Tiga Puluh Dua

2.6K 327 71
                                    

“Hidup tidak pernah berhenti memainkan permainan yang terampil ini. Sejak kamu memperoleh kehidupan secara gratis, kebahagiaan selalu terkubur dengan sesuatu yang lebih diprioritaskan.”Zico, Human

Sejak melintasi gerbang sekolah, Bia telah mengabsen berbagai jenis tatapan yang tertuju kepadanya. Tatapan-tatapan yang bisa Bia rasakan lebih parah dari sebelum-sebelumnya. Bahkan tak ayal beberapa terang-terangan melancarkan banyak perkataan yang sarat menyudutkan.

"Tuh kan! Apa gue bilang. Udah keterusan jajahin diri, sih, soalnya. Ketagihan kan jadinya."

"Jangan-jangan sering make seragam olahraga seenak jidat alias nggak sesuai jadwal cuma alibi doang buat nutupin tanda anu(?)"

"Kalo masih punya malu, harusnya keluar aja dari Gantara. Meresahkan banget!"

"Semakin yakin kalo Dhiwa udah pernah make elo. Tapi menyedihkannya, lo definisi dipake, abis itu dibuang. Jangan percaya banget ama cowok jaman sekarang. Teori berengsek hanya ke cewek yang nggak bener itu beneran ada. Lo contohnya."

"Kesel sih, sama kelakuan lo. Tapi ada kesian juga, walaupun sedikit. Abisnya nggak ada yang bener-bener memihak lo. Lagian siapa juga ya kan, yang mau dan tulus deket sama lo. Nyari masalah namanya."

Bia tersenyum dan sesekali tertawa. Sebab sederet pernyataan dari mereka tidak sepenuhnya salah. Coba lihat, buktinya, sewaktu Bia bersinggungan dengan netra Fayna, teman sebangkunya itu buru-buru memutuskan sebelah pihak lalu melangkah besar-besar bermaksud menjaga jarak karena tak ingin terlibat lebih jauh.

Bia tetap melangkah ringan. Kepalanya tegak dengan pandangan lurus ke depan. Situasi sialan semacam ini bukan sekali dua kali ia temui, melainkan telah berkali-kali. Dan Bia masih sangat-sangat bisa mengakalinya sendiri.

Begitu Bia tiba di kelas, teman-teman XI IPS 1 sudah siap menyambutnya dengan berbagai bentuk sarkasme. Hampir semua dari mereka kompak mendiami Bia. Ah, bukankah keseharian Bia sudah akrab dengan hal seperti demikian? Hanya saja, hari ini tampaknya Bia diminta harus ekstra berbiasa. Dan lagi, itu sungguh tidak apa-apa.

"Gue ramal, enggak lama lagi lo bakal di DO."

"Enggak selamanya bokap Nando si ketua komite itu bisa nahan lo untuk terus sekolah di sini."

"Kalo gue jadi elo sih, gue udah minta pindah dari jauh-jauh hari. Malu, Sis! Malu pake banget. Udah nggak ada harga diri lagi abisnya."

"Serius deh, gue nanya. Motivasi lo apa ngelakuin itu? Masa iya bonyok lu nggak marah? Apa jangan-jangan keluarga lo sama aja nggak ada bedanya? Kalo iya, wah ... kacau, sih…."

"Keren! Gue udah nggak sabar nungguin lo diseret ke ruang BK atau bahkan ke ruang kepala sekolah sekalian. Satu-satunya yang sekolah bisa tawarin ke elo cuma DO. Atau kalau lo masih punya malu, lo out sendiri dalam waktu dekat."

Bia terkekeh sembari mengeluarkan buku tulis dari tas ransel buluknya. "Jangan, dong. Impian gue waktu SMP dulu mau ngerasin gimana serunya jadi bagian anak IPS. Masih ada sisa satu tahun. Kali aja gue bisa nyicip keseruan-keseruan itu." Bia mendengus, pura-pura sebal. "Masa hampir di setiap momen yang rasanya 'rame' dan 'anak IPS banget', gue nggak diajak. Ya kan, Wa?" Bia mengubah posisi duduknya menghadap ke belakang dan memamerkan senyum paling hangat yang ia punya kepada cowok itu.

Perfectly Wrong [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang