Hari Senin.
"Bu Guru! Ada salam, dari Papah!"
Aku hanya tersenyum lalu mengelus pipi bakpau anak itu, kemudian berlalu setelah memeluknya.
Hari Selasa.
"Bu Guru, Papah titip salam!"
Aku bengong menatap mata bening Gio yang enggak berdosa.
Lagi, anak itu melakukannya.
"Dan ini buat Bu Guru dari Gio, ini permen kesukaan Gio, Papah yang membelikannya, sekarang jadi milik Bu Guru!"
"Eh, Gio tapi kan ini milik Gio, masa buat Ibu?"
"Gak apa-apa, pokoknya ini buat Ibu ayo terima Bu!"
Gio kali ini memaksaku untuk menerima permennya, dengan ragu aku mengangguk sambil mengucapkan terimakasih pada Gio, bukan pada papanya.
Hari itu jujur aku berdoa agar ucapan salam dari orang tua muridku itu berhenti, karena guru-guru di SD tempatku mengajar sudah mulai menggodaku. Namun, ternyata sayang, doaku belum terkabul.
Hari-hari berikutnya, Gio selalu datang menemuiku, baik di ruang kelas maupun di ruang guru hanya untuk sekedar menyampaikan salam dari papanya yang duda tersebut secara terus-menerus.
Hingga aku lelah dan bingung bagaimana menjelaskan pada Gio, kalau aku tidak mau menerima salam dari papanya yang telah mengkhianatiku di masa lalu.
Semua ini terjadi karena beberapa waktu yang lalu aku, Gio dan papanya yang ternyata Dewa yang juga mantan kekasihku, tanpa sengaja bertemu di supermarket tempat biasa aku berbelanja kebutuhan sehari-hari.
*****
"Bu Guru, ada salam dari Papah, katanya makasih udah jadi guru Gio!"
Seperti biasanya, Gio menghampiriku saat aku sudah selesai memberikan PR dan hendak beranjak meninggalkan ruangan kelas.
"Salam balik Gio, tapi bilangin sama Papah ya? Kalau Bu Guru sudah cukup nerima salamnya," ujarku lembut. Aku membungkuk untuk menyamakan tinggi dengan tubuhnya yang mungil.
"Kenapa Bu?" tanya Gio sambil mengerucutkan bibirnya yang menggemaskan. Kedua pipi bakpaunya mengembung lucu.
"Karena kalau kebanyakan salam nanti bingung jawabnya," ujarku asal. Kucubit hidungnya gemas, padahal ini salah satu cara untuk menetralkan hati yang kian berdenyut.
Anak itu tertawa geli sampai pipinya yang putih memerah.
"Iya, sama-sama Bu Guru, kalau gitu Gio mau istirahat dulu, ya? Nanti Gio bilangin ke Papah, biar dia gak hanya kirim salam!" ujar Gio iseng lalu berlari keluar kelas.
Aku menghela nafas sambil berdiri memandang tubuh Gio yang perlahan menghilang di balik pintu.
Jika dipikir-pikir Gio itu memang jail, niatnya untuk menjadikanku Ibu kedua setelah Ibunya meninggal karena melahirkannya belum surut juga, walaupun aku sudah coba menelaskan secara perlahan dengan menggunakan bahasanya.
Gio masih anak kelas satu SD, dia salah satu anak yang baik dan penurut di kelas yang aku ampu, sayang dia memiliki seorang Ayah yang mendengar namanya saja aku benci dialah Dewangga Prasetya.
Kehadiran Gio sebagai anak Dewa dan Yuli membuatku teringat lagi akan kejadian masa lalu yang kelam.
Tidak heran, ketika pertama kali melihat Gio aku sudah terpaku pada sosok anak itu, karena dari segi manapun Gio tampan seperti Dewa. Hidungnya mancung dengan mata hazel yang bening mirip dengan Dewa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bu Guru Idaman Papah
General FictionAku mengadu rayu dengannya kepada Allah, apakah cintaku yang menang atau cintanya? Saat takdir berkata Ya, maka jiwa mana yang bisa menolak?