Surat, Kisah, dan Hati.

64 18 2
                                    

Teruntuk Alsand, 2019.

Musik-musikmu, puisimu, juga semua karyamu masih kusimpan baik-baik dalam sebuah kotak bersampul hijau terang. Terimakasih sudah mengenalkanku pada mereka, mereka istimewa. Juga terimakasih sudah membuatku jatuh dan mencinta. Alsand, sebuah keberuntungan aku bisa bersamamu selama satu tahun ini. Lalu badai topan datang, membuat perasaan kita teruji, terhimpit puing-puing kisah yang belum utuh.

Masih jauh satu dekade cinta kita. Bukan sepuluh tahun melainkan masih satu tahun. Kuharap aku bisa melanjutkan dekade kita ini. Seperti janji kala itu. Semoga kamu kembali.

Alsand, izinkan aku bernostalgia sedikit. Saat mengenalmu, saat bersamamu, saat disampingmu, izinkan aku sebentar saja. Semoga jika suatu saat surat ini hilang dan ada orang yang menemukannya, mereka jadi paham apa yang terjadi. Mereka jadi tahu dan akhirnya menyisakan sedikit waktu untuk mengasihani kita, Alsand.

Awal pertemuan, aku tak akan pernah lupa itu. Di depan kios makanan, dekat monumen kota Payakumbuh. Disana, aku mengalungkan kamera seperti yang biasa aku lakukan jika tengah bosan. Memotret kesana-kemari. Mengabadikan apa saja. Lalu tali sepatuku lepas, aku menunduk untuk memperbaikinya lalu tanpa sengaja kamu menabrakku dari belakang. Terburu-buru, untung aku masih bisa menahan tubuhku sendiri. Jika tidak, mungkin kedua lututku sudah lecet. Kamu meminta maaf, membantuku berdiri. Beralasan jika kamu sedang terdesak mengambil paket kiriman keluargamu di jasa pengiriman barang. Aku memaklumi. Lalu kamu pergi.

Benar begitu, Alsand? Apa ada bagian yang salah?

Itu masih awal yang sangat dingin. Dua hari kemudian, tanpa disengaja kita kembali bertemu di sebuah cafe tak jauh dari pusat pasar kota. Kamu seorang diri, menyapaku lebih dulu. Cara menyapamu lucu sekali. Seperti ini: "Hei? Kamu yang kemarin aku tendang kan?" Sontak saja aku tertawa, membuat sahabatku jadi bingung sendiri.

Aku mengangguk. Introvert ini memang tak banyak bicara. Lalu kamu menawariku untuk menghabiskan senja bersama. Memesan makanan lalu duduk bertiga di salah satu spot terbaik. Perasaanku kala itu dan saat aku menulis ini jauh berbeda, dulu aku tidak menyangka kamu akan jadi seberpengaruh ini dalam kehidupanku selanjutnya. Saat ini aku sudah kebas oleh rasa yang buta.

Bulan berganti, kita semakin dekat. Semakin sering bertemu. Kamu bahkan beberapa kali menemaniku menyalurkan hobi memotret. Dan dari sana aku juga tahu jika kamu pemusik handal, penyair yang menyenangkan. Kamu pemusik dan puitis. Kita masih sebatas teman.

Sampai sebuah puisimu dengan lantangnya kamu bacakan dengan gaya di taman kota, sebuah puisi untuk menyatakan perasaan terpendammu padaku. Mungkin memang terlampau cepat, kita bahkan belum genap tiga bulan kenal. Aku masih ingat saat itu puisimu membahas pasal sawah dan gunung berapi. Aku menyetujui tawaranmu itu, lantas senja itu kita resmi menjadi sepasang kekasih.

Kisah kita hanya kisah klise sederhana. Kita melewati hari-hari bersama. Bertemu di perpustakaan kota dekat gedung DPRD, atau pergi jalan-jalan keliling kota, atau duduk di taman kota lagi dan lagi, atau menemaniku memotret, atau mengajariku bermain gitar, atau ah, banyak sekali ternyata.

Tiga bulan pertama aku jadi tahu, kamu adalah sosok paling menyenangkan yang pernah aku temui. Sampai kesalahpahaman pertama kita terjadi.

Waktu itu memang aku yang terlalu egois. Aku juga sudah minta maaf bukan? Saat itu aku cemburu besar melihatmu membonceng seorang gadis. Aku tahu dasar cemburu itu hanya karena aku takut kehilangan kamu, tidak rasional. Aku jadi tidak peduli dan marah-marah semalaman. Aku bahkan masih kesal saat kamu mengakui jika dia hanya teman satu organisasimu. Aku masih marah hingga akhirnya kamu juga ikutan marah. Aku jadi seperti anak SMP.

Namun, konflik kita itu bisa dengan cepat reda saat aku memutuskan untuk menurunkan ego lalu minta maaf.

Kita baik-baik saja setelahnya. Aku bahkan menemanimu ikut serta dalam sebuah audisi musik di luar kota, kota Bukittinggi. Aku mendukungmu. Saat itu kamu kalah, sedikit terpuruk. Namun aku tidak mau kamu menyerah. Aku terus menemanimu berjuang dalam kesempatan-kesempatan selanjutnya. Hingga dalam satu kesempatan besar, kamu lulus. Mimpi besarmu perlahan mulai tersingkap.

Little Things Called HappinesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang