4 - Hujan

13 3 0
                                    

Tidak semua hal bisa dijadikan sebagai candaan. Tidak semua kejadian buruk juga akan berakhir dengan buruk. Seperti kejadian yang menimpa seorang pemuda dengan suara emasnya. Dia Boo Seungkwan.

Seorang pemuda yang menyukai hal-hal lucu, bukan lucu seperti imut tetapi lucu seperti yang bisa membuat orang terpingkal. Dia pemuda dengan segudang candaannya.

Mari kita awali kisah yang satu ini dengan kata-kata yang puitis tapi menegangkan. Seperti dipagi hari yang dingin dengan suara rintik hujan, seorang pemuda terbangun dari tidur panjangnya. Dengan wajah setengah mengantuk ia berusaha menuruni kasur tingkatnya lalu berjalan keluar dari kamar menuju ke sudut, dimana kamar mandi berada. Mencuci muka, menggosok gigi, dan membersihkan kotoran hidungnya.

Setelahnya, ia turun ke lantai satu tepatnya menuju ke dapur tempat dimana ke dua belas pemuda lainnya sedang menunggunya.

"Lama lo." Pemuda yang baru bangun itu tak mengindahkan protes yang ditunjukkan padanya. Ia lebih memilih untuk segera duduk dan pemuda yang melayangkan protes tadi pun tak ambil pusing. "Dah, sekarang waktunya kita baca doa agar makanan yang kita makan mendapat berkah dari Tuhan. Agar apa yang kita makan membawa kebaikan untuk diri kita. Agar makanan kita makan nggak bikin kita tinggi hati, besar kepala, dan kepala batu. Karena jelas itu nggak baik buat kesehatan."

"Lo mau doa apa ngelantur dah, Bang?" Sela Soonyoung seraya menatap malas wajah Seungcheol.

"Lagi doa ini. Diem napa, dah. Heran gua. Jadi gini ya anak jaman sekarang, doa bukannya khusyuk tapi malah ngehujat." Katanya sambil menggelengkan kepala.

"Serah yang tua, dah. Pan yang tua selalu benar."

Doa pun dilanjutkan setelahnya mereka makan dengan hikmat. Hanya suara piring dan sendok yang terdengar. Ketika makan mereka punya aturan yaitu dilarang bicara dan bercanda saat makan. Itu terjadi setelah Seungcheol selaku yang paling tua berkata, "pas makan itu diem. Ntar kalo lo pada, pada ngoceh atau becanda terus keselek pan nggak elit matinya. Yakali cogan mati keselek. Masuk koran bukannya orang-orang pada simpati tapi malah ngakak."

Setelah mengalami pagi yang monoton. Boo Seungkwan mendengus kala melihat keluar jendela. Vernon yang melihat penampakan melow Seungkwan pun menghampiri.

"Napa lo? Muka lo tuh udah nggak ganteng. Jadi jangan sok mengkerut gitu. Makin mirip sama gelandangan."

"Si kampret. Diem lo bule kw. Ck, bikin mood tambah down ae."

Vernon pun terpingkal melihat ekspresi Seungkwan yang semakin muram.

"Hahahaha, kampret! Komuk lo dikondisiin napa."

Seungkwan mendengus. Vernon pun menghentikan tawanya lalu menepuk pundak Seungkwan.

"Lo napa, dah? Biasanya juga tawa sama anak-anak ampe kentut. Mana kentutnya bau sampah. Ada masalah?"

"Hujan."

Alis Vernon terangkat satu. Sedikit heran dengan satu kata yang keluar dari bibir Seungkwan.

"Ya, emang. Siapa bilang terang benderang."

"Ck, artinya gua nggak jadi jalan sama Hyunji."

"Ooo. Yodah tunda ae."

"Ah, lo mah enak ngomongnya. Lo kan ganteng lah gua muka macem pantat kebo gini."

"Sadar diri? BAHAHAHAHA"

Pret~

"LAH KAMPRET GUA EEK DICELANA."

"Si kampret! BAU WOY! PERGI LO SONO!"

Vernon pun lari sambil masih tertawa sedangkan Seungkwan wajahnya makin merana.

Ia pun memutuskan untuk ke ruang tamu. Hampir seluruh penghuni rumah sedang berkumpul di sana. Ia pun meletakkan pantatnya di sofa, samping Seungcheol.

"Bang." Panggilnya.

"Napa?" Sahut Seungcheol. Pemuda itu tak mengalihkan fokusnya dari siaran tv.

"Hujan."

"Emang."

"Gua nggak bisa jalan."

"HAH?! LO LUMPUH?!" Sontak seluruh manusia yang ada di ruangan menatap Seungcheol.

"AMIT-AMIT ASTAGA!! MAKSUD  gua, gua jadi nggak bisa jalan sama Hyunji."

"Ah, jangan bikin jantungan napa. Lo bisa jalan aja gua udah susah apalagi lo nggak bisa jalan."

"Yakin, ini kalo gua depresi gua udah lakuin hal macem-macem gegara kata-kata lo. Perhatiin, ah kalo ngomong. Ntar bikim sakit hati." Katanya sebelum berlalu meninggalkan ruang tamu.

Ia pun memutuskan untuk ke kamar dan menghubungi sang pujaan hati.

"Halo, Hyunji."

"Ya, halo, Seungkwan. Ada apa? Tumben telfon."

"Anu, maaf nggak jadi jalan. Hujannya deres."

"Iya, nggak papa kok."
"Lagian, kalo dipaksa keluar yang ada kita sakit lagi."
"Hahaha."

"Hm, maaf ya."

"Ih, dibilang nggak papa juga."
"Lagian kalo hujan itu disyukuri."
"Jalannya kita tunda aja, kalo besok bisa, besok aja ya?"

"O-oke."

"Kalo gitu udah dulu, ya."
"Aku mau bantu mama bikin kue."
"Bye."

"Bye."

Dengan berakhirnya panggilan itu. Wajah Seungkwan berubah menjadi berseri.

"Nggak salah gua suka sama dia."

Nak Gahol | SeventeenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang