Hidupnya tak pernah merasa gundah, untuk kedua kalinya dia merasakan jatuh cinta yang begitu dalam. Cinta pertamanya hilang begitu saja, dan kini dia juga harus kehilangan yang kedua kalinya. Alvin tak pernah merasa sepengecut ini, dia tidak mudah menjatuhkan hatinya kepada sembarang perempuan, tapi kali ini dia merasakan jatuh cinta namun teramat sakit.
Ada hal yang terkadang tak ingin dipikirkan manusia, padahal itu penting, jatuh cinta. Hal yang terkadang membuat manusia melakukan hal-hal bodoh. Apapun akan dilakukan asalkan demi cinta. Walaupun mereka harus berani merasakan patah hati.
Alvin menghela nafasnya dalam, kini dia harus berani merasakan patah hati walau itu terasa pilu. Tapi itu konsekuensi karena dia sudah berani jatuh cinta.
Alvin beranjak dari tempatnya berdiri, berjalan gontai kearah deretan bangku yang berjajar rapi ditepi lapangan volly. Maklum, minggu ini ada tournament volley yang diadakan OSIS, setiap tahunnya. Tatapan Alvin terasa kosong, mengarah kearah tiang bendera diseberang lapangan, patah hati ini cukup membuatnya murung.
" Vin, boleh aku ikut duduk? ". Aku mendekati Alvin yang terduduk diam di deretan bangku itu. Dia tampak gugup melihatku, hampir tiga tahun kami bersahabat tapi, aku tidak pernah melihatnya segugup ini kepadaku.
Alvin mengangguk mengiyakan, aku duduk disebelah kirinya. Entah kenapa pandanganku juga ikut kosong. Tidak ada percakapan sama sekali, Alvin masih diam dan murung.
" Apa kamu tahu Vin, hal yang menyusahkan di dunia ini?", Aku memulai percakapan.
" Tidak ", Alvin hanya menjawab pendek pertanyaanku.
" Patah hati ", Aku menjawab dengan nada rendah, sambil memainkan pasir yang menempel disepatuku.
Alvin menoleh kearahku, menatapku nanar, seakan tak percaya tentang apa yang sedang aku bicarakan.
" Menurutku juga ", Alvin menjawab pendek.
" Kamu kenapa Vin?", Aku melontarkan pertanyaanku kembali, sembari membuka buku agenda OSIS ditanganku. Tournament ini benar-benar menyita waktuku.
" Nggak kenapa-napa kok ", Alvin menjawabku ketus, dia tidak berani memandangku. Ada yang aneh dari dirinya sejak satu bulan yang lalu.
" Jujur Vin, hampir tiga tahun aku menjadi sahabatmu, baru kali ini aku melihatmu begitu murung ". Aku mencoba mengontrol rasa penasaranku yang bergejolak.
Alvin hanya diam, tatapannya tetap mengarah ke tiang bendera di seberang lapangan, sejak satu bulan yang lalu Alvin mulai menghindar dariku.
" Ceritalah Vin, jangan menambah kesedihanku ", Aku menundukkan pandanganku, kembali memainkan pasir disepatuku.
Alvin mengubah tatapannya, dia menatapku tak percaya, " Menambah kesedihan? ".
" Aku putus Vin ", Mataku terasa panas, ada embun yang menggelayut dimataku, tapi enggan aku tumpahkan, begitu pengecut menangis hanya karena cinta.
" Kamu putus dengan Feri, kenapa? ", Alvin bertanya penasaran.
" Entah. Aku tidak tahu apa alasannya, tanpa alasan dia tiba-tiba mengirim pesan singkat kepadaku yang intinya hubungan ini berakhir ", Aku tidak bisa menahan embun dimataku, suaraku terasa terisak. Aku mengelap airmataku menggunakan jilbabku, sebab aku lupa membawa tisu.
Aku sedikit melihat kearah Alvin, tatapannya mengarah kearahku, kali ini tatapannya begitu peduli, dia menepuk bahuku pelan.
" Tenanglah Mai, dibalik patah hatimu itu pasti ada hikmahnya ", Kali ini Alvin tersenyum ke arahku, senyumnya begitu hangat.
***
YOU ARE READING
Cerita yang Lalu untuk Cerita yang Baru
Teen FictionKesedihan tidak pernah hilang, kesedihan ternyata memang bukan sesuatu yang bisa ditinggalkan, karena kesedihan berada didalam diri kita. Disaat kesedihan sudah meninggalkan kenangan, dan disaat itulah sebuah angan harus kembali terbangun. Terus be...