Aku tidak bisa membuka mataku dengan lebar karena terasa begitu sembab. Semalam aku menangis sampai akhirnya tertidur.
Entah siapa yang memberikan nomer ponselku kepada Ricky mantan tunanganku. Karena semalam dia menelepon dan membuat hatiku semakin hancur.Pagi ini aku tidak mempunyai daya semangat untuk menjalani hari. Seperti orang linglung yang setelah mandi langsung refleks ke cafe secangkir kopi ini. Pegawainya saja tadi sempat kaget melihatku sudah nongkrong di teras cafe sebelum dibuka. Dan juga Diya tidak ada di sana selama beberapa hari.
Setelah acara menonton berdua itu Dia memang tidak terlihat selama 3 hari ini. Kata karyawannya Diya sedang ada urusan ke luar kota. Jadi otomatis aku tidak mempunyai teman lagi untuk mengobrol.
"Kemajuan yang bagus Ya..."
Suara Rara editorku di ujung sana mengalihkan lamunanku. Seperti biasa aku duduk di pojok cafe dengan laptop di atas meja dan kopi mengepul di sampingnya."Aku baru ngembangin premisnya Ra.. nanti aku buat yang lebih spesifik lagi."
"Sip...semoga ide kamu lancar deh. Satu minggu lagi loh, Ya. Aku juga kejar-kejaran ini."
Kuanggukan kepala dan kini pandanganku beralih ke sosok wanita cantik yang sedang melangkah masuk ke dalam cafe. Dan aku tertegun saat melihat Diya ada di belakangnya. Mereka sepertinya sedang berbicara serius. Bahkan Dia tampak menunduk ke arah wanita itu untuk mendengarkan.
"Owh iya Ra, kamu ngasih nomerku ke Ricky ya?"
Akhirnya aku fokus lagi ke Rara dan kini menatap layar laptopku.
"Astaga...aku nggak sengaja, Ya. Kemarin tuh Ricky datang ke sini, dia bilangnya ada yang mau dikembalikan ke kamu terus minta nomer kamu. Duh sorry ya. Aku nggak bermaksud kasih nomer kamu."
Suara Rara tampak menyesal di ujung sana. Dan aku hanya menghela nafas. Kusandarkan punggungku di kursi. Lalu kembali menatap depan. Dia belum melirik ke arahku sejak tadi. Dia masih sibuk berbicara dengan wanita cantik itu. Melihatnya aku jadi merasa buruk rupa.Celana jeans belel, dan sweater warna teracota yang aku pakai asal-asalan saat selesai mandi menjadi terlihat lusuh.
"Ya udahlah, Ra. Dia udah telepon aku."
"Dia nyakitin kamu lagi?"
Kuhela nafasku lagi. Lalu mengusap mataku yang terasa kebas.
"Dia marah-marah sama aku karena aku lari dari rumah. Dan membuat pernikahannya kacau karena yah biasa si drama queen itu teriak-teriak kalau aku mengacaukan semuanya. Membuat malulah apalah.."
Masih terasa sakit saat semalam Ricky memarahiku dan mengatakan aku egois dan kekanak-kanakan.
"Gila tuh adik kamu. Ih yang sabar ya, Ya. Udah kamu nggak usah pikirin lagi. Yang penting kamu tenang di situ ya."
Kuanggukan kepala dan mengiyakan saat Rara berpamitan. Kuletakkan ponsel ke atas meja lagi.
"Cahaya.."
Suara itu membuat aku menatap depan. Diya menarik kursi di sebelahku. Diya mengenakan sweater putih dan celana jeans. Rambutnya yang panjang tidak diikat sedikitpun."Hai.."
Aku melirik wanita cantik yang tadi bersama Diya yang sekarang sibuk berada di balik meja bar."Cantik ya..."
Diya mengernyit mendengar ucapanku tapi dia lalu mengikuti pandanganku. Kemudian dia menatapku dan tersenyum.
"Salsa...mantan istriku."
"Owh.."
Diya kini mencondongkan tubuhnya ke arah laptop.
"Udah beres?"
Aku menggeleng tapi kemudian tersenyum.
"Yah lumayan ada bab yang bisa berlanjut."
Diya menganggukkan kepala tapi kemudian beralih menatapku.
"Mata kamu kenapa? Kelihatan sembab? Jangan bilang kamu terlalu mendalami karakter yang kamu buat jadi ikut menangis?"
Aku tersenyum mendengar ucapannya.
"Enggaklah. Yah lagi pingin nangis aja."
Jawabanku itu membuat Diya mengernyit. Tapi saat Diya akan berbicara lagi wanita cantik tadi memanggilnya.
"Ardi...anterin aku ke mobil."
Mendengar panggilannya Diya langsung menganggukkan kepala dan beranjak dari kursinya.
"Bentar ya."
Kuanggukan kepala saat Diya melangkah mendekati mantan istrinya itu. Mereka terlihat masih akrab dan aku heran. Aku saja yang hanya tunangan seperti kucing dan anjing sama Ricky. Ini yang notabene mantan istri saja masih begitu baik... apa Diya masih mencintai wanita itu?
Kugelengkan kepala. Sisi romantis seorang penulis sepertiku kadang berlebihan. Akhirnya aku kembali fokus ke tulisanku.
*****
Hari sudah beranjak sore saat aku akhirnya merasa lelah. Menutup laptop dan menegakkan tubuh. Menggeliat dan meluruskan jari-jariku. Cafe sudah mulai rame kalau sore begini. Diya tidak kembali setelah berpamitan tadi tapi kenapa aku harus peduli? Toh dia hanya teman di saat aku kesepian. Kurapikan semua barangku dan memasukkan ke dalam tas. Aku ingin kembali ke rumah yang aku sewa di sini. Sepertinya tidur bisa membuatku segar kembali."Berapa Mas?"
Aku mengeluarkan dompet saat sampai di depan kasir.
"Nggak usah Mbak. Kata Mas Diya, Mbak udah bayar kan selama satu bulan ke depan."
Aku mengernyit mendengar ucapannya. Tapi kemudian melangkah keluar cafe. Kapan aku pernah membayar Diya?
Saat melangkah ke arah mobil ponselku berbunyi lagi. Kutatap layar ponsel dan nomor asing kembali membuat jantungku berdegup kencang.
"Halo?"
"Heh Kak... setidaknya hargai aku sebagai adik kakak. Hargai Mama yang udah gedein kakak. Kalau kayak gini kakak mempermalukan keluarga. Ini pernikahanku terancam batal. Jadi cewek kok egois."
Kupejamkan mata saat mendengar suara adikku. Tadi Ricky dan sekarang calon istrinya yang tengah hamil. Mereka berselingkuh di belakangku tapi aku yang terkena imbasnya.
Aku segera mematikan ponsel dan langsung memasukkan ke dalam tas. Saat itulah tubuhku limbung...dan tiba-tiba sebuah tangan melingkar di pinggangku.
"Aya."
Aku langsung menoleh dan menatap Dia yang berdiri menopang tubuhku.
"Owh.."
Tapi Diya tidak melepaskan tubuhku.
"Kamu pucat."
Sebelum aku menjawab kegelapan sudah memelukku.
Bersambung
ADA FLASH SALE JUMAT INI YA
100RB/4 PDF CUZZ LANGSUNG KE WA 081255212887
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir kopi
Chick-LitKopi. Dia selalu menemaniku di setiap pagiku. Bahkan saat aku mulai meninggalkan kebahagiaan di belakangku. Aku mengasingkan diri, karena merasa dikhianati oleh semua orang yang kucintai. Dan hanya secangkir kopi yang selalu menjadi pengisi kehampa...