bawah jembatan rel kereta api, sesekali kereta api melintas dengan anggun bersama suara bising keras tak hampa. Semilir angin membuat rambut-rambut lurusku mengikuti ke mana arah angin.

Aku mulai menutup mata, mencoba berbicara dengan alam, tepatnya di tepi jalan setapak dekat sungai. Aku sekarang berdiri mematung merasakan matahari yang sedang tenggelam dengan perlahan. Aku mulai bertanya pada diriku sendiri. Apakah aku harus mengakhiri semua ini? Aku sudah lelah Tuhan, izinkan aku menghadapmu.

Byurrr....

Flashback off

Aku ingat!

Dia,

Aku tidak mengenalnya, tapi mengapa lelaki itu rela menyusulku ke dalam air dan menolongku?




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Langkah Tak BerjejakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang