BAB 2

45 3 0
                                    

"Ran, lihat tas baruku! Bagus, kan? Bapakku sudah kirim uang. Banyak banget! Tiga juta!" cerita Wulan riang.

Aku tersenyum. Aku ikut senang mendengar cerita Wulan. Tapi ada sedikit rasa iri membayangiku. Bapak memang sudah mengirimkan uang tapi tidak sebesar bapaknya Wulan. Bapak hanya mengirim satu juta setengah. Itu pun sudah habis buat bayar utang. Mendengar ibu mendapat kiriman uang, para tetangga langsung mendatangi ibu dan menagih utang. Bahkan ada juga yang berutang pada ibu.

"Maaf ya, Ran. Kamu belum bisa menikmati gaji pertama bapakmu. Alhamdulillah utang keluarga kita sudah tinggal sedikit. Bulan depan, kalau bapak mengirimkan uang lagi, kamu bisa membeli barang yang kamu inginkan," sesal ibu.

"Ndak papa, Bu. Ranti belum punya kebutuhan yang mendesak kok. Kalau bulan depan bapak mengirim uang, Ranti pengen buka tabungan di bank, boleh?" pintaku.

"Masyaallah! Tentu saja boleh, Nduk. Ibu bangga sama kamu. Ibu kira kamu ingin seperti wulan. Beli tas, sepatu, gelang, kalung," kata ibu sambil mengelus rambutku.

Aku balas memeluk erat tubuh ibu. Bau asap yang menempel di tubuhnya bagiku lebih harum dari parfum apapun di seluruh dunia ini.

"Bu, kita masih berjualan kerupuk?" tanyaku.

"Iya, Nduk. Sementara ini kiriman bapak belum stabil. Lagipula, kasihan langganan kerupuk dan keripik kita. Kamu kan tahu kerupuk kita itu yang paling enak," canda ibu.

Aku menarik napas dalam-dalam. Rasa kecewa terselip di dalam dada. Aku mengira setelah bapak jadi TKI, aku tidak perlu lagi membawa kerupuk dan keripik ke sekolah. Tanpa sadar aku mendesah.

"Kenapa, Nduk?" pertanyaan ibu mengagetkanku.

"Ndak papa.. Ranti ndak apa-apa, Bu," jawabku tergagap.

Aku tidak ingin ibu tahu kegelisahanku. Ibuku sudah banyak menderita selama ini. Hanya karena keadaan kami yang tidak berada, ibu dikucilkan saudara-saudaranya. Pada setiap pertemuan keluarga, ibu sering diperlakukan seperti babu dan harus melayani mereka. Begitupun dengan para tetangga, kami selalu dipandang rendah dan kerap jadi obyek hinaan dan sindiran.

Ibu memasukkan adonan kerupuk ke dalam plastik dan merebusnya. Aku mengupas singkong-singkong yang masih terbalut tanah basah. Setelah aku membersihkan singkong-singkong itu, aku mengiris tipis-tipis.

Pikiranku mengembara ke mana-mana. Apakah pekerjaan bapak dan bapaknya Wulan tidak sama, kok penghasilan bapak wulan bisa lebih besar. Ah, nanti kalau bapak telepon aku harus bertanya pada bapak.

Selepas magrib aku dan ibu sudah sobuk membungkus keripik dan kerupuk yang sudah digoreng. Tiba-tiba kudengar bu de Darmi berteriak memanggil-manggil nama ibu.

"Her.. Herni! Suamimu menelepon. Buruan datang ke rumah, ya."

Aku dan ibu melompat dari atas lincak dan berlari ke rumah bu de Darmi. Sesampainya di sana, ada Wulan dan ibunya sedang berbicara di telepon.

"Sebentar ya, Her. Gantian sama Ramidi," kata bu de Darmi.

Ibu mengangguk. Kami menunggu sambil duduk teras rumah yang sudah di keramik. Lamat-lamat kudengar tawa riang Wulan dan ibunya. Bu de Darmi ikut duduk bersama kami.

"Ramidi itu hebat. Baru sebulan sudah bisa mengirim banyak uang. Katanya bulan depan mereka mau merenovasi rumah dan memasang telepon sendiri," ujarnya.

Kulihat ibu tersenyum canggung. Matanya kemudian menerawang jauh. Entah apa yang berkecamuk dalam pikirannya. Setengah jam kemudian Wulan dan ibunya keluar dengan wajah semringah.

"Terima kasih, Mbak Darmi. Besok boleh minta tolong antar ke kantor telkom? Kang Ramidi menyuruh kami pasang telepon sendiri, biar ndak merepotkan Mbak terus," kata ibunya Wulan.

Dengan penuh semangat bu de Darmi mengiyakan permintaannya.

"Siap. Besok tak antar ke telkom. Kebetulan aku punya kenalan di sana. Ndak ke dealer motor sekalian?"

Dua perempuan itu tertawa terkekeh-kekeh penuh kegembiraan. Tak lama kemudian terdengar suara telepon berdering. Aku segera menyambar telepon itu.

"Assalamualaikum."

"Waalaikum salam. Ranti?"

"Iya, Pak. Bapak apa kabar?"

"Sehat, Ran. Kamu dan ibumu juga sehat kan?"

"Alhamdulillah, Pak. Bagaimana pekerjaan bapak?"

"Lancar, Nduk."

"Kalau boleh tahu, bapak kerja sebagai apa?"

"Sama kayak pak de Kusno dan pak Ramidi. Bapak tugasnya mengecat dan kadang mengelas. Tergantung mana yang dibutuhkan, Nduk. Emang kenapa, Nduk?"

"Ndak apa-apa, Pak. Ranti senang kalau Bapak kerasan dan baik-baik saja di sana. Pak, ini ibu mau bicara."

Aku mengangsurkan gagang telepon pada ibu. Kemudian aku pamit pulang melanjutkan membungkus kerupuk dan keripik sebelum melempem kena angin.

Sepanjang perjalanan aku masih dibayangi kebingungan. Kok bisa, pekerjaannya sama, tapi gaji bapak lebih kecil dari pak de Kusno dan pak Ramidi? Sebenarnya tadi aku ingin bertanya berapa gaji bapak, tapi aku takut bapak marah.

"Belum selesai, Ran?" tanya ibu.

"Sedikit lagi, Bu."

"Biar Ibu saja yang melanjutkan. Sana kamu belajar saja."

"Bu, apa kata bapak tadi?"

"Ya biasa. Kabar-kabar kalau betah di sana."

"Bu, kok pak Ramidi bisa kirim banyak banget. Sedang bapak tidak. Kenapa ya, Bu?"

"Hus.. Ora ilok! Jangan bicara seperti itu. Rezeki orang berbeda-beda. Yang kita peroleh, kita syukuri. Dulu mbahmu sering bilang. Yen jatah rezekimu kuwi mung secangkir, ojo ngarep-arep sing setimbo. Masio dike'i setimbo yo olehe tetep secangkir. Liyane tumpah mergo ra sedeng wadahe."

Aku manggut-manggut. Dalam hati aku merasa bersalah. Tidak seharusnya aku membanding-bandingkan bapak dengan pak de Kusno atau pak Ramidi. Aku harus lebih banyak bersyukur. Toh, sekarang aku tidak pernah menunggak uang SPP lagi. Bahkan pak Gianto sering meledekku dengan sebutan anak TKI sekarang.

"Ranti berangkat, Bu?"

Aku mengayuh sepedaku pelan. Plastik berisi kerupuk dan keripik bertengger di atas boncengan. Sekolah masih lengang. Aku bergeas mengangkat daganganku dan mengantarnya ke mbak Narti. Langkahku terhenti di pintu ketika kulihat dua anak laki-laki berseragam di dalam warung.

"Eh, tukang kerupuk datang!" sambut Hendra teman sekelasku dengan nada mengejek.

"Apaan sih, Hen. Maafin Hendra ya, Ran. Dia bercandanya suka kelewatan," kata Brama yang duduk di sampingnya.

"Oh iya lupa. Kan sekarang Ranti anak TKI," ejek Hendra lagi.

Aku hanya diam tak menanggapinya. Kulihat Brama menyikut perut Hendra dan menyuruhnya diam. Diam-diam aku merasa senang karena Brama membelaku. Siapa sih yang tidak suka dengan Brama? Sudah ganteng, ketua OSIS, baik, kaya pula. Apa aku jatuh cinta? Pipiku mendadak menghangat. Aku pura-pura tidak memedulikan mereka. Padahal hatiku berbunga-bunga.

"Kami balik ke kelas duluan ya, Ran," pamit Brama sambil membungkam mulut Hendra. Sepertinya ia hendak melontarkan ejekan padaku. Untung ada Brama.

"Ciee... Ranti suka sama Brama, ya?" Mbak Narti mengagetkanku.

"Ih... Mbak Narti ngagetin aja. Siapa juga yang suka Brama," tepisku.

Aku kan hanya anak TKI, tukang kerupuk pula. Mana pantas aku menyukai Brama.

Kiranti, Anak TKITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang