Bagiku dia punya segalanya, sedangkan aku hanya gadis jelek, dan kemampuan rata-rata yang sepatutnya tak lantas memiliki dia. Seharusnya ia memilih Jenni atau Fara yang jauh segala nya di banding ku. Mereka juga sudah lama menyukai dia dan entah mengapa dia malah memilihku.
Aku gadis jelek, aku dengan seluruh kemampuan rata-rata ku dan aku yang tak pantas menjadi miliknya.
"Le, aku tak pantas untukmu, Le, aku tak ingin kamu menahan malu lebih dari ini" ucapku berterus terang suatu hari.
Namun ia malah memelukku dan menyuruhku berjanji untuk tak pernah mengatakan itu lagi.
Di pelukannya aku terisak. Seharusnya aku tak perlu mengharap mimpi ku jadi kenyataan.
Aku, the perfect and the beast.
***
Bunyi bel menyentak dari lamunan. Aku mengangkat kepalaku yang sudah sejak lima belas menit tertungkup diatas meja. Pikiranku kacau sejak semalam. Bahkan dua puluh delapan panggilan tak terjawab dari Leon aku acuhkan. Untung saja mataku tidak memerah, kalau iya Leon bakal sibuk bertanya segala hal bahkan tak segan membelikan salep.
Aku membersihkan alat tulisku. Sesegera mungkin ingin pulang dan tidur. Melepas semua beban pikiran yang menghantuiku. Oh, haruskah Leon sekeras kepala itu?
"Na, aku duluan, ya. Jangan terlalu dipikirin, Leon gitu karena dia sayang sama kamu, gak mungkin dia lepas orang yang dia sayang," ucap Genny memberi saran. Aku tersenyum paksa. Mengangguk.
Rasa sayang itu tak harus membuat Leon terpaksa.
Genny keluar, aku pun. Namun, langkahku terhenti saat seseorang menghadang langkahku dan menepuk puncak kepalaku dua kali. Aku mendongak, senyum manis itu langsung aku temukan. Senyum yang selalu membuat hatiku berdesir tiap kali melihatnya.
"Le?" Panggilku.
Dia berdehem, menaikkan satu alisnya. Entah apa namun dia sudah mulai meneliti wajahku. Sadar akan hal itu aku langsung menunduk takut.
"Aku gak nangis, Le" ucapku langsung. Takut-takut ia salah paham.
"Aku gak bilang gitu," ucapnya santai.
Aku tersentak, oh benar juga,
"Aku gak bilang gitu, tapi kamu udah salah tangkap, berarti kamu beneran nangis semalam?" Tebaknya. Dan sayangnya itu benar.
Aku menggeleng, terus menunduk, "Enggak, Le, aku baik-baik aja"
Aku dengar hela napas panjangnya yang menyapu sebagian keningku. Jika sudah begitu, ia tahu aku berbohong. Tangannya mengapit daguku. Memaksaku menatap kedua matanya.
Aku menggigit bibir, menahan mataku yang mungkin sudah merebak.
"Na," panggilnya lembut. Aku tersenyum. Segera menghapus air mataku yang untungnya belum turun. Segera berjalan mendahuluinya.
"Yuk" ucapku setengah berteriak. Mengajaknya pulang. Oh, Ayolah sedikit pun aku tak ingin masalah ini kian membesar.
Leon menyamai langkahku. Ia diam. Aku tak tahu hal apa yang tengah hinggap di kepalanya. Aku juga diam, takutnya jika aku berbicara air mataku akan turun dan Leon akan berubah menjadi bawel.
Hampir sampai di parkiran, parkiran padat. Aku menghela napas panjang. Untuk ukuran introvert, aku memang kurang suka keramaian. Apalagi jika bersama Leon. Banyak orang-orang yang memperhatikan kami- Ekhem- maksudku memperhatikan Leon. Aku sih tidak ada apa-apanya jika dibanding dia. Aku hanya gadis serba pas-pasan yang tidak terlalu pintar atau memiliki kelebihan khusus apapun kecuali bermain gitar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Things Called Happines
Cerita Pendek(Kumpulan cerita pendek)- Sepenggal kisah. Ada bahagia tentu juga ada luka. Tentang mereka, ada yang berakhir indah namun tak sedikit pula dengan akhir yang tak disangka. Mari menjadi kita! bergabunglah, siapa tau akan ada banyak suka. Ini hal kecil...