Tentang 'mega'

638 107 222
                                    

Mendung Charista, Mendung panggilannya. Tapi, ia lebih senang dipanggil 'Rista'. Seorang gadis cantik berusia 18 tahun. Hidup dalam kesunyiannya pada hunian yang ditinggalkan kedua orang tuanya dua tahun silam.

Ia sendiri. Ia sepi.

Rintik hujan turun mendenting pada atap rumahnya. Ia membuka jendela kamarnya, terduduk di atas kursi pada sebuah meja belajarnya yang menghadap langsung kearah luar.

Ia menyukai hujan. Sangat.

Entah itu hujan ciptaan Sang Maha Kuasa, atau mungkin Hujan Zahfarina, sahabatnya. Ia gadis yang baik, ia disukai banyak orang. Setelah almarhum kedua orangtuanya dan mendiang kakaknya. Baginya, Hujan Zahfarina adalah segalanya.

Ia bukan sahabat lagi. Ia adalah keluarga keduanya.

***

Hujan. Rintiknya membuat jiwa tenang. Mendung suka mendengarnya. Ia membuka diary catatan kecilnya, buku itu yang telah mendengarkan semua keluh kesahnya. Dia adalah saksi bisu pahitnya ketidakadilan hidup yang Mendung jalani.

Bolpoin nya bergoyang. Ia menjejakkan benda bertinta hitam itu pada diary kecilnya. Ia bercerita. Ia suka bercerita saat hujan turun. Ia yakin hujan akan mendengarkan segala kisahnya.

Ringtone suara yang begitu ia kenal, tertangkap pada indra pendengarannya. Ponselnya berdering.

"Ta, Rista. Gue di depan gerbang rumah lo. Bukain pintu dong."

Inilah alasannya. Mengapa ia lebih suka dipanggil Rista. Karena dia yang memanggilnya. Awan Leonandra.

"Sebentar, Wan."

Mendung beralih dari kursinya, membuka lemari pakaian dan mengambil mantel coklat miliknya. Ia meraih payung yang bersender manis pada pojokan dinding.

Menghela napas sekilas saat menapaki anak tangga yang terakhir.

Pintu gerbang terbuka. Awan menampakkan dirinya dengan keadaan basah kuyup. Tanpa izin dari sang pemilik, ia langsung berdiri di hadapan Mendung. Berlindung di bawah payung yang ia bawa.

Tiba-tiba gerakan Awan membuat Mendung tersentak. Ia memegang tangan Mendung yang menggenggam pada pegangan payung.
"Gue aja yang bawa," ujar Awan.

Mendung tersenyum kikuk.

Pintu sudah tertutup sempurna, Mendung beringsut duduk di atas kursi empuk berwarna coklat di ruang tamunya. Bersama Awan yang duduk berseberangan dengannya.

Mendung menatapnya, air mukanya berubah, "Kita tetanggaan loh, Wan. Rumah kita nggak sampai dua meter jaraknya, tapi lo bisa sampai basah kuyup gini."

Ia menatapnya heran. Awan mengibaskan tangannya seolah 'tak peduli.

"Dingin," ujar Awan.

"Mandi sana. Cari baju di lemari Bang Guntur."

Bang Guntur almarhum kakaknya.

Tiba-tiba wajah Mendung menjadi landasan bantal sofa. Awan yang melemparnya.
"Gue mandi dulu."

"Awan!" Mendung mendengus. Ia mengambil keripik kentang dalam toples kaca dan melahapnya. Mengunyahnya keras, seolah itu menjadi pelampiasannya.

Rintik hujan masih turun dengan derasnya, ia mengambil headphone di atas meja, lalu memakainya. Menghubungkan pada smartphone miliknya.

Ia memejamkan matanya menikmati setiap sentuhan lagu yang membelai di telinganya.

Tuhan ku cinta dia
Ku ingin bersamanya
Ku ingin habiskan nafas ini berdua dengannya
Jangan rubah takdirku
Satukanlah hatiku dengan hatinya
Bersama sampai akhir

MEGA✔️ (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang