Sebelum aku menyinggung-nyinggung soal si Penguntit, aku akan menceritakan bagaimana aku menenangkan Draco dulu sebelumnya. Karena ada beberapa hal menarik yang mungkin, kalian para Potterhead akan suka.
"Draco! Tunggu!" Aku memanggil namanya. Sambil berlari kepayahan.
"Draco, kau kan hanya berjalan, tapi kenapa aku harus berlari mengejarmu?" Tanyaku sambil terus berlari, terkadang berhenti sebentar—hanya beberapa detik— untuk mengambil napas.
Dia berhenti, dan menoleh, "karena kakiku panjang. Jadi langkahku lebih lebar. Kau kan 164!" Katanya lalu kembali berjalan tanpa mempedulikan aku.
"165 Draco!" Timpalku. "Oh, ayolah, bisakah kau berhenti? Aku lelah!"
Kami berhenti tepat di taman belakang sekolah. Aku tidak sadar dia membuatku datang kesana. Dia tersenyum simpul. Kemudian duduk di kursi taman, dia menepuk-nepuk sisi sebelah kursinya, mengajakku duduk. "Katanya lelah?"
"Iya! Memang lelah!" Sahutku kemudian duduk disebelahnya. "Kenapa harus marah sih? Joel dan Elijah kan memang begitu. Kita sudah 3 tahun berteman loh, bahkan lebih baiknya, kita bersahabat kan? Jangan cuma gara-gara hal konyol begitu kau jadi marah!" Omelku. Inilah caraku menenangkan orang! Agak aneh memang.
Dia memalingkan muka, "memang sih. Tapi apa menurutmu itu tidak keterlaluan?"
"Ada yang lebih keterlaluan lagi."
"Apa?"
"Kau."
"Kok aku?"
"Kau bilang aku jelek sebelumnya, dan tidak minta maaf. Dan kau serius soal itu."
"Oh baiklah, maaf." Ucapnya kemudian.
Tapi aku meragukannya, terdengar terpaksa. "Kalau terpaksa tidak usah minta maaf Drac."
Dia kemudian menatapku, memegang tanganku, "aku serius Irina!" Katanya. "Terserah kau mau bilang apa, intinya aku serius minta maaf. Dan jangan sebut-sebut soal 'jangan percaya siapapun' kau terlalu banyak menonton film, kau terpengaruh omong kosongnya."
Aku tertawa terbahak-bahak. Jadi begitu? "Ya sudah, aku percaya. Sudah ya, jangan marah lagi, kata Mum Jane kau ini kan anak pemberani."
"Dasar kau!" Umpatnya sambil mencubit lenganku. "Mau dengar sesuatu yang menarik?"
"Apa?"
"Mau tahu kenapa aku dinamakan Draco?" Tanyanya.
Aku kemudian berpikir cepat, kudengar, ibu Draco sangat suka Harry Potter, dan ayahnya pun begitu, dan mereka sekeluarga orang Inggris. Dan kebetulan, memiliki rambut pirang platina, suatu kebetulan yang hebat bukan? "Karena ibumu Potterhead?"
"Ya, tapi kan ayahku juga." Jawabnya. "Mum sangat suka Draco Malfoy, Dad sangat suka Lucius Malfoy. Konyol ya? Aku sih lebih suka Voldemort!" Tambahnya.
Aku tertawa, "itu bahkan lebih konyol. Mungkin sebentar kau akan tidak punya hidung dan menjadi botak!"
"Ah kau ini selalu begitu. Maksudku bukan Voldy setelah transformasinya. Tapi saat dia adalah Tom Riddle. Berambut coklat dengan warna mata senada dan pipi tirus yang menggoda!" Cerocosnya panjang dikali lebar dikali tinggi yang menghasilkan volume. Atau apa? Entahlah, aku tidak ahli dalam matematika atau apapun itu.
Aku mengernyitkan dahi, "jadi kau gay sekarang?"
Dia menatapku, tepat dimata, "apa? Tentu saja tidak! Aku masih straight! Kau tidak tahu saja seberapa besar rasa sukaku pada Hermione Granger!" Semburnya.
Aku tersenyum miring, "Oh baiklah. Jadi apa itu juga yang menyebabkan kakakmu bernama Blaise?"
"Tentu, aku tidak terlalu suka Blaise. Tapi menurut Mum, itu nama yang keren untuk dipadukan dengan nama belakang keluarga kami. Roland Swanson, Jane Swanson, Blaise Swanson, Draco Swanson, keren kan?"
"Tidak. Berhenti bilang 'mum'. Jangan sok jadi orang Inggris."
"Tapi aku memang orang inggris!"
Lalu kami tertawa, dan bel masuk dibunyikan. Karena kami beda kelas, jadi Draco dan aku berpisah. Oh iya, kalau kalian pikir hidupku dikelilingi laki-laki, memang benar, aku jarang punya teman perempuan. Habisnya, mereka 'palsu'. Aku hanya punya satu teman dekat yang perempuan. Ingat hanya teman dekat, bukan sahabat seperti Draco, Joel, dan Elijah.
Itupun kurasa, hanya karena duduk sebangku. Aku kembali ke kelas sendirian, tadinya Draco menawarkan untuk ditemani, tapi kutolak dan kuberi tahu dia alasannya. Aku tidak ingin membuat Joel dan Elijah puas.
Aku merasakan sepasang mata menatapku seiring langkahku. Terus begitu sampai aku pulang sekolah. Dan sayang sekali, aku tak punya teman pulang.
⬛⬛⬛
"Kau benar-benar tidak bisa?" Aku terus membujuk Ben untuk pulang bersama. Jujur saja, aku ketakutan untuk pulang sendirian. Bayangkan saja, dari tadi pagi aku merasa sudah diikuti orang.
Ben menggeleng tegas. "Tidak bisa. Lagipula tadi kau menonjokku, aku marah."
"Tukang ngambek!" Ledekku.
"Tak usah meledekku atau aku tidak mau menemanimu pulang selamanya. Lagipula, ajak saja Cal!" Kata Ben.
Aku menatap Ben lekat-lekat, "kau lupa ya? Dia sudah lulus SMA, konyol!" Kataku. "Lagipula, memangnya ada apa sih, sampai kau harus pulang sore?"
"Minggu depan ada turnamen basket, jadi kami harus berlatih keras untuk tetap mempertahankan posisi kami di urutan pertama. Kau kan tahu sendiri, aku kaptennya." Jelas Ben sambil menyombongkan diri.
Tanpa kusadari, seseorang menepuk pundakku. Ternyata Draco.
"Ayo pulang sama aku dan Joel saja! Jangan merepotkan abangmu yang baik ini, iya kan Kak Ben?" Draco berceloteh begitu saja.
"Yasudahlah. Ayo Drac!" Kataku pada akhirnya.
Ben terlihat lega saat aku meninggalkannya seakan-akan aku ini sebuah beban. Seandainya saja Cal masih SMA, dia pasti akan senang hati pulang bersamaku. Aku benar-benar takut kalau aku pulang sendirian, si Penguntit mengerikan akan menampakkan dirinya. Tak terbayang, dia pasti seorang pria yang memiliki tinggi lebih dari dua meter dengan badan berotot dan mengendarai mobil van. Yang akan dengan sigap menjebloskan aku masuk kedalam vannya, ketika keadaan terasa memungkinkan baginya.
Yasudahlah, toh, kan ada Draco dan Joel. Tapi yang membuat bertanya-tanya saat ini adalah, kemana mobil Joel? Dia bukan anak laki-laki yang patuh, dia sudah berkendara semau umurnya tiga belas tahun, atau lebih tepatnya, dia mulai berkendara tahun lalu. Dan terlebih lagi, arah rumahku dengan Draco dan Joel kan berbeda.[]

KAMU SEDANG MEMBACA
Half Breed
FantasySinar itu keluar begitu saja dari tubuh Irina. Membuat seseorang didepannya yang memiliki niat jahat kepadanya meleleh. Meskipun secara tidak sengaja, Irina Hartzler, anak sekolah menengah berusia 14 tahun, baru saja membunuh seorang pria yang tingg...