i n v o e r e n

97 21 9
                                    

Jangan pernah mempercayai waktu. Ingat itu pesanku, atau kau akan dibingungkan oleh realitas yang sesungguhnya.


prolog

1995

Jika hal terindah seseorang adalah mendapat banyak teman maka bagi Aimee Pierce adalah suatu petaka. Hidupnya yang monoton dan hanya mengandalkan komputer tua peninggalan ayahnya itu membuat dia diasingkan dari pergaulan. Keluar rumah saja jarang, apalagi harus mendapat seorang teman. Namun, kali ini ibunya memaksa Aimee untuk mengkuti sekolah umum karena dia sudah lama drop out sebab tak pernah mau berbaur dengan lingkungan sekolah.

Pertemanan itu menyebalkan. Aimee bahkan membuat kalimat itu sebagai motto hidupnya. Dia benar-benar benci jika harus memiliki teman. Menurutnya itu merepotkan karena seorang teman bisa membagi pikirannya-yang menurutnya sendiri sangat jenius. Boleh jadi, jika dia tengah mengerjakan proyek gim-nya, tiba-tiba seorang teman menelpon, menanyakan ini itu yang tidak penting dan membuat proyeknya tertunda. Aimee mengakui dia lebih suka sendirian, sunyi, atau apapun itu yang berbau sendiri.

"Kemasi barangmu, Aimee. Kita berangkat habis ini." Ibu mengetuk pintu kamar Aimee yang ditempel tulisan 'JANGAN MASUK, AIMEE SIBUK.' itu.

Aimee hanya mengeluh tertahan sambil membenahi komputer dan proyek gim-nya yang hampir memasuki masa tenggat. Tubuhnya kemudian bergerak bebas mengambil tas serta perlengkapan menulis untuk hari pertamanya masuk sekolah. Saat dia mengambil blocknote lama nya, terdapat sebuah tulisan antik dengan kertas usang yang berwarna kuning.

Don't trust the time.

Gadis itu mengerjapkan matanya berkali-kali sambil membolak-balik kertas usang tersebut. Lalu dia mengedikkan bahu dan membuang kertas itu ke tempat sampah.

"Cepat, Aimee! Ini sudah pukul delapan, kelasmu dimulai setengah jam lagi!" Kini Ibu meninggikan suaranya dengan intonasi marah.

"Iya, sebentar lagi." Aimee berdecak malas, kedua tangannya masih sibuk mebenahi kerah pada kemeja sekolah barunya.

Ibu menatap tajam ke arah Aimee yang berwajah malas dengan tas uzur itu berjalan mendekatinya. Tidak ada yang menarik dari penampilan gadis itu, kecuali kemeja barunya. Wajah Aimee memang kusam sebab dia tak pernah sekalipun berhenti menatap layar komputer tua-yang bahkan tak pernah ia update sistemnya semenjak satu setengah tahun terakhir.

"Hari pertama, seharusnya semangat." Ibu mengambil roti tawar dengan selai kacang kesukaan Aimee ke piring.

Aimee memutar bola matanya, malas. Dia paling tidak suka jika dihadapkan pertanyaan menyebalkan dari Ibu. Jujur saja, Aimee bahkan kurang menyukai Ibunya yang menurutnya selalu ikut campur dengan apa yang ia lakukan. Gadis itu lalu memakan roti tawar dengan cepat dan tanpa gaya ala-ala perempuan pada jamannya. Saat sudah tandas sepenuhnya, Aimee segera beranjak dan memakai kardigan cokelat yang tersampir di kursi.

"Biar aku antar." Ibu menarik pelan tangan Aimee hingga gadis itu balik menatapnya dengan tatapan tidak suka.

"Tidak usah, lain kali saja." Aimee melepaskan tangan Ibu perlahan.

Gadis itu kemudian mengambil sepedanya yang berada di garasi, membaca denah menuju sekolah barunya sejenak, dan langsung meluncur menuju jalanan. Aimee merapatkan kardigannya sebab hari ini benar-benar dingin walaupun masih memasuki musim panas.

Aimee menatap jalanan lengang pada pagi ini, kemudian tatapannya teralih pada sekolah dengan papan besar bertuliskan Stalation High School. Aimee berhenti sejenak lalu memasuki area sekolah itu sambil menaiki sepedanya. Banyak siswa dengan dandanan nyentrik menatap ke arah Aimee dan itu sukses membuat dia risih. Juga beberapa patung besar yang menjadi pajangan di sisi jalannya.

"Aimee Pierce?" sapa seseorang yang sukses membuat Aimee menoleh cepat.

"Iya." Aimee tersenyum kikuk, mengingat dia jarang sekali berbicara pada seseorang.

"Aku Blake Carlson. Yang akan menjadi pemandumu sekarang."

Pikiran Aimee berkedut. Memangnya dia sedang ada acara tour? Sampai-sampai diberikan pemandu segala. Laki-laki yang baru saja memperkenalkan diri itu tersenyum sejenak, lalu menuntun sepeda Aimee menuju tempat khusus sepeda. Aimee masih terdiam di tempatnya sambil menatap Blake Carlson menuju temlat ia berpijak sekarang.

"Terima kasih-?" Aimee bingung ingin memanggil apa.

"Ah, Blake saja. Iya sama-sama." Blake dengan wajah tampannya tersenyum ramah. "Mari, aku akan mengantarmu ke kelas. Dan kebetulan kelas kita sama. Jadi, tidak usah sungkan jika ingin bertanya, atau butuh seorang teman."

Blake memang cerewet. Aimee bisa menebaknya saat Blake bicara seperti itu. Namun anehnya, hanya Blake sendiri yang memakai seragam sama seperti dirinya, sedangkan siswa lain memakai pakaian aneh, bahkan berwajah aneh pula. Aura sekolah itu juga aneh, persis pada alur gim yang sedang ia buat. Aimee bingung, ada siswa dengan rambut sangat panjang yang dibiarkan saja hingga menyentuh tanah, juga ada yang sedang menciumi laba-laba tarantula di tangannya. Sudut pikiran Aimee mulai mengetuk imajinasinya.

"Hebat karena kau tidak kaget." Blake tertawa renyah.

Aimee ingin menyangkalnya, namun dia berusaha tetap bersikap biasa saja. Sebenarnya dia ingin berteriak seketika itu saat melihat pintu yang dijaga oleh ratusan ulat bulu. Aimee mundur beberapa langkah, kedua matanya membulat besar.

"Apa-apaan dengan sekolah ini?!" Aimee kini mulai berteriak.

"Ini adalah sekolah, ya sekolah biasa. Hanya saja disini unik. Kau terpilih untuk bersekolah di sini yang tidak sembarang memilih murid. Kau pikir dengan sikapmu yang seperti itu membuat kau mendadak diterima di sekolah tanpa tes sediktpun? Ayolah, Nak. Gunakan akalmu." Salah satu ulat bulu yang berbadan agak besar dari gerombolan lainnya menjawab ucapan Aimee.

Aimee tersadar sesuatu. Benar juga, dia tak pernah melakukan tes untuk masuk di sekolah barunya, dan tahu-tahu Ibu mendapat surat bahwa ia diterima di sekolah umum yang bahkan selama ini Aimee selalu diragukan mentalnya oleh sekolah umum lain.

"Sudahlah, kau itu pilihan. Berbeda dari yang lain, kau punya potensi besar." Blake menepuk bahu Aimee dengan lembut, sorot matanya meneduh seketika.

*
Prolog end, aku bayangin kalau Blake itu Kai😅

etherealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang