KITA ITU SAHABAT

53 0 0
                                    


Kesibukanku begitu padat sebelum tournament volley dimulai tiga hari lagi, aku harus mengurus proposal yang belum di Accept sama sekali. Lelah, tapi ini caraku untuk sejenak melupakan apa yang sudah terjadi, walaupun sejenak tapi itu sangat membantu.

" Lina, ini laporannya, nanti kamu tambahin aja kebagian sie acara ," Aku memberikan satu bendle kertas bertinta itu kepada Lina, sekretaris OSISku.

Lina hanya mengangguk mengiyakan, dia akan sibuk untuk beberapa hari kedepan, terlihat dari kantung mata yang terlihat semakin hitam.

Aku melangkahkan kakiku keluar dari ruang OSIS, diseberang koridor ada Alisa yang melambaikan tangannya kearahku, dan seperti biasa di sampingnya ada Mahendra yang sibuk dengan ponselnya. Mereka adalah sahabatku, yang selalu peduli dan selalu berada disaat senang dan susahku, termasuk Alvin, dia juga sahabatku, Alisa dan si gamer, Mahendra.

Aku membalas lambaian tangannya, segera kakiku beranjak menuju mereka. " Tumben kalian bareng ," Aku menggoda Alisa dan Mahendra di sampingku.

" Sebenarnya aku malas, cuman dia aja yang ikut-ikutan ," Alisa menatap Mahendra dengan begitu sinis.

Mahendra menghentikan ponselnya, dia menatap Alisa tidak kalah sinis, itu terlihat jelas walau terhalang kacamata minus miliknya. " Menurutmu aku mau gitu pulang bareng sama kurcaci cerewet kayak kamu?."

" Ihh udah, jangan ribut disini ," Aku melerai keributan diantara mereka.

Begitulah Mahendra dan juga Alisa, setiap hari ada saja yang mereka ributkan walaupun itu hal kecil dan tidak penting. Wajah Alisa sudah terlihat kesal, pipi tembemnya terlihat merah padam. Badan Alisa yang pendek dan tambun membuatnya lebih mirip kurcaci, dan Mahendra sering mengejeknya seperti itu.

" Alvin kemana Hen?," Aku bertanya kepada Mahendra yang sedari tadi masih memandang sinis Alisa.

" Udah nunggu diluar ," Jawaban yang ketus. Aku segera mengajak mereka untuk pergi dari tempat kami berdiri, dan benar saja Alvin sudah menunggu dangan memakai jaket hitam semi kulit, motornya terpakir didepan pos keamanan.

" Kemana aja sih, lama amat ," Alvin berjalan mendekat kearah kami.

" Namanya juga nungguin bu ketua ya lamalah ," Alisa menggodaku.

" Aku tuh, bukan ibu ketua Al," Alisa selalu menggodaku dengan sebutan Bu ketua, ya walaupun benar aku adalah ketua OSIS, tapi aku malas kalau disebut ketua.

Alvin hanya tersenyum mendengar sebutan itu, dia juga sering menggodaku dengan sebutan itu. Aku senang karena Alvin sudah mau bergabung, berbagi pengalaman lagi dengan aku, Alisa dan Mahendra, sejak satu bulan yang lalu dia menghindar.

" Kita mau kumpul dimana Mai?," Mahendra sudah siap dengan motor bebeknya.

" Ke kedai es kajoran aja ."

" Oke deh, yuk berangkat ."

" Pokoknya aku nggak mau sama Mahendra ," Tiba-tiba Alisa menimbrung pembicaraan, sepertinya dia masih kesal dengan Mahendra.

" Emang, siapa juga yang ngajak kamu ," Mahendra membalas tidak kalah kesalnya.

" Jadi enggak?," Alvin sudah tidak sabar, dia sudah bersiap dengan motornya.

Naura ES kajoran, sudah terpampang di depan kami, tempat yang biasa untuk nongkrong kami berempat setelah pulang sekolah. " Mbak, es capucinonya empat ya?," Alisa memesan minuman favorit kami berempat.

" Topingnya mau apa? ."

Sejenak Alisa memandangi banner yang berisi menu, " Cincau aja deh mbak ."

" Oke, ditunggu ya ". Penjaga kedai es itu bekerja dengan sigap, walau umurnya sudah paruh baya tapi dia cekatan membuat es capucino kami, dan lima menit kemudian es itu sudah berada di meja kami.

" Silakan ."

" Terimakasih mbak ," Aku tersenyum kearahnya.

Lima menit pertama hening, ketiga temanku tidak ada yang memulai percakapan, Alisa masih sibuk dengan ponsel barunya, Alvin memandang kosong jalan raya di depan, sedangkan Mahendra dia hanya mencelup-celupkan sedotan kedalam esnya sambil melamun. Aku juga bingung dengan sifat mereka kali ini.

" Hei, kita disini berempat ," Aku memulai perbincangan, dan sedikit mengagetkan mereka.

" Aku lagi bingung Mai, ibuku menyuruhku pulang padahal aku masih pengin di asrama," Alisa menjawab perbincanganku.

" kalo aku lagi nggak bergairah buat ngapa-ngapain, males apalagi setiap hari debat sama si kurcaci ," Mahendra masih mencelup-celupkan sedotannya.

" Ya udah kalo kaya gitu, aku juga males sama kamu ," Alisa juga menjawab ketus Mahendra.

" Kalo aku cuma bingung harus gimana," Alvin menyumbang percakapan.

Aku menggelengkan kepalaku, masih belum bisa memahami isi hati dan pikiran mereka. Aku meletakkan kedua tanganku di atas meja, " Hei, kita itu bersahabat, masalah kalian adalah masalahku juga, bahagia kalian adalah bahagiaku juga, jadi kalau ada apa-apa, ayo kita bagi bersama, kita cari solusi bersama ," Mereka memandangku lekat, es di depan kami mengembun, belum ada yang meminumnya.

" Al, mungkin ibumu memang butuh kamu, dia pasti merindukanmu jadi, besok kamu harus pulang, jangan lupa pamit kepada ibu asrama ," Aku menggenggam tangan Alisa yang tambun. Alisa mengangguk mengiyakan.

" Dan kamu Hen, kenapa? Ada masalah? ."

" Aku lagi kasmaran Mai ."

Aku kaget, masih tidak percaya, Mahendra yang sangat cuek dengan perempuan, bahkan belum pernah pacaran sekalipun kini merasakan kasmaran.

" Akhirnya, kamu normal juga ," Aku sedikit menggoda Mahendra.

" Ya, normal-lah emang aku cowok apaan ," Mahendra menatapku sinis.

" Hehe... emang kamu lagi jatuh cinta sama siapa? ."

" Ya adalah pokoknya ,"  Mahendra menyerutup es di depannya.

" Ya udah kalau nggak mau kasih tau sekarang," Aku sedikit kecewa. Aku melihat ke arah Alisa, sepertinya dia tahu sesuatu tentang Mahendra, tapi dia bungkam.

" Kamu tahu sesuatu ya Al?," Aku menyudutkan tanya.

" Eh, enggak kok ," Dengan tanpa rasa bersalah Alisa menyerutup es di depannya.

Aku menengok kearah Alvin, yang kembali menatap kosong jalan raya di depan kedai es, aku masih belum bisa memahami Alvin, dia memang sulit ditebak. Pernah aku bertanya kepada Mahendra kenapa tiba-tiba Alvin menjauh waktu itu, tapi Mahendra menyuruhku mencari tahu sendiri. Sejak kelas sepuluh Alvin memang pendiam, dia mulai akrab denganku karena dulu kita satu kelompok tugas kejuruan.

" Vin, kamu kenapa? ." Aku sedikit mengagetkan lamunannya.

" Eh, nggak... nggakpapa kok ."

" Yang bener, dari tadi kamu diem terus lho ."

" Nggak kok ," Alvin menundukkan pandangannya sambil memainkan es didepannya.

Aku melihat kearah Mahendra dan Alisa sekali lagi, mereka tampak menyembunyikan sesuatu, dan pasti kalau aku tanya mereka akan menjawab " Nggakpapa kok " dan itu pasti, jika mereka menyembunyikan sesuatu.

Tiga puluh menit sudah kami berada di kedai es ini, kami beranjak pulang, wajah mereka masih belum berubah, kecuali Alisa yang sudah bisa tersenyum lagi.

" Ingat ya kawan, kita itu sahabat jadi apapun masalah kalian, adalah masalah bersama, bahagia kalian adalah bahagia bersama," Aku tersenyum kepada tiga sahabatku itu.

Mereka semua membalas dengan senyum hangat.

***

Cerita yang Lalu untuk Cerita yang BaruWhere stories live. Discover now