3. Mata Teduh

34 5 3
                                    

Maaf ya gaes kurang maksimal

Dari sekian banyak yang terjadi dikehidupannya, Zico tak pernah menyangka bahwa dirinya harus terpikat dengan mata teduh milik Alinka. Entah mengapa akhir-akhir ini mata itu terus saja berputar mengisi ruang-ruang kosong otaknya. Semakin dia melupakan tatapan itu, semakin sering pula tatapan itu hadir di lamunannya.

"Bener-bener gila gue," Zico menghembuskan napas kasar. Kedua tangannya ia gunakan untuk mengacak-acak rambut.

"Masalah cewek aja lo bego Zic, gitu aja sok-sok an jadi cowok." Ejek Brylian yang kesal melihat sikap Zico yang uring-uringan. Keduanya kini sedang berada di taman belakang sekolah tepatnya di bawah pohon mangga. mereka sama-sama bolos pelajaran setelah kejadian Nando dan Alinka bercakap bersama.

Zico diam tak menanggapi ejekan Brylian. Matanya kosong lurus menatap langit, berharap ia menemukan ketenangan diatas sana.

"Gue nggak pernah ngrasain jatuh cinta Bry, sumpah." Zico berguman dengan pelan.

"Terus lo sekarang maunya apa?" tanya Brylian pada Zico. Matanya lurus menatap kawannya yang berada disampingnya. "Kenapa nggak lo coba chat aja dia. Pura-pura salah kirim kek, atau apa kek." Katanya memberi saran.

"Anjay, entar gue dibilang alay lagi." Zico berkata sambil bergidik ngeri. Tapi dia menimbang-nimbang lagi saran Brylian yang mungkin ada baiknya juga. Toh selama ini mereka juga sudah kenal sejak awal kelas sepuluh, walaupun jarang bercengkrama karna sepertinya Alinka paling anti sama cowok bringas semacam Zico.

"Ya gue sih Cuma kasih saran ya bre. Muak gue lihat muka lo yang udah kayak prawan kurang belai dan kasih sayang." Ledek Brylian lantas lari menjauhi Zico sebelum kena imbasnya.

Zico hanya mengumpati Brylian yang asal pergi tanpa menunggu dirinya. Dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Membuka aplikasi watshapp lantas mengetikan nama 'Alinka' di layar ponselnya. Dia mengetikan sesuatu, lantas menghapusnya seperti itu terus selama beberapa menit. "chat.. enggak.. chat... enggak.." Zico mengguman sambil menghitung-hitung jari. "Kog enggak sih anjir. Kenapa nama gue juga harus empat abjad." Zico mendesah pelan lantas cabut meninggalkan taman tersebut.

Kaki Zico terus berjalan menapaki lorong-lorong sekolah. Ketika baru sampai di depan lapangan, tiba-tiba matanya menangkap sosok Alinka berjalan menuju ruang guru dengan membawa setumpuk buku tugas. Tanpa membuang waktu banyak, Zico berbelok kanan melangkah cepat menghampiri keberadaan Alinka. Akhirnya Zico menyamai langkah dengan Alinka yang sempat membuang muka saat melirik ke arahnya.

"Hai, Al," sapa Zico sambil berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin tidak normal. "Mau ke mana?" tanyanya dengan hati-hati.

"Ke ruang guru," jawab Alinka tanpa menoleh sedikitpun pada Zico. "Oh iya tadi kamu bolos kan? Jadi tugas Bahasa Indonesiamu hari ini kosong." Terang Alinka pelan.

Zico hanya meringis mendapat peringatan dari Alinka. "Oh," jeda. "Mau gue bantuin kagak? Mumpung orang ganteng kaya gue lagi baik hati." Usulan ini mengejutkan Alinka sekaligus mengejutkan Zico sendiri. Entah niat dari mana pikiran itu tiba-tiba tersuarakan. Sesungguhnya, ia merasa canggung berada sedekat ini dengan Alinka. Namun, Zico juga tak mungkin membiarkan Alinka membawa sendiri tumpukan buku tugas kelasnya itu.

Alinka menggeleng pelan masih terus berjalan. "Nggak usah, aku bisa sendiri kog."

Zico mengangguk pelan, lantas tersenyum kecil. "yaudah kalau ngerasa gitu."

Tiab-tiba, seorang siswa yang tengah terburu-buru tanpa sengaja menabrak pundak Alinka dan membuat semua buku-buku yang dia bawa jatuh berhamburan dilantai. Bukannya tanggung jawab, siswa itu malah pergi begitu saja setelah mengomel tak jelas kepada Alinka. Secara refleks, tangan Zico terulurkan untuk membantu Alinka berdiri. Tanpa pikir panjang, Alinka langsung menerima uluran tangan Zico untuk membantunya berdiri. Zico juga ikut membantu gadis itu mengumpulkan buku-buku yang berserakan.

"Masih mau bilang nggak usah?" bisik Zico tepat disamping telinga Alinka. Matanya ia kedip-kedipkan dan membuat Alinka mendengus kesal.

"Lagian, nggak ada angin nggak ada petir kog tumben nawarin bantuan." Jawab Alinka dengan nada sinis.

"Al, kalau lo nggak marah-marah kayak gitu tambah cantik loh." Perkataan itu tanpa sengaja asal keluar dari bibirnya. Ia lantas merutuki kelakuan bibirnya yang kadang nggak bisa diajak kompromi. Dia juga merutuki jantungnya yang sejak tadi berdetak tak karuan.

"Udah nggak apa-apa, gue perhatiin lo keberatan." Kata Zico akhirnya. Dia ingin mengalihkan suasana yang sempat membisu setelah pembicaraanya barusan. Kakinya melangkah begitu saja tanpa menunggu Alinka yang masih membeku ditempat.

Mengetahui hal itu, Alinka pun melebarkan langkah kakiya untuk menyetarakan dengan kecepatan langkah kaki Zico.

"Dasar aneh." Umpat Alinka pelan tapi berhasil didengar oleh pria disampingnya.

"jangan asal Al, gini-gini gue ganteng." Ledek Zico berusaha mencoba menggodanya.

"Ganteng kamu itu nggak ada gunanya Zic kalau setiap pelajaran kamu lebih banyak bolos," Ungkap Alinka ketus. "Definisi sesuatu yan sia-sia."

Zico membeku mendengar penuturan dari mulut Alinka. Apa selama ini gadis itu beranggapan buruk tentangnya. Zico menarik napas, lantas menghembuskannya pelan. Kakinya masih diam ditempat semula dan membuat Alinka refleks ikut menghentikan langkah.

"Emang seburuk itu ya Al, gue di mata lo?" tanya Zico pelan. Dia samapi tidak mampu membedakan itu pertanyaan atau pernyataan.

"Tanya aja sama diri kamu sendiri." Alinka menjawab lantas berjalan mendahului Zico yang masih diam ditempatnya.

**

sepulang dari ruang guru, Alinka dan Zico kembali kelas dengan berjalan bersama. Keduanya masih sama-sama membisu walau kadang Alinka banyak mendengus sebal. Pernyataan dari Alinka barusan terus saja berputar-putar memenuhi kepalanya dan membuat sesak sebagian hatinya. Dirinya bahkan tidak sanggup mengucap sepatah katapun untuk mencairkan suasana.

"Makasih Zic. Maaf jadi bikin kamu repot," Kata Alinka saat mereka sudah tiba di depan pintu kelas. Mereka berdiri berhadap-hadapan didepan kelas. "Sorry juga, kalau seandainya kata-kata aku tadi nyinggung kamu."

Zico mengangguk, mendakan bahwa dia tidak masalah. Toh mungkin yang dikatakan Alinka ada benarnya juga. Semua mata di penjuru kelas langsung berpusat kepada kedua insan tersebut.

"Ati-ati Al, jin nya Zico nakutin." Suara dari Bagas mengundang keributan di dalam kelas. Satu-persatu temannya ikut saling menggoda keduanya.

"Ceritanya PJ-PJ dong." Suara itu berasal dari Nando. Dengan tenang ia mengatakan hal tersebut seolah tak tersirat kesedihan sedikitpun dari ucapannya.

Tubuh Alinka membeku. Bukan karena serangan godaan dari kawan-kawannya ia diam, melainkan godaan dari Nando barusan. Entah apa yang sedang terjadi, tapi tiba-tiba saja dada Alinka dipenuhi oleh sesak. 'Baik-baik saja kah dia?'

"Mukanya tegang gitu neng," suara dari Zico berhasil membuyarkan lamunan Alinka. Tanpa menanggapi Zico, ia langsung saja berjalan menuju kursinya.

"Al, kalau tegang gitu nanti mas Zico tambah sayang." Brylian melontarkan lagi godaan kepada Zico dan Alinka. Zico yang sudah tiba di mejanya, langsung melayangkan pukulan tepat di kepala Brylian.

"Bacot lo kayak cewek." Kata Zico dengan ketus.

"Seneng kan tapi." Bisik Brylian tepat di telinga Zico.

TBC

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN YA GUYS

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 30, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

DearestWhere stories live. Discover now