Syarif adalah seorang vokalis sebuah grup hadrah terkenal dari Pondok Pesantren Al-Hidayah. Suara merdunya tersohor indah melantunkan sanjungan untuk Baginda Nabi Muhammad SAW. Di usia muda, 25 tahun, ia juga terkenal memiliki ilmu dan adab yang baik. Sebenarnya bukanlah hal yang mengherankan jika mengingat Ayahnya adalah seorang kiyai. Begitu pun ia menjadi idola banyak santri - santriwati. Ia digadang menjadi Yainya Al-Hidayah menggantikan ayahnya, namun bahkan ia bagai menolak halus hal itu. Ia tetap fokus pada kecintaannya terhadap menyanjung Baginda SAW melalui seni musik hadrah. Alhasil adiknyalah yang bersiap mengemban tugas mulia yang tidak enteng itu. Apa tanggapan adiknya soal itu?
"Abang memang kejam, Bang. Orang pelit yang kejam", Tofa merajuk pada Syarif, ia makin jengkel saat melihat Abangnya itu santai. "Abang tidak takut jadi pohon yang tidak berbuah?", tanyanya sambil memuat pepatah lama.
"Apa maksudmu, Fa? Janganlah kamu memuat atau mengajarkan hal yang bahkan kamu sendiri belum mengerti betul, bahaya bagi kamu dan santrimu nanti", Syarif malah ceramah.
"Abang seharusnya mengamalkan ilmu yang abang punya, Bang. Ilmu itu untuk dibagi, diajarkan, demi perbaikan dan kebaikan", Tofa tak mau kalah.
"Kamu tahu apa soal itu? Kamu pikir jalan mengamalkan ilmu hanya satu?", Syarif mulai emosi.
"Abang tega melihat orang terperosok ke jurang karena gelap padahal kita bisa membagi dian kepada mereka?", tanya Tofa sinis.
"Aku hanya jujur atas kelemahanku, Fa!", katanya tegas. "Lebih baik aku meletakkan hal yang mungkin tidak bisa kuemban dengan baik, supaya yang benar-benar mampu bisa mengemban tugas itu dengan baik", jelasnya.
"Kalah sebelum berperang", cibir Tofa.
"Terserah apa katamu. Yang pasti, Wallahi, aku tidak berniat buruk terhadap Al-Hidayah", Syarif yang malas berdebat berusaha mngusaikan perdebatan.
"Lepas tangan memang mudah meski sesungguhnya tidak semudah itu", Tofa masih maju dengan hujatannya.
"Aku tanya. Apa jadinya padi yang ditanam dengan tidak sepenuh hati atau dengan keraguan? Apa dia akan tumbuh baik? Apakah panen akan sesuai harapan?", pertanyaan Syarif kali ini sukses membuat Tofa bungkam.
Tapi kemudian Syarif bertanya pada dirinya sendiri apakah ia memberatkan Tofa atau tidak jika ia tak mau memimpin pondok. Menyadari hal itu ia menyesal karena telah bicara kasar pada adiknya. Ia memberanikan bertanya, meskipun itu beresiko jika Tofa benar-benar keberatan menggantikannya memimpin pondok, "Apa kamu keberatan menggantikanku, Fa?".
"Ndak, Bang, bukan begitu!", buru-buru Tofa menyangkal. "Aku hanya merasa bahwa aku tidak mampu, dan lagi Bang Syarif anak sulung Abah. Aku merasa lancang", ungkapnya.
Syarif menepuk pundak Tofa, ia lega. "Kamu mampu, Fa! Abang percaya. Kamu bahkan lebih mampu dariku", ia meyakinkan Tofa.
"Tapi Tofa tetap butuh Abang untuk meminta pertimbangan", Tofa menatap Syarif penuh harap.
"Kapan pun kamu ingin bertanya, dan kalau aku bisa memberinya", sahut Syarif, ia tersenyum melihat senyum lega Tofa.
Tapi wajah Tofa kembali mendung. "Tapi apa aku tidak termasuk orang yang serakah? Karena aku pernah dengar kalimat bijak 'jangan memilih pemimpin yang menggebu dalam mengejar kekuasaan' ", ia merasa buruk.
"Kau itu dipilih, Fa. Bukan berjuang untuk dipilih. Tapi kau memang dipilih", Syarif memantapkan.
Tofa tersenyum samar, ia lega.
"Kamu belajarlah yang rajin. Jadilah bijak. Jadilah kuat. Contoh idola kita, Baginda Nabi. Beliau sebaik-baik idola", Syarif menasihati.
"Dan Abang Cepatlah nikah. Ingat! Baginda menikah di usia 25. Buktikan bahwa Abang mengidolakan Baginda", Tofa malah membalas nasihat Syarif dengan jenaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Embun Di Pucuk Pinus
RomanceSeorang gadis yang bertingkah gila karena punya terlalu banyak bakat yang berhasil memikat hati seorang Gus. Mantra apa yang ia gunakan? Hingga ia bisa membuat seorang Gus cinta mati pada dirinya yang jangankan membaca kitab, hijab saja ia belum per...