Sad Wednesday

5 2 9
                                    

Senja mulai turun, lampu jalan berpendar kuning keemasan menciptakan suasana romantis. Tak bosan aku dengan suasana ini, setiap sore menjelang, aku selalu duduk disini, menikmati senja yang dengan indahnya merubah biru menjadi jingga hingga mencipta gulita. Sudah lama rasanya, waktuku tak pernah lagi berharga. Semenjak kecelakaan beberapa tahun silam, kedua kakiku tak dapat lagi kuajak berlari, tak bisa menapaki jalanan seperti dulu. Aku hanya bisa duduk di kursi roda mengamati senja yang aku percaya memyimpanmu disana, dibatas antara biru dan jingga.

Kau pernah bilang, tak akan meninggalkanku, akan selalu bersamaku, tapi apa... kau justru pergi di ujung harapan, kau pergi saat aku merasa takkan kehilanganmu. Kenapa tak kau bawa saja aku bersamamu? Hidupku sekarang sudah tak berarti, aku tak bisa berlari lagi, aku tak bisa mengejarmu.

Aku masih ingat hari itu, mobil kesayanganmu kau hias dengan pita dan bunga yang cantik. Kita memang tak punya pesta yang megah seperti yang lainnya, kau hanya mengajakku ke KUA, tanpa gaun, tanpa pesta, tapi itulah impian kita.

Hari itu adalah hari yang kita tunggu, kau menjabat tangan penghulu dengan begitu gagahnya.
"Aku mencintaimu" kuucapkan itu berkali kali dihatiku, merapalkan kebahagiaan yang menyatu padu. Aku merasa jadi wanita paling beruntung saat itu, aku memilikimu seutuhnya, hanya ada aku dan kamu. Hingga peristiwa itu terjadi, sepulang dari KUA, kita menjemput bahagia, namun tanpa sadar maut menjemputmu lebih dulu, membawamu dari pelukanku, meninggalkanku sendiri dengan kepedihanku.

"Aku tak bisa mengejarmu, kenapa hanya kakiku yang mati bersamamu, kenapa tidak seluruh ragaku?" Teriakku kala itu.

Aku bahkan tak melihat wajah terakhirmu, tersenyumkah? Atau biasa saja, aku hanya berharap kau tak kesakitan.

Hari itu, aku kehilanganmu, suami sekaligus mimpiku. Rabu itu, hari yang seharusnya jadi hari terindah kita, justru berakhir dengan aku kehilangan dirimu. Aku juga tak bisa lagi melanjutkan mimpi dan karierku, aku bahkan tak sanggup meneruskan hidupku.

Senyum terakhir yang pernah kuukir dibibirku adalah saat itu, dan hingga kini aku lupa bagaimana caranya tersenyum. Aku hanya ingin hidup ini segera berakhir, agar aku bisa bertemu lagi denganmu. Katamu kisah kita pasti berakhir bahagia bukan? Tapi aku hanya ingin bahagianya saja, aku tak ingin kisah ini berakhir. Ayolah jemput aku, aku menunggumu setiap senja, waktu dimana aku kehilanganmu, di tempat yang sama pula. Rabu itu tiga tahun lalu.

VERDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang