AKU TIDAK SUKA INI

50 0 0
                                    

Matahari mulai meninggalkan singgasananya di ufuk barat, cahaya jingganya memberikan suasana kehangatan dan kedamaian. Aku mulai menggoreskan pena di atas kertas kosong, sembari duduk dibalkon rumah yang langsung menghadap kearah matahari terbenam. Menulis, aku suka menulis sebagai pengisi waktu luangku, mencurahkan apa isi hatiku dan masalahku saat ini.

Senja sudah semakin larut, angin juga sudah tidak bersahabat, terlalu dingin jika aku masih duduk di atas balkon rumah. Jilbabku terkibas ketika hendak berdiri dan beranjak turun dari balkon. Tidak sengaja aku menjatuhkan bukuku, ada perasaan aneh yang tiba-tiba datang, aku tidak terlalu mempedulikan, barangkali itu hanya sebuah perasaan saja.

Sebentar lagi adzan maghrib akan berkumandang, aku segera menutup gorden dan pintu yang masih terbuka. Ayah belum pulang dari perginya, sudah hampir tiga bulan ayahku menganggur, setiap hari kerjanya hanya bermain gadget, entah apa yang dimainkannya di dalam ponsel canggihnya itu.

Aku masuk lewat pintu belakang, perasaanku mendadak berubah tidak nyaman seperti ada sesuatu yang akan terjadi.

" PYARRRR ," Aku mendengar seperti ada pecahan kaca yang terjatuh dari arah dapur, firasatku benar, ada ayah, ibu dan adikku disana yang sedang menangis.

 " Sudah aku bilang jangan masak sayur ini, kenapa ngeyel ," Ayah membuang sayur buncis di depannya. Ibu hanya terisak menahan air matanya sambil menggendong Aira, adikku yang berumur empat tahun yang menangis di gendongannya.

" Kalau besok masih masak seperti ini lagi, aku buang semuanya ," Ayah berlalu meninggalkan ibu yang terisak sedih. Begitulah tabiat ayahku, masalah sepele seperti ini dibesar-besarkan, sudah tiga bulan ayah tidak bekerja, dan ketika ekonomi keluargaku menurun emosinya semakin meninggi.

Aku mendekati ibu yang sedang menjumputi pecahan piring di depannya, Aira sudah tidak menangis lagi, aku tahu dia pasti habis dipukul oleh ayah, aku melihat tanda merah di tangan sebelah kanannya. 

" Bu, aku minta maaf, " Aku membantu ibu memunguti beling di depanku, mataku terasa panas, aku merasa hatiku tersayat melihat ibuku menangis. Setiap hari seperti ini, di dalam hatiku aku tidak suka melihat ayahku yang emosional, aku juga tidak tega melihat ibu yang setiap hari harus berjualan di pasar, melihat badan Aira yang kurus kering. Aku memeluk ibuku yang terisak keras, airmatanya tumpah, membanjiri pipinya membasahi kalbu yang tersakiti. dua puluh tahun pernikahan ini terjalin, tak satu kali pun ibuku merasakan bahagia seutuhnya. Namun, bagaimana pun Ayah, tetaplah Ayahku. Seberapa buruk sifatnya terhadap kami, aku tidak boleh membencinya.

***

Cerita yang Lalu untuk Cerita yang BaruWhere stories live. Discover now