CW / TW :
mengandung harsword & english broken.
─────────────────
.
.
.Rakala melepaskan helm, wajah songong dengan kunyahan permen karet yang tidak pernah lepas menjadi ciri khas tersendiri.
"Gokil!" Karel menepuk bahu Rakala. Memperhatikan, Baron anak Senopati yang menjadi lawannya balapan malam ini memandang sinis ke arah mereka.
"Minimal upgrade skill dulu baru ajak lagi. Udah diulang 7 kali juga masih nggak bisa kalahin gue."
Rakala Dierja namanya. Orang-orang terdekatnya memanggilnya Kala. Cowok dengan tinggi 180 cm beralis tebal, hidung mancung, serta rahang kokoh yang mempertegas struktural wajahnya itu menjadi pusat perhatian malam ini.
Selain wajahnya yang menjadi poin utama, Rakala adalah anak tunggal keluarga berada. Oleh sebab itu banyak perempuan yang berlomba-lomba untuk mengambil hati berandalan itu.
"Gue balik duluan, " ujar Rakala pada 3 temannya itu.
Karel mengangguk. Seperti biasa Rakala akan langsung pulang setelah urusannya selesai. Laki-laki itu tidak berminat untuk berdebat bersama Baron ataupun sekedar meluangkan waktu untuk basa-basi dengan teman-temannya.
Motor berwarna putih yang Rakala namai dengan nama Winter itu memasuki garasi rumah megah miliknya. Rumah yang selalu terasa sepi karena kedua orang tuanya yang jarang di rumah karena sibuk dengan urusan bisnis itu.
"Baru pulang kamu, Kal?"
Rakala menoleh, di ruang tamu yang gelap itu ia melihat Rakean, ayahnya yang duduk tenang dengan mata yang menatapnya serius.
"Ayah belum tidur?"
"Balapan lagi kamu?" Rakean berdiri. Menyalakan saklar lampu yang memperjelas putra semata wayangnya itu. "Mau sampai kapan kamu terus gini? Jadi berandalan nggak jelas. Kamu pikir keren kamu balapan gitu?"
"Aku— "
"Nggak usah alasan apa-apa, Kal. Ayah juga tahu kalau kamu baru aja pulang balapan. Kamu pikir Ayah nggak tahu tingkah kamu selama ini?" Rakean berjalan mendekat. Kepala Dierja itu mengunci kedua manik kelam Rakala. "Ayah juga tahu kamu ikut-ikutan geng Terakota itu."
Terakota, sebuah geng yang cukup populer di SMA Garuda. Berisi anak-anak nakal yang memiliki hobi berkelahi. Nama Terakota sendiri sudah sangat populer untuk kalangan anak remaja, banyak anak yang berminat untuk tergabung menjadi bagian dari Terakota.
"Aku nggak ikut."
"Jangan bohong!" Rakean meninggikan suaranya. "Apa untungnya ikut seperti itu?! Ayah kerja keras itu buat kamu, Kal. Harusnya kamu sadar, kamu itu anak semata wayang Ayah. Satu-satunya harapan Ayah yang akan menjadi penerus atas apa yang Ayah lakukan sekarang."
Kalaluna, Ibu Rakala itu datang. Rakean dan Rakala memiliki sifat yang sama, sama-sama keras. Dan Kalaluna harus menjadi penengah setiap pertikaian antara ayah dan anak itu.
"Mau ke mana kamu?! Ayah belum selesai!"
"Apa lagi? Ayah mau apa lagi?!" Rakala tidak bisa menahan emosinya. Ia juga lelah menghadapi Rakean yang selalu ingin dimengerti tanpa mau mengerti apa yang Rakala mau.
"Mau aku bilang apa juga Ayah nggak akan percaya, 'kan? Jadi buat apa aku jelasin?"
"Sekarang kamu bahkan berani lawan Ayah, Kal! Kamu itu masih hidup dengan fasilitas yang Ayah berikan. Harusnya kamu ikuti apa yang Ayah katakan!"
"Kapan aku bantah omongan Ayah? Kapan Yah? Pernah aku bantah? Aku ikut setiap apa yang Ayah mau, mulai dari menang olimpiade sampai beasiswa Jepang, aku ikuti. Aku selalu nurut setiap yang Ayah omongin. Tapi Ayah pernah nggak ngerti aku? Ayah nggak pernah tuh tanya aku gimana? Bisa nggak untuk gapai itu semua, Ayah nggak pernah tahu soal itu. Yang Ayah mau tahu itu aku cuma harus selalu bisa wujudin apa yang Ayah mau!"
Rakean menampar pipi Rakala. Pria paruh baya itu terlihat sangat marah begitu juga Kalaluna yang menarik Rakala untuk berdiri di belakangnya.
"Rakean!"
"Kurang ajar sekarang kamu ya?!"
Kalaluna menatap Rakean dengan nyalang. "Nggak gitu bicara sama anak!"
"Kamu terlalu manjain dia, Lun. Lihat dia sekarang jadi anak yang nggak tahu diri."
"Rakala juga begini karena kamu. Kamu dulu sama persis seperti Rakala. Aku nggak salahin kamu dengan kamu marah karena dia pulang pagi, tapi nggak sampai main tangan."
"Dia nggak ngerti kalau nggak begitu."
"Terus menurut kamu Rakala ngerti kalau kamu udah main tangan? Enggak." Kalaluna berganti menatap Rakala. Menurunkan tangan putranya yang memegang pipi bekas tamparan suaminya itu. "Kala gapapa, sayang?"
"Gapapa, Bun."
Kalaluna menghela napas. Ia melirik Rakean. "Kamu masuk ke kamar aja, Rakean. Biar aku yang bicara sama Rakala."
"Buat apa kamu bicara sama anak yang nggak ngerti? Dia nggak akan pernah ngerti kalau apa yang aku lakuin itu demi kebaikan dia juga. Percuma, Lun."
"Masuk, Rakean."
Rakean mendengkus. Ia mau tidak mau menuruti permintaan sang istri. Meninggalkan Kalaluna dan Rakala di ruang tamu.
Kalaluna menuntun Rakala untuk duduk di kursi. Ia menuju dapur untuk mengambil kotak obat karena ia tahu tamparan keras Rakean membuat sudut bibir putranya berdarah.
"Aku gapapa, Bun."
"Jangan bilang gapapa kalau sudut bibir kamu berdarah."
Kalaluna dengan cekatan mengobati luka putranya. Ini pertama kalinya Rakean terbawa emosi sampai menggunakan kekerasan ketika berdebat dengan Rakala. Biasanya pria itu tidak sampai memukul hanya menyerang melalui ucapan saja.
"Ibun marah?"
Kalaluna menarik napas. "Marah juga nggak merubah apapun. Kalau Ibun bilang Ibun marah apa kamu mau berhenti dari kegiatan kamu? Enggak juga, 'kan?"
Rakala terdiam. Kalaluna selalu berhasil membuatnya luluh. Kalaluna tidak seperti Rakean yang selalu berapi-api, tapi amarah Kalaluna lebih berbahaya dari Rakean.
"Aku cuma bantu Jovian aja, Bun. Terakhir kali Jovian kalah balapan dan buat motor dia jadi taruhannya. Aku cuma bantu Jovian untuk ambil apa yang seharusnya jadi milik dia."
Kalaluna menghela napas panjang. Ia menatap putra semata wayangnya. Senang membantu dan selalu mendahulukan orang lain adalah sifat turunan darinya, ia tidak bisa menyalahkan Rakala begitu saja.
"Ibun tahu, Kal. Tapi apa yang ayah omongin ada benarnya. Ibun nggak larang kamu berteman dengan siapapun, Ibun juga nggak marah kamu mau ikut Terakota atau apapun itu. Tapi kamu sudah besar, Kal. Seperti yang ayah bilang kalau kamu adalah satu-satunya harapan ayah, penerus apa yang ayah lakukan sekarang. Kalau bukan kamu memangnya siapa lagi yang akan lakukan itu? Ibun percaya kamu pasti tahu apa yang baik dan nggak baik, kamu pasti bisa berpikir dengan baik apa yang seharusnya kamu lakukan dan tidak kamu lakukan."
Rakala benar-benar lelah dengan kalimat harapan. Menjadi yang harus serba bisa untuk diandalkan adalah perkataan yang membuat Rakala muak. Memangnya siapa yang ingin mendapatkan tanggungjawab sebesar itu?
Apa salahnya jika Rakala hanya berusaha untuk mengeluarkan apa yang ia rasakan kepada Rakean? Mau sampai kapan Rakala harus mengerti Rakean yang tidak pernah berusaha untuk mengerti dirinya?

KAMU SEDANG MEMBACA
RAKALA
Fiksi RemajaTroublemaker satu kata yang sangat cocok untuk menggambarkan seorang Rakala Dierja bagi Belva. Berandalan SMA Garuda yang selalu membuatnya bekerja keras selama ia menjabat sebagai Ketua OSIS, beban berat yang sudah Belva punya harus bertambah terl...