'GADIZA' (part 2)

87 25 42
                                    

Memang warna biru tua mata kiri gue membuat orang berpikir kalau diri ini jelamaan malaikat. Di lain pihak, sudah bilang, 'kan, gue lebih suka dianggap monster saja. Jelasnya, monster cinta.

Fakta, kalau gue bisa dengan mudah merebut hati para wanita. Jadi tidak terkejut ketika akhirnya Gadiza malah merapat kemari. Richard jelas dongkol. Namun, agaknya dia tidak sempat melampiaskan kekesalannya, keburu sibuk dengan aktifitas sebagai calon mahasiswa baru.

Gue juga seharusnya begitu. Sebagai mahasiswa sebuah fakultas kedokteran. Masuk ke sana bukan karena minat, bukan juga karena kompeten di bidang itu. Melainkan karena uang ayah gue; lelaki yang harus gue panggil Romo. Jadi karena uang Romo. Paham? Ya, Romo cukup kaya untuk membeli separuh universitas itu, kau ia mau.

Bukannya mengikuti kegiatan penataran mahasiswa baru, gue malah bolos. Melarikan diri di pertengahan acara, dan menyambangi SMA tempat Gadiza belajar. Apa yang membuat gue tertarik pada gadis itu ... hmmm... mungkin, ya mungkin karena ia tidak mau diajak ke hotel malam sehabis prom-night. Padahal kami sudah akrab selama di pesta.

"Hei," sapa gue begitu ia terlihat sosoknya berjalan ke pintu gerbang. Beberapa saat setelah bel bubar sekolah berdering. Gadiza tampak tercengang. Kawan-kawan di sekitarnya apa lagi.

Penampilan gue memang biasa saja kali ini. Karena penataran mahasiswa mengharuskan memakai seragam putih-abu-abu. Namun warna rambut gue yang kepirangan, tinggi yang seratus delapanpuluh, dan kulit cerah tentu saja akan menarik minat orang-orang. Belum lagi kalau mereka mendekat dan menyadari mata kiri gue yang biru tua.

Gadiza melongo, tapi kemudian melangkah perlahan saja sambil tersenyum manis. Temannya ada yang menyenggol menggodanya, tapi tidak ia gubris.

"Lho, bukannya lo kemarin dah lulus-lulusan? ... Kok, masih seragaman 'gitu?" Ucap gadis itu dengan suaranya yang tenang. Sebagai perempuan, ia memang tergolong jangkung. Mungkin di atas seratus tujuh puluh senti. Mulut mungilnya belum merekah dengan senyum, agaknya masih mempertanyakan kemunculan gue yang tiba-tiba. Memang tanpa menghubunginya dulu, tidak yakin ia membawa gawai ke sekolah.

Gue menjelaskan soal bolos dari seminar mahasiswa baru itu. Gadiza memonyongkan bibir. Lucu dengan mulutnya yang mungil. Ia bermata lebar. Seakan Tuhan mau bercanda waktu membuat dia. Lebar di atas, sempit di bawah. Jadi berandai-andai apa rasanya kalau bibir itu dilumat dengan bibir gue yang tipis.

"Special buat elo, Iza. Hari ini gue bolos."

"Halah. Rayuan kuno. Bilang aja elo lagi bosen ... dan lagi butuh hiburan."

Gue nyengir. Sejak dua tahun yang lalu, seiring karir modeling gue yang menanjak, memang sudah terkenal sebagai pria yang senang berpetulang dengan banyak gadis. Mendengar kalimat Gadiza tadi, sempat terpikir kalau rencana kencan kali ini akan gagal.

Kenyataannya si mulut mungil itu mau diajak jalan siang itu. Cuma ke sebuah tempat makan bergaya Eropa, sih. Having lunch. Namun besoknya, mau lagi diajak ke kedai kopi.
***

Nah, fix. Kawan gue yang bernama Richard sudah melepas pertemanan kami. Sudah tidak pernah mengontak gue lagi. Yah, jelas bukan karena sudah pisah sekolah saja. Karena menyangkut Gadiza, tentu.

Pertemuan dengan Gadiza memang sering terjadi. Apalagi kami satu manajemen modeling. Beberapa kali dipotret berpasangan. Kebanyakan jelas untuk promo produk dan menaikkan oplag majalah. Para ABG heboh dengan cerita dongeng pangeran tampan. Seseorang yang selama ini jadi rebutan para gadis kota besar, seakan piala bergilir, akhirnya menemukan pelabuhan hatinya.

Yah, gue biarkan saja dongeng itu menyebar. Selama itu mendongkrak popularitas gue. Hanya saja ada yang belum terpuaskan, sampai gue masih rela menyambangi gadis itu hingga kini. Sudah hampir empat bulan sejak bertemu di lapangan sekolahnya, tapi gue belum berhasil banyak. Bahkan untuk melumat bibirnya yang mungil saja, belum sukses.

YUDISTYRRA (serial) -- prequel "Tyrra Bawa Perkara"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang