BAB 6

23 0 0
                                    

Untuk Ibu tercinta

Apa kabar Ibuku tercinta? Alhamdulillah Ranti baik-baik saja. Semoga Ibu di perantauan juga dalam keadaan baik dan tidak kurang suatu apapun.

Bu, sebentar lagi Ranti menghadapi nasional. Ranti mohon doa restu Ibu supaya bisa menghadapi ujian dengan lancar dan mendapatkan hasil yang baik. Ranti juga disarankan untuk ikut PMDK, itu loh, Bu, masuk universitas tanpa ikut UMPTN. Bagaimana menurut Ibu?

Oh, iya! Ranti menang lomba siswa teladan sekabupaten. Harusnya Ibu ada di sini menerima piala kejuaraan, Ranti. Tapi Ranti yakin Ibu tetap bangga sama, Rantin kan?

Mulai minggu ini, Ranti bantu-bantu bibi jualan kue lapis dan gethuk di perempatan depan rumah intuk menambah uang jajan. Awalnya Ranti malu, Bu. Tapi setelah di pikir-pikir apa yang Ranti lakukan tidak sebanding dengan apa yang sudah ibu lakukan. Lagipula, sekarang Ranti jadi tahu susahnya cari uang. Ranti jadi bisa lebih menghargai uang dan tidak berfoya-foya.

Ranti Berjualan selepas subuh sampai jam enam pagi. setelah itu Ranti bersiap pergi ke sekolah. Ranti selalu mengingat Ibu saat ranti mengalmi masa-masa sulit. Terima kasih ya, bu, sudah mau bersusah payah demi Ranti. ranti sayaang, Ibu.

Cukup sekian surat yang bisa Ranti tulis. Ranti sudah ngantuk banget, Bu. besok ada ulangan matematika pula. secepatnya Ranti akan tulis surat lagi buat Ibu.

Anakmu tercinta

Ranti

Aku mengecup surat yang barusan aku tulis buat Ibu. Satu-satunya caraku untuk berkomunikasi dengan ibu hanya melalui surat. Ibu bekerja di tempat yang sangat terpencil sehingga tidak memunkinkan ibu untuk meneleponku.setidaknya setiap bulan aku dua kali mengirimkan surat untuk ibu. dan sekitar dua hingga tiga minggu kemudian ibu akan mengirimkan balasan.

"Pulang sekolah, makan bakso, yuk!" ajak Brama.

"Wah, ndak bisa, Bram. aku harus mengirimkan surat untuk ibuku. beliau pasti sudah sangat menantikan kabarku. aku sudah agal lama tidak berkirim surat karena urusan lomba siswa teladan kemarin," tolakku.

"Yaah...ndak enak makan bakso sendirian," rajuknya.

"Ya udah. Aku mau deh makan bakso sama kamu. Tapi aku ke kantor pos dulu sama Wulan, ya. nanti aku susul sama Wulan," kataku.

"Aku aja yang ngantar kamu ke kantor pos. Lagian kenapa sih makan baksonya harus sama Wulan juga? kita kan belum pernah berduaan saja. Selalu ada Wulan di antara kita."

"Brama, kita sudah bersepakat untuk tidak berduaan , ya. Takut ada setan lewat! Kamu sudah tahu aku seperti apa, kan? kalau kamu mau pacaran kayak anak-anak lainnya yang berdua-duaan terus, kamu salah orang, Bram."

Entah kenapa aku tiba-tiba sewot. Aku merasa Brama sudah mulai melupakan kesepakatan yang kami buat. Aku punya banyak cita-cita yang ingin kuraih. Meskipun aku memiliki perasaan padanya, aku tdak akan mengorbankan masa depanku demi mengikuti keinginannya. sekarang merajuk makan bakso, nanti minta apalagi? Ah, apakah keputusanku menerimanya sebagai pacar salah? Aku bergegas meninggalkan Brama di depan kelas.

Sepanjang jalan menuju kantor pos, aku diam seribu bahasa. Wulan rupanya menyadari ada yang tidak beres. Ia langsung memborbardirku dengan pertanyaan.

"Ada apa, Ran? Kenapa diam saja? Ada masalah? Kamu berantem sama Sulis? atau Rini? atau....sama Brama?"

"Mbok satu-satu tho nanyanya. gimana aku bisa jawab kalau kamu nyerocos terus begitu?"

"Iya...iya Den ayu. Aku diam nih sekarang. Ayo cepat ceritakan ada apa!"

Kiranti, Anak TKITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang