"Ma, Zico berangkat." Kata Zico di senin pagi, dengan membawa sepotong roti tawar ditangan kanannya berjalan tergesa-gesa menuju pintu.
"Itu bajunya dirapiin Zic, MasyaAllah anak satu ribetnya udah kaya punya anak lima." Celoteh Mamanya yang tengah fokus memotong sayur bayam di dapur. Mamanya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah anak semata wayangnya itu.
"Santai Ma. Palingan juga suruh olahraga lari sama Pak Sutar." Kata Zico yang tengah memakai sepatu persis di depan pintu. Rumah keluarga Zico memang minimalis, jadi jarak dapur dengan ruang tamu tidak jauh sekatnya.
"Oh iya Ma, Zico hampir lupa," sambil menonjolkan kepala di depan pintu.
"Lupa apa?" tanya Mamanya menunggu putranya melanjutkan perkataanya.
"Pulsa Zico habis Ma, Jangan lupa isiin ya." Katanya sambil menampilkan jejeran giginya, "Tadi Malem Zico maraton PUBG" lanjutnya dengan intonasi manja. "Assalamu'alaikum."
"Eh Zic, Masya Allah bocah. Wa'alaikumussalam" ucap Mamanya bersengu-sengu marah.
**
Zico menghentikan montornya pada sebuah perempatan lampu merah ketika lampu menyala merah. Ia mendengus kesal, jam yang melingkar ditangannya terus saja melaju mendekati angka tujuh. Ia masih harus menempuh waktu sepuluh menit untuk bisa sampai di sekolahnya. Zico harus mencapai sekolahnya sebelum pukul tujuh tepat dan ia mau tidak mau harus kebut-kebutan dijalan ini. Andai saja hari ini bukan hari senin, dan hari ini tidak ulangan harian Matematika Pak Wawan yang super galak yang mengajar di kelas tahun kedua Zico di sekolahnya, mungkin sekarang ia masih bersantai-santai di rumah dan baru pergi jam delapan.
Zico melekatkan lagi pandanganya pada lampu lalu lintas, menunggu bergantinya warna merah berubah menjadi warna hijau yang entah kenapa lamanya terasa seperti menunggu kucing kesayangannya si Innah melahirkan.
Sesampainya di sekolah, Zico benar-benar bersyukur karena tiba tepat pukul tujuh. Dia menghempuskan nafas lantas turun dari motornya, berjalan menuju kelasnya di sebelas IPA empat. Setelah menaruh tas dibangku paling belakang, bangku sakral siswa-siswa yang bebal akan ocehan guru. Zico berjalan kembali menuju lapangan yang sudah penuh dengan siswa-siswi yang hendak melaksanakan upacara bendera.
"hampir telat lo Zic, gila gila. Untung Pak Sutar belum bawa kumisnya ke barisan ini." Ujar Brylian salah satu teman geng bebalnya di kelas yang cukup dekat dengannya.
"Bacot lo kebangetan," kata Zico sambil tertawa ringan. "Ntu mulut bisa di mutasi sampe ketahuan yang punya kumis."
"Hah mutasi?" guman Brylian memikirkan perkataan Zico, "Mutilasi bego! Typo lo kebangetan anjay." Jelas Brylian sambil menoyor kepala Zico ke kanan dan langsung mendapat jitakan oleh Zico.
"si Upin, Ipin sama Nando kemana?" bisik Zico tepat di telinga Brylian. Upin ipin yang dimaksutnya adalah si kembar Bagas dan Bagus. Mereka Zico, Brylian, Nando, Bagas dan bagus adalah lima sekawan yang menjadi primadona gadis sekolahnya. Kelakuan-kelakuan bebal mereka yang membuat siswa di SMAnya menjuluki mereka The bad Boy.
"Halah, palingan temennya Susanti itu lagi uring-uringan nyari kaos kaki putih di rumah Kak Ros." Jelas Brylian sambil cengengesan. Ulahnya itu mendapat pukulan di kepala dari kawan sebelahnya yang tak lain adalah Zico. "Kalau si Nando ntu ya. Jam tujuh kurang tujuh menit lebih empatpuluh dua detik, dia ngabarin gue kalau sepuluh detik yang lalu dia baru bangun dari alam mimpinya." Lanjut Brylian menjelaskan keberadaan teman-temannya.
"Serius lo ngitungnya sedetail itu Bry?" tanya Zico penasaran,
"Ya kagak lah, Selo banget gue anjir. Entar ulangan MTK aja gue kagak belajar."
YOU ARE READING
Dearest
Teen FictionSutan Zico Seorang siswa SMA yang bebal dengan segala bentuk hukuman, tak menggubris segala perkataan guru siapa sangka dalam dirinya menyimpan hati untuk gadis yang ternyata memendam hati kepada yang lain. Alinka. gadis bermata teduh dengan segala...