Bagian satu

67 47 16
                                    


Bts Fanfiction

( Bencana gunung merapi didaerah selatan telah menewaskan lebih dari seribu dua ratus penduduk di kaki gunung. Erupsi telah berlangsung lebih dari tujuh hari, dan menyebabkan kerusakan parah pada wilayah kota sekitar. Balai Ibukota Kerajaan telah memberi kebijakan untuk memberi subsidi sementara kepada para masyarakat yang selamat.)

Seokjin menggulung perkamen lama ditangannya. Hal ini adalah berita populer di tujuh tahun lalu. Seokjin sendiri merupakan salah satu korban yang selamat. Dulu, tragedi itu telah melenyapkan kehidupannya dimasa lalu.

Hanya dia satu-satunya yang tersisa dari keluarganya. Pada saat itu, dia sedang pergi berlibur bersama sepupu jauhnya dengan sebuah Karavan. Ketika dia kembali, segalanya sudah binasa. Ayah, ibu, dan saudara perempuannya.

Mengingatnya sekarang, seperti menjungkir balikkan nasibnya. Untuk selamat tanpa membawa keluarga yang dicintai, rasanya seperti mimpi buruk tanpa pernah bangun. Kehidupan mungkin bisa kembali dibangun, tapi bagaimana dengan jiwa-jiwa yang pergi?

Rintikan hujan yang jatuh diwajahnya, menyadarkan Seokjin dari lamunanya. Gerimis mulai berguyur, dan dia baru menyadari bahwa langit diatas mulai tersebar oleh awan mendung.

Seokjin belum lama datang dipasar ini untuk berniat menjual mentimun yang baru saja dia petik sebelumnya. Tapi hujan tiba-tiba datang, membatalkan bisnisnya untuk mendapat uang.

Dirumahnya, barang-barang pokok seperti; beras, gandum, bumbu dapur, dan minyak untuk menyalakan lampu telah habis tiga hari lalu. Bahkan dari pagi hingga sore ini, Seokjin hanya dapat makan satu lembar roti pipih dan acar timun.

Dengan tergesa, Seokjin mengumpulkan seluruh mentimunya kedalam karung. Memanggulnya diatas pundak, untuk kemudian pergi mencari tempat meneduh.

Seokjin menyusuri jalan utama diluar pasar. Suasana ramai oleh orang-orang yang hendak menepi, dan beberapa toko mulai ditutup.

Saat melewati persimpangan jalan, ada banyak banner terpampang di dinding pengumuman. Seokjin sejenak memperhatikan beberapa poster lukisan dari tokoh famous di kota ini. Dominannya seperti, Seniman musik terkenal, Intelektual, Pemimpin daerah, atau orang berbakat lain dari Ibukota Kerajaan.

Mereka yang dilukis biasanya adalah orang-orang populer yang berasal dari daerah setempat, dan menerima banyak prestasi dari Ibukota kerajaan. Sehingga, masyarakat menjadikan tokoh itu sebagai idola mereka.

Kali ini, banner yang cukup menarik memiliki gambar dari kalangan militer, seorang Jenderal perang. Dia mengenakan armor besi, dan menunggang kuda Kavaleri perang. Lukisan itu digambar dengan seni yang baik sebagai maskot kota ini.

Dengan gerimis yang tiba-tiba menjadi hujan yang lebat, Seokjin akhirnya beranjak tergesa, menciptakan bunyi kecipak air oleh sepatu bootnya.

Setelah berlari menerjang hujan, Seokjin akhirnya memilih berhenti disebuah kedai dipinggir jalan dengan plakat bertuliskan: Kedai Keluarga Jung. Tempatnya lumayan bagus dan nyaman. Ada panci-panci yang berjejer dengan asap mengepul. Mungkin toko ini menjual makanan dan minuman. 

Menurunkan karung dipundaknya, Seokjin berdiri diundakan kayu tepat ditepi kedai, berniat duduk disana. Tapi karena angin kencang datang ,dan hujan tetap mengguyurnya, dia akhirnya memutuskan untuk masuk. Meninggalkan karungnya diteras, takut mengganggu.

Seokjin melesatkan beberapa pandangan, dan menemukan bahwa ini merupakan kedai yang menjual aneka pangsit. Hidangan yang dulu sering dia nikmati.

Memikirkannya sekarang, Seokjin menyadari bahwa dia mungkin sudah sangat lama tidak memakannya lagi. Aromanya juga sangat lezat hingga membuat perutnya bergemuruh, ingin mencobanya.

Seokjin melangkah hati-hati menuju seorang pria dibalik meja untuk bertanya, "Tuan, apakah anda Bos kedai ini?"

Pria itu tampak sibuk tanpa memandangnya, berkata, "Benar, aku adalah Jung Hoseok pemilik kedai ini."

"Bolehkan saya tau berapa harga pangsit disini, Tuan Jung?" Tanya seokjin.

Tuan Jung menjawab, "Pangsit goreng seharga sembilan koin tembaga. Pangsit kuah seharga lima belas koin tembaga. Mie pangsit spesial seharga dua puluh koin tembaga."

Seokjin terdiam, dengan sembunyi-sembunyi merogoh jubah dalamnya. Terdapat tiga koin tembaga digenggamannya, jelas tidak cukup untuk mendapat porsi apapun.

Seokjin kembali bertanya, "Kalau begitu, apakah kedai ini menyediakan teh hijau? Bisakah aku mendapatkannya?"

Kali ini, Tuan Jung berbalik untuk memandangnya dengan tatapan yang aneh. Seokjin bertanya-tanya dalam hati, apakah dia terlihat tidak menyenangkan untuk dipandang. Saat ini pakaian putihnya sangat kusam, rambut panjangnya yang tergerai cukup basah, dan sepatu boot kainnya ternoda oleh percikan lumpur. Tapi setidaknya itu tidak mengotori tempat.

Tuan Jung berkata, "Baiklah, pergi duduklah dulu."

Menyingkirkan pemikirannya sebelumnya, Seokjin akhirnya beranjak masuk. Didalam, ruangan kedai cukup hangat dan nyaman. Meja-meja rendah dan kursi bantal bersila ditata serapi mungkin.Seokjin memilih untuk duduk disudut yang paling sepi.

 Setelah menunggu beberapa saat, seorang wanita cantik dan langsing datang membawa nampan, meletakkan satu teko dan beberapa gelas porselen, serta satu piring kecil kue kering. Pelayan itu dengan ramah mengatakan, "Silahkan Tuan," kemudian pergi.

Ketika Seokjin mengangkat kepalanya untuk menyeduh teh, dia merasa seperti hampir seluruh orang didalam kedai ini diam-diam sedang menatapnya. membuatnya tidak nyaman, dan berkecil hati. Akhirnya Seokjin memilih untuk menunduk dalam.

"Hanya memesan teh?"

Tiba-tiba, Seokjin dikejutkan oleh suara seseorang tepat didekat telinganya. Reflek, Seokjin berpaling dan tertegun. Saat ini, terdapat seorang lelaki muda yang duduk disebelah kiri, tepat disampingnya.

Pria muda ini mungkin berumur delapan belas atau sembilan belas tahun.

Rambutnya dikucir kuda dengan poni belah samping. Terpasang hiasan kecil mahkota permata dibagian ikatannya. Dia mengenakan jubah tunik biru gelap dengan bordiran mewah, ikat pinggang perak mengkilap, dan membawa pedang bernilai.

Dengan sekali pandangan, seseorang dapat menilai bahwa lelaki muda ini sangat segar, kaya, dan tampan. Selain itu, rakyat biasa dilarang untuk membawa senjata. Jadi jika dia bukan seorang perwira, dia mungkin dari keluarga bangsawan.

"Mau menuang teh untukku?" Ujarnya lagi.

Seokjin berkedip beberapa kali, dan baru menyadari bahwa remaja ini benar-benar berbicara dengannya.

Dengan berdeham ringan, Seokjin menjawab sopan,
"Ah. Tuan muda, saya khawatir tidak pantas berbagi minuman dengan anda."

Pemuda itu mengernyit dan berkata, "Tidak, tidak. Itu tidak benar."

Ruangan disini sangat luas, dan lelaki ini tampak seperti seorang kapitalis. Anehnya, mengapa dia harus memilih duduk bersama Seokjin, lalu meminta teh padanya.

Tapi karena Seokjin tidak ingin menyinggungnya, dia dengan hati-hati mengambil gelas lain dan mulai menuangkannya. "Baiklah," katanya.

Pria muda itu meraihnya dengan senang hati dan menyesapnya.

Kali ini Seokjin mengedarkan pandangannya, lalu dia mulai mengetahui suatu hal.

Sebenarnya tatapan semua orang tidak sedang terpaku padanya, tapi semua orang didalam kedai ini memperhatikan pemuda disebelahnya saat ini.

Seokjin ikut memandangnya lagi untuk memeriksanya, dan bertanya-tanya tentang siapa pemuda ini. Dia merasa sedikit tidak asing dengan wajahnya.

Setelah menenggak habis tehnya, pria muda itu menatap Seokjin dan berkata, "Boleh aku bertanya siapa nama Teman besar ini?"

Seokjin berterus terang menjawab. "Namaku Seokjin, dengan nama keluargaku Kim."

Terdapat kecerahan didalam mata pemuda itu, dia kemudian tersenyum lebar, "Tidak salah lagi." Ungkapnya.

Mengernyitkan alisnya, Seokjin merasa bingung, "Maaf, apa yang sebenarnya Tuanku maksud ini?"

.
.

#StayAtHome.
#DirumahAja.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 31, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

WONTON SOUPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang