二十二 Keluarga Bulan-bulanan

2.1K 212 7
                                    

Meilia bergegas menuju pintu masuk terminal keberangkatan. Sambil berjalan cepat, ia melirik buku primbonnya lagi, dua peserta terakhir kabarnya adalah seorang  ibu dan putrinya,
Juliana Han, P, 55 tahun.
Febiola Lau, P, 25 tahun.

Lebaran baru saja berlalu, tampaknya bandara tidak kenal hari libur. Atau memang karena hari cuti bersama begini yang membuat bandara penuh, seperti mall yang sedang menggelar diskon tujuh puluh persen. Dengung percakapan terdengar dari segala penjuru, sebagian orang hilir mudik dengan koper-koper besar, sebagian yang lainnya mengantri di loket-loket. Sesekali terdengar pengumuman dari speaker mengingatkan para pengembara langit untuk menjaga barang bawaannya. Tak jauh dari gerbang pintu masuk yang mengarah ke mesin x-ray koper, sesosok ibu berdiri di antara seorang gadis muda dan bapak Sekuriti.

"Halo, Ibu Juliana?" tanya Meilia begitu mendekati ketiga orang itu. Ibu itu mengangguk, putrinya mencibir dan membuang muka. Perasaan Meilia jadi tidak enak, seperti ada yang memukul ulu hatinya.

"Selamat sore, Pak," sapa Meilia menengok pada bapak kumis baplang yang tampak garang. Ia sudah tidak asing dengan wajah seperti itu, jadi Pak Sutopo (sesuai nama di dadanya) tidak terkesan menakutkan bagi Meilia. Malah membuat Meilia merindukan Pak Bambang kesayangan yang sedang berkencan di surga bersama Mamanya.

"Saya tour leader mereka, ini tiketnya," Meilia menyerahkan selembar kertas. Pak Sutopo mengecek isi tulisan dalam kertas, lalu mencocokkan datanya dengan paspor kedua orang di hadapannya.

"Baik, silakan. Selamat jalan," kata Pak Sutopo menyilakan mereka melewati gerbang masuk. Setelah kedua koper mereka lolos x-ray, kedua ibu-anak itu mengikuti langkah Meilia menuju loket.

"Kenalkan, saya Meilia," kata Meilia, ia mengulurkan tangan. Ibu Juliana menyambutnya dan menjabat dengan hangat.

"Panggil saya Ibu Julie, ini anak saya, Febby," ia menepuk lengan putrinya dengan lembut. Febby tersenyum sekilas dan menjabat tangan Meilia sekenanya. Gadis itu memakai kaus putih tangan panjang, celana hitam ketat yang mengkilat dan sepatu boots dari kulit. Dengan tungkai yang panjang dan kulit yang putih bersih, menurut Meilia ia lebih cocok jadi foto model. Tinggi badan Meilia hanya sebatas telinga Febby.

"Hai, Febby. Kita saling panggil nama aja ya, umur kita ga jauh beda," sapa Meilia berusaha ramah, padahal ia deg-degan karena wajah Febby super masam seperti belimbing yang dijual oleh Ibu Sayur.

"Whatever," katanya sambil mengangkat bahu. Meilia sangat ingin meninggalkan Febby di bandara saat itu juga, biar hanya Ibu Julie saja yang boleh ikut ke China. Apa perlu ia mengunci gadis itu di kamar mandi bandara?

Meilia menghela napas dan tersenyum. Sesuai instruksi Pak Jon,
'Harus ramah sama semuanya, you don't have to become friends but be friendly.'
'Kalo orangnya songong gimana, Pak? Jutek gitu? Boleh balik songong?'
'Tetap aja harus sopan dan ramah, Neng! Mereka itu customer kita, cus-tom-errr. Ngerti?'
'Ngerti, Pak. Ngomong customer-nya ga usah sampai segitunya juga kali.'

"Oke, ini boarding pass-nya, sekarang kita langsung ke imigrasi saja. Sepertinya peserta yang lain sudah menunggu di dalam," jelas Meilia, ia melirik jam tangannya, hampir pukul lima sore. Mereka beranjak, kali ini Febby yang memimpin di depan. Tampaknya ia sudah biasa melakukan perjalanan ke luar negeri, langkahnya pasti dan penuh percaya diri.

"Maaf ya, Nak Meilia. Kami telat, soalnya..." kata Ibu Julie.

"Iya, soalnya harus bongkar koper cuma buat nyari benda ga penting!" kata Febby ketus, memotong kalimat yang akan ibunya ucapkan. Ibu di samping Meilia menggelengkan kepala, lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Meilia.

Travelove GuideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang