1.

50 9 8
                                    

Don't be a silent reader

"Adek mau lanjut kuliah dimana?"

Aku yang sedang fokus dengan makananku pun menoleh ke arah papa. Sambil memainkan sendokku, aku berpikir sejenak. Harus kujawab apa pertanyaan papa?

"Jepang mungkin."

Sontak mama, papa, dan abang pun langsung menoleh kearahku. Aku hanya diam saja sambil menatap mereka dengan tatapan 'bodo amatku'

"Adek serius mau kuliah di Jepang? Kenapa gak milih disini aja? Atau kalau kamu mau kuliah diluar kan bisa di Melbourne atau di London," mama menatapku dengan penuh perhatian.

"Kalau adek maunya di Jepang, gimana? Lagian adek ga tertarik kuliah di Melbourne atau London."

Mama dan papa hanya bisa diam mendengar ucapanku. Berbeda dengan abang, dia sibuk menendang-nendang kakiku dibawah meja makan. Memang apa salahnya kalau aku ingin kuliah di Jepang? Papa sendiri bilang kalau urusan kuliah itu tergantung pilihanku. Papa dan mama bahkan pernah bilang kalau akan mendukungku di kampus dan jurusan pilihanku. Tapi, lihatlah sekarang. Tingkah laku mereka seakan berbanding terbalik dengan ucapan mereka itu. Mereka seakan tidak ingin anaknya pergi kuliah di Jepang.

Selesai sarapan aku membantu Bibi Sum untuk merapihkan meja makan dan menyuci piring bekas pakai. Sudah selalu menjadi rutinitasku di hari Sabtu. Selesai membantu urusan dapur aku langsung naik ke lantai atas untuk bertemu dengan sahabatku, kasur. Saat membuka pintu aku dikejutkan oleh penampakan mahluk berjenis kelamin laki-laki yang tak asing dimataku.

"Abang! Ngapain sih ada di depan pintu kamar adek?! Bikin kaget orang aja deh pagi-pagi."

Yang aku marahi hanya menyengir. "Iya maaf ya adek kecilku."

"Abang ngapain ada di kamar adek?" kataku sambil duduk di kasur empuk ku.

"Mau minta penjelasan."

"Ha? penjelasan apa sih bang? Ngomong tuh jangan dibiasain setengah-setengah," kataku sambil menepuk-nepuk kasur. Memberi tanda untuk menyuruh ia duduk disebelahku.

"Penjelasan soal rencana kuliah di Jepang," aku menatap mata abang dengan seksama. "Kok diem?" serunya menyadarkanku.

Aku terdiam untuk beberapa saat. Aku masih tidak tahu alasan pasti kenapa memilih kuliah disana, bahkan tadi pagi saat ditanya papa pun aku hanya asal ceplos saja. Lagi pula negara yang terlintas dipikiranku hanya Jepang.

"Karena adek mau."

"Bohong kan?" abang menatapku serius. "Gak," bantahku.

"Rheina! Jangan pernah coba bohongin abang ya," intonasi abang mulai meninggi, sikap tempramen nya kembali. Itu artinya aku tidak bisa bermain-main dengan perkataanku.

"Kalau adek jujur atau bohong, apa pengaruhnya?"

"Jujur sama abang, kenapa mau kuliah di Jepang?"

"Karena aku bosen ada dirumah ini terus. Aku mau keluar," perkataanku berhasil membuat abang terdiam.

"Maksudnya?"

Aku memalingkan wajahku dari tatapan nya. "Ya karena adek udah ga betah ada disini."

Untuk beberapa saat tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kita berdua. Sepi, itu yang terjadi setelah aku menjawab pertanyaan abang. Aku menoleh agar bisa menatap wajah abang. Kelihatannya, dia sangat kebingungan dengan perkataan ku barusan.

Tapi, itulah satu-satunya alasan yang tepat untuk saat ini kenapa aku memilih kuliah disana. Walaupun mama menawarkan aku untuk kuliah di Melbourne atau London yang notabenenya adalah luar negeri juga. Tapi, itu hanya alasan semata bagi mama. Keluarga mama banyak yang tinggal disana, mama dan papa pun juga sering bolak-balik untuk mengurus bisnis keluarga besar disana. Itu artinya, aku tidak akan bisa lepas dari pengawasan mereka.

Lost in JapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang