Aku berusaha keluar dari kamar mandi itu, tanganku terulur menggenggam tangan Hiqni. karna kutau, jika tidak ada yang memeganginya pasti dia akan jatuh. Apalagi ketinggian air sampai dada. Kalau untuk ukran Hiqni, sudah sampai leher. Aku juga memegangi umi, umi terlihat ketakutan, kupegang tangannya. Aku merasa punya kewajiban disini, menjaga orang-orang disekitarku agar tetap selamat. Kami berlima berhasil keluar dari kamar mandi. Orang-orang berteriakan, memanggil-manggil yang lain, apakah hilang atau masih ada di dalam villa?
''KAKA!!'' kulihat ayahku berusaha menerobos air kearahku. Datang dari ruang keluarga. Hatiku merasa lega melihat ayah selamat. Kulihat tangannya terluka. Berdarah di siku, dan telapaknya. Tertusuk kaca.
''Yah'' Aku memegang tangan ayah erat. Entah kenapa aku tak bisa menangis.
''DOBRAK PINTUNYA YAH!!'' Aku melihat tante Uwih menangis, bibir bagian atasnya robek, darahnya kemana-mana. Jujur, aku tidak suka melihat darah. Suaminya terus mendobrak pintu,pintu susah didorong karena air sudah menggenang kemana-mana.
BRAK, pintu berhasil di dobrak. Tante Uwih langsung masuk ke dalam kamar, kasurnya sudah terbalik. Mengambang. Tanteku menyelam kedalam, dapat. Anaknya yang baru saja berumur satu tahun berhasil ditemukan. Tanteku memegang kaki dengan posisi di atas dan kepala dibawah. Allah masih sayang padanya, anaknya tidak sama sekali pingsan, luka, atau nangis. Tanteku langsung memeluknya, tak lama kemudian anaknya muntah, pasir keluuar dari mulutnya.
Aku melihat ke arah ruang keluarga tepat datang arahnya ombak, gelombang kedua datang.
''AWAS!! ADA GELOMBANG LAGI!'' Aku berteriak, gelombang menghampiri kami, aku berpegangan pada tangan ayah dan Hiqni, Hiqni memegangi umi. Kakiku berusaha kuat untuk tidak terbawa air, tapi dua saudaraku terbawa. Keduanya memegangi knop pintu, dibelakangnya air siap membawa siapa saja. Ayah langsung menarik saudaraku, hampir saja. Jika tidak, pasti akan terbawa arus. Kami masih didalam villa, air sudah sedadaku. Kami berkumpul,napasku tersengal, takut.
''MAMA,KEMANA?'' Saudaraku berteriak. Kami masih menunggu pertolongan, tapi tak kunjung datang juga. Kita memutuskan untuk keluar, air masih tinggi. Kami menuruni dua tangga, terasa dalam untukku. Ayahku melihat keadaan sekitar. Gelap gulita, hanya cahaya bulan menemani kami. Aku melihat ke arah tempat mobil diparkirkan. Tidak ada. Keempat mobil terseret arus. Padahal di dalam mobil ada rapot, tas, bantal, baju kotor dari pesantren, ambal dan Al-quran pink-ku.
''TOLONG TOLONG!!'' Ayah berteriak, tak ada satupun yang menyahut. Villa sebelah gelap gulita, hanya villa kami yang masih menyala lampunya. Tapi semua tembok menghantarkan listrik. Kami tidak bisa berpegangan apa-apa.
Kulihat ada seseorang dari kejauhan, mendekat kearah kami, menerjang genangan air. Dalam keremangan aku melihat seorang bapak-bapak seorang diri, bapak itu menuntun kami entah kemana.
''Ayo bapak-bapak lewat sini!'' Ajak bapak itu, kami mengikutinya. Berkali-kali kami terbanting jatuh, menginjak apa saja yang dilewati. Hanya satu yang kami pikirkan. Keselamatan. Sepertinya kakiku lecet, tapi aku tidak peduli, aku terus berjalan memegangi tangan ayah. Tanganku yang lainnya memegang erat tangan Hiqni, Hiqni memegangi umi. Umi sudah berkali-kali terbanting tubuhnya, dan tetap bangun lagi.
Kulihat ada cahaya, sepertinya itu villa. Benar saja, villa bertingkat dua berdiri kokoh. Didalamnya sudah banyak orang. Aku duduk di tangga, menenangkan diri. Mulutku terus berulang-ulang membaca al-ma'tsurat.
''Siapa yang belum ketemu?'' Ayahku kembali bersuara, terdengar cemas dari nada suaranya.
Masih ada 3 orang lagi yang belum ketemu dari keluargaku. Ayahku dan para ayah lainnya mencari keberadaan 3 orang itu, tante-omku dan sepupuku. Kulihat nenek kedinginan, mulutnya bergetar, badannya menggigil. Tangannya memeluk dirinya sendiri, aku mengusapnya pelan, berusaha memberi ketabahan, padahal tahun ini kakek dan nenek akan pergi mengunjungi Baitullah. Tapi sudah diberi ujian terlebih dahulu oleh Allah. Nenek baru saja sembuh dari sakit, niatnya jalan-jalan ke pantai hanya untuk mengajak nenek dan kakek liburan, tapi takdir berkata lain. Kakek sudah tidak bisa melihat lagi, Alhamdulillah masih kuat berjalan dengan gagah.
Lama kami menunggu diluar sini, tidak ada bantuan sama sekali. Ayahku datang dengan membawa tasnya, sepertinya itu tasnya. Alhamdulillah benar saja, itu tas ayah. Didalamnya ada dompet, beberapa pasang baju ayah, kunci mobil. Ayah bangkit kembali, hendak pergi.
''Ayah mau kemana lagi?'' aku menarik tangan ayah, aku tak ingin ayah pergi lagi, aku sangat khawatir padanya. Apalagi tangannya sedang terluka, kalu basah pasti akan terasa perih sekali.
''Ayah mau nyari Haifa dulu. Diam disini aja, jagain umi sama ade'' ayahku menepis tanganku lembut. ''Tapi jangan lama-lama ya. Balik lagi kesini.'' pintaku. Ayahku mengangguk pasti, lalu berjalan menuruni tangga. Aku terus berdoa agar Haifa segera ditemukan, dia masih seumuran dengan Hiqni. Kelas 4 SD. Abi dan uminya panik, abinya memutuskan untuk pergi mencari Haifa, menyusul ayah. Uminya memeluk adik laki-lakinya.
Aku menyelimuti nenek dengan handuk bersih milikku, dan memberikan kerudung bersih ke umi. Entah kenapa ayah mengambil ini semua di villa dan masih belum tersentuh air sama sekali. Kami tetap menunggu disini, korban semakin banyak berdatangan. Darah berceceran diman-mana, ada yang berdarah di kepalanya, luka robek di kaki, tangan kepala, dan dimana-mana. Aku berusaha menghindar dari semua itu, tapi sia-sia, baunya semakin tercium di hidungku. Membuatku mual.
Aku masih menunggu ayah disini, aku akan menunggunya.
YOU ARE READING
KISAHKU
No FicciónIni kisahku. Kisah yang tak dapat kulupakan. Kisah yang membuatku menangis ketakutan. Ketakutan akan kehilangan orang yang tersayang. Kisah dimana aku dan orang tersayang ku berjuang di tengah kegelapan. Menggapai cahaya dan mencapai keselamatan. Ha...