Kamu melangkah perlahan, bersusah payah membawa tumpukan buku milik teman sekelasmu. Hari ini Pak Kunikida tidak hadir dan hanya memberikan setumpuk tugas, harus dikumpulkan saat itu juga.
Padahal biasanya ada satu dua murid yang membangkang, memilih mengerjakan tugas di rumah saja. Tapi sepertinya tidak ada yang mau berurusan dengan omelan panjang nan menggelegar dari mulut guru matematika satu itu, Kunikida Doppo.
Kepalamu masih pening karena memikirkan jawaban soal-soal limit trigonometri, tapi begitu bel istirahat berbunyi, kamu malah disuruh (sebenarnya bukan di suruh, hari ini memang jadwalmu piket) membawa tumpukan buku tugas itu ke meja Pak Kunikida.
Sialnya lagi, ketua kelasmu yang baik hati dan suka menolong tidak masuk dikarenakan sakit. Coba saja kalau orang itu—-Oda Sakunosuke—-hadir hari ini, dia pasti mau menawarkan bantuan untuk membawakan sebagian.
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya Kamu tidak keberatan dengan sikap Pak Kunikida yang tegasnya enggak ketulungan. Setidaknya Kamu jadi punya sedikit motivasi untuk belajar dan mengerjakan tugas, meski tujuannya Cuma menghindari hukuman, sih.
Bukan hanya itu, Kamu juga menyukai penjelasan Pak Kunikida yang tidak setengah-setengah. Membuatmu memahami konsep dari setiap materi yang diajarkan.
Lagipula, daripada Pak Kunikida, Kamu lebih takut pada guru sastramu, Pak Fukuzawa. Guru yang sudah tidak bisa dibilang muda itu kelihatan kalem memang, tapi sewaktu-waktu auranya begitu mengintimidasi. Membuat seisi kelas berkeringat dingin, yah kecuali beberapa orang yang kewarasannya dipertanyakan.
Setelah selesai mengumpulkan tugas, kakimu melangkah ke arah kantin, agak sedikit terburu karena takut kehabisan makanan.
Di lorong telingamu disapa oleh suara yang sudah tidak asing, dia memanggil namamu dengan cukup kencang. Membuat orang lain mengalihkan pandang, lalu sedetik kemudian kembali melanjutkan aktivitas masing-masing. Kalau yang membuat kegaduhan seperti itu Dazai Osamu sih, memang sudah tidak aneh.
Kemudian tak jauh di belakang pemuda tinggi bersurai coklat itu muncul Nakahara Chuuya, helaian jingganya diikat seperti biasa. Kamu heran juga kenapa sekolah tidak melarang siswanya memanjangkan rambut begitu.
“Nih, kubeliin roti, tadi udah mau habis. Dazai bilang kamu enggak bawa bekal.” Kamu menerima roti itu begitu saja, matamu menatap Chuuya—-untuk saat itu saja-—dengan binar kebahagiaan.
“Makasih loh, Chuuya baik banget deh.”
“Apaan sih! Dazai yang nyuruh juga!”
“Aku nggak bilang apa-apa tuh.” Dazai memosisikan dirinya di samping, merangkul bahumu. Wajahnya berhadapan dengan Chuuya dan dia menarik satu sudut bibirnya ke atas, mengejek.
“Diem, Perban sialan!”
“Yaudah sih, yang penting kita udah dapet makanan. Balik ke kelas yuk!” Dazai mengiyakan dalam hati, kakinya melangkah dengan tangan masih merangkul bahumu. membuatmu berjalan bersisian dengannya.
Meninggalkan Chuuya yang merasa jasanya dilupakan.
Hari ini pengumuman snmptn, tapi karena udah nebak hasilnya. Jadi enggak sedih lagi waktu tau enggak keterima. Duit buat bayar utbk jadi nggak sia-sia/hush
KAMU SEDANG MEMBACA
Classmate
FanfictionKisahmu semasa SMA dengan teman sekelas yang beberapa kurang normal. ada Chuuya yang sedikit temperamen. Dazai si maniak bunuh diri. ketua kelas terbaik sepanjang masa, Oda Sakunosuke. ada juga informan terpercaya di seantero sekolah, Sakaguchi Ango...