Bagian 2.

35 6 1
                                    

Padamu, Kunang-kunangku.

Apa kabar mu hari ini? Semoga kamu selalu baik-baik saja. Lalu, sedang apa dirimu di pekan kali ini? Masih kah sibuk berburu waktu lantaran tugas mu yang menumpuk? Saya rasa, Iya! Tapi harus kah sibuk mu menjadikan mu dingin bahkan semakin nyaris tidak tersentuh oleh saya yang kata mu masih kau suka?
Saya heran. Saya dibuat sikapmu menelaah. Bagaimana, tidak? Saya rasanya sulit untuk menerima sikap tak acuh mu. Tidak peduli mu seakan jelas memperluas bentang yang nyatanya memang sudah jauh. Jarak mu kini semakin tidak bisa di ukur. Meski nyatanya saya masih berada di negara yang sama denganmu.

Kunang-kunangku, saya tidak bisa memahami mau mu kali ini. Gagal mengerti sikapmu akhir-akhir ini. Dan bagai suasana mendung dengan awan putih dilangit biru yang sesekali saya tatap dari luar jendela kamar saya; Kamu menjadi lebih sulit ditebak, tapi lucunya, saya masih sering mencoba menerka walau sesekali ingin menyerah. Saya akui, saya salah. Salah karena terlalu ingin memahami mu tapi tidak benar-benar berani bertanya padamu.  Dan, tidak masalah apabila nanti kamu membaca ini, kamu mengira saya seolah menyudutkan posisimu tanpa tahu keadaan dan kondisi mu yang sebenarnya. Dan untuk itu, Saya siap menerima amarahmu, dan juga ocehan mu nanti. Setidaknya itu lebih baik dibandingkan diam mu. Tapi jangan terlalu marah, takutnya air mata saya keluar tanpa izin dan sadar.  Saya tidak mau itu. Karena bagaimana pun saya ini perempuan yang rentan untuk disandingkan dengan kekerasan.

Kunang-kunangku, saya semakin rindu, sampai bayanganmu terus datang saat beberapa hal ingin saya lakukan. Walau bosan sebenarnya bila harus melihatmu selalu dalam mimpi yang sepertinya itu tidak berujung. Saking lelahnya bermimpi, saya sampai ingin berhenti membiarkan imaji bekerja mencipta mu dengan ilusi. Tapi saya berpikir, jika tidak berjumpa dengan mu dalam ruang ilusi yang saya bangun sendiri, rindu saya akan semakin menjadi lalu menyiksa, sebab tidak bertemu dan terpenuhi.
Maka biarkan saja ilusi ini mengemban sinema dalam hayal yang diperankan saya dan kamu. Walau nanti  tidak mungkin terealisasikan, paling tidak mampu membuat rindu saya sedikit berkurang.  Meski tidak menutup kemungkinan setelahnya akan kembali mengalami peningkatan.

Kunang-kunangku, di bagian kedua ini, saya lagi-lagi menulis perihal rindu saya padamu. Tidak apa, kan? Soalnya saya benar-benar merasakan itu. Saya juga sudah minta izin, dan kamu sudah mengizinkan saya. Bahkan katamu; kalau bisa sampai jadi novel. Mengetahui itu, sebagian dari saya senang, tapi bagian lainnya entah kenapa hanya bisa tersenyum masam. Mungkin karena saya teringat? Bahwa; kamu lah yang pernah menjanjikan saya novel cerita kita.

Untuk tulisan kali ini, sekiranya saya selesai merangkai sajak perihal rindu, dan kamu yang sulit ditebak bagai mendung yang tidak berakhir hujan. Saya bersyukur, meski cuekmu selalu terarah pada saya tapi kamu masih enggan untuk berpisah. Mungkin salah satu pepatah itu memang benar. Bahwa; walaupun mendung itu pertanda akan turun hujan tapi tidak akan selalu berakhir dengan siklus yang seharusnya. Bahasa sederhananya; 'Mendung tidak selalu berakhir dengan Hujan'. atau 'Mendung tidak berarti Hujan'

Saya akan melanjutkan menulis perihalmu lagi dan lagi, entah itu tentang rindu ataupun perasaan lainnya yang masih saja menggebu.

5:30pm, 10maret 2019.-Minggu sore
-Usn:))

-----------------------------------------------------------------------
*pembaca jangan lupa vote and share. Comment juga kalau mau:)

If You Know What I Mean, My FireFlies.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang