1

1.5K 33 5
                                    

Senja di sore pantai itu, terlihat dua orang sejoli bergandeng tangan dengan kaki telanjang mereka. Menikmati sapuan ombak pada kaki bersih mereka. Pegangan mereka masih ketat satu sama lain, terdengar tawa mereka berdua. Lalu mereka berhenti, saling pandang satu sama lain dengan berlatar belakang matahari yang hendak kembali pulang ke malamnya.

“Sayang…” Panggil si tampan.

“Iya…” Jawab si manis.

“Coba panggil namaku!” Pinta si tampan.

“Doeve!” Ucap si manis mengabulkan permintaan si tampan, lantas si tampan tersenyum bahagia.

“Akhirnya sejak sekian lama, ada juga yang memanggil namaku. Terlebih lagi yang memanggil seperti itu adalah dirimu, sayangku!” Kata si tampan yang bernama Doeve. Si manis mendengus.

“Tentu saja, mana ada yang berani memanggilmu seperti itu? Aku berani melakukannya karena disini tidak ada siapapun selain kita, pengawalmu berada jauh di-bibir pantai-sana.” Doeve tertawa.

“Karena jika ada yang berani memanggilmu seperti itu, berarti itu adalah sebuah pengkhianatan, dan pasti mereka akan dipenggal. Bahkan aku berani bertaruh kalau orang tuamu masih ada, pasti mereka juga akan memanggilmu seperti itu.” Tawa Doeve semakin keras. Memang benar, siapa yang akan berani memanggil nama seorang raja tanpa embel-embel yang mulia. Bias dipastikan mereka akan tinggal nama seketika itu juga, jika mereka memang berani.

“Genma, kau selalu mampu membuat suasana hatiku jadi luar biasa gembira. Aku selalu bersyukur pada Tuhan bisa memilikimu.” Doeve, atau tepatnya Raja Doeve, tersenyum bahagia sambil menggenggam jemari tangan si manis bernama Genma itu.

“Huuuu dasar tukang gombal, aku tidak heran jika kau memiliki seorang istri dan banyak selir karena kepiawaianmu menggombal itu.” Dengus Genma.

“Hey! Aku tidak sembarangan memberikan rayuan seperti itu, itu hanya ku berikan padamu.” Doeve tidak terima.

“Aku tidak pernah menggombal pada Ratuku, dan juga selirku. Dan harus aku koreksi, aku tidak memiliki banyak selir, selirku hanya satu. Dan tak lama kemudian akan jadi dua,” Ujarnya. Genma mengernyit.

“Akan jadi dua? Kau berniat menikahi siapa setelah ini?” Kemudian Doeve mengangkat telunjuknya dan menempelkannya di dada Genma.

“Kau, dirimu yang akan jadi selir keduaku, sayang!” Jawabnya. Genma memerah.

“Mana bisa? Aku ini laki-laki jika kau lupa.” Dengus Genma masih dengan pipi memerah. Doeve menghela napas.

“Aku tahu, untuk itu aku sudah sedang mengajukan undang-undang pernikahan sejenis kepada menteri-menteriku. Dan aku harap mereka bekerja dengan cepat.” Genma terkejut dengan jawaban Doeve.

“Yang terpenting sekarang, kau menikah denganku dulu, karena orang tuamu sudah merestui kita.” Kata Doeve sambil mengeluarkan sebuah kotak beludru-kotak cincin- dari saku celana jeansnya yang ia tekuk keatas.

Doeve kemudian berjongkok, tanpa menghiraukan kalau-kalau celananya akan kotor karena pasir. Doeve membuka kotak tersebut, dan menunjukkan sebuah cincin emas putih bertahtakan 13 berlian kecil yang diatur sedemikian rupa sehingga terlihat sederhana namun elegan pada Genma. Genma terkesiap, ia shock, namun ia tak dapat menutupi kebahagiaannya ketika dilamar kekasihnya itu. Ini impiannya dilamar sang kekasih di pantai, tepat saat sunset. Matanya mulai mengabut, ia berkaca-kaca, tak kuasa menahan rasa direlung hatinya.

“Genma, sayangku, aku tahu lamaran ini tak sesempurna seperti apa yang kau inginkan, tapi dengan ini, aku memintamu sebagai istriku, yang kelak akan selalu menemaniku dalam suka atau duka. Bersediakah kau menikah denganku, seorang lelaki tua dengan dua orang anak yang sangat tidak romantis ini?” Doeve melamar Genma.

COMPLETETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang