Aku pulang diantar Dimas. Sepanjang perjalanan kuputuskan hanya berdiam diri. Dimas memaksa Pipit untuk membiarkan aku pergi bersamanya, meski berat pada awalnya tapi karena aku takut mengecewakan Dimas, akhirnya aku dengan berat hati mengiyakan.
Jalanan menuju rumahku memang rawan macet. Namun, sesaknya kendaraan yang menghalangi jalan mobil Dimas yang mengantarku tak sesesak perasaanku sekarang. Jasad memang bisa jadi berada bersama orang lain, tapi hati siapa yang sanggup memenjarakannya? Dia berkelana sesukanya meski kita mencoba sebisa mungkin mengendalikan diri.
Jika aku pikirkan, mencintai Dewa layaknya aku menggenggam pasir. Sekalipun aku menggenggam kuat dia akan lepas dengan sendirinya. Mungkin inilah saatnya aku menepi. Kadang kita harus memberi waktu pada hati untuk memilih mana yang harus diendapkan atau dihilangkan, termasuk membiarkan Dewa dalam kesalahpahamannya. Percuma aku menyuapi harapan, karena yang seharusnya pergi akan tetap pergi meski sekuat apapun aku menjaga.
"Masih mikirin kejadian tadi? Maafkan saya Nia, saya hanya tidak ingin kalau kamu jadi bingung dengan sikap Dewa."
Dimas membuka percakapan, saat melihatku hanya bungkam sepanjang perjalanan.
Aku tak langsung menjawab. Kupandangi gedung-gedung tinggi yang berjejer angkuh dari balik kaca jendela. Memberikan waktu otakku untuk menyusun kata yang tepat menjawab Dimas.
"Gak apa-apa, cuman aku pikir gak perlu sejauh itu. Tapi ... jika boleh tahu, kenapa tadi bilangnya kaya gitu? Kita kan udah sepakat gak usah bahas itu dulu?" tanyaku pelan tanpa menatap matanya, aku tidak mau membuat diriku bersalah karena menyakiti pria yang baik.
"Saya hanya sedang mencoba menghormati perasaan saya ... juga perasaan kamu. Karena saya gak mau kalah sebelum saya berjuang, gak laki rasanya! Saya hanya ingin minta hak yang sama dengan Dewa," jawab Dimas santai, matanya sesekali melihat ke arahku.
"Hak yang sama? Maksudnya gimana?" Aku menatap Dimas heran.
"Hak untuk memperjuangkan kamu, saya akan menyerah jika takdir-Nya yang berbicara, maka jangan larang saya memperjuangkan seperti saya tak melarang kamu memperjuangkan Dewa."
"Dimas?"
Dimas tersenyum lembut sementara kusadar hatiku mendadak bingung mendengar semua kalimatnya. Dalam hidup ini, memang seringkali kita harus bisa pintar mencerna makna. Setelah kejadian di mall tadi. Hatiku jadi sadar seringkali yang kuperjuangkan malah menghasilkan ragu tapi yang meragukan malah terlihat lebih pasti.
Beberapa hari kemudian."Bu Guru!" Pagi ini sebuah suara kembali menyapa saat aku baru memarkirkan Yolanda. Aku menoleh ke asal suara, sontak mataku membulat bahagia dan bibirku melengkung.
"Hey, jagoan? Gimana kabarnya?" tanyaku sambil menerima pelukannya. Hal yang biasa yang dia lakukan setiap pagi, sebagai guru aku akan menerima anak didikku siapapun itu yang mau berbagi pelukan.
"Gio baik Bu Guru, Gio ke sini sama Papah!" tunjuk Gio ke arah Dewa yang berjalan mendekat. Tanpa kusadari tubuhku langsung menegang. Aku masih bingung apa yang harus aku bicarakan dengannya, aku sadar pasti dia bisa saja berpikir aku dan Dimas kembali bersama dan alasan kenapa aku menolak tas darinya pasti karena aku gak mau buat Dimas cemburu.
Paling tidak itu yang aku pikirkan, Dewa bisa jadi salah paham. Namun, aku tak tahu apakah dia juga berpikir tentangku yang juga bisa jadi salah paham karena dia kemarin bersama Maura. Makanya, aku menarik nafas dalam bukan untuk bersiap menjelaskan tapi anggap saja ini pertahananku yang juga merasa diabaikan.
"Pagi Bu Guru!" Dewa sudah berdiri tepat di depanku.
Hari ini pria itu terlihat sangat tampan, setelan jas kerja abunya membuat Dewa nampak lebih macho dari biasanya. Sayang, pemandangan ini masih milik umum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bu Guru Idaman Papah
General FictionAku mengadu rayu dengannya kepada Allah, apakah cintaku yang menang atau cintanya? Saat takdir berkata Ya, maka jiwa mana yang bisa menolak?